Yatha mere stita dewa (selama gunung berdiri tegak)
Yawad Gangga mahitala (selama sungai mengalir)
Candrarku gagani tawat (selama bulan dan matahari bersinar)
Tawat tat wijayi bhawet (selama itu kesejahteraan bisa didapat)
matram naskah geguritan Sucita Muah Subudhi
Puisi berbahasa Bali tadi adalah karya Ida Ketut Jelantik. Tepatnya ditulis pada 1947 denganbersumber dari sejumlah lontar tattwa yang konon merupakan lontar tertua di Bali dalam bahasa Sansekerta dan Jawa Kuna. Bahasa di lontar kuno itu mengindikasi bahwa Bali adalah peradaban Hindu-Buddha penerus yang sebelumnya pernah jaya di Pulau Jawa. Keberadaan seni sastra ini juga merupakan bukti bahwa puisi telah berkembang jauh sebelum dibukanya pengajaran sekolah moderen.
Puisi tradisional di Jawa awalnya berbentuk manuskrip atau prasasti yang berisi doa atau puji-pujian bagi Dewa maupun Raja yang dianggap titisan dewa. Demikianlah sebagaimana diungkapkan S Budhisantoso dkk dalam Geguritan Sucita Muah Subudhi (Kajian dan Analisis). Puisi tradisional Jawa tersebut menurut Budi Subanar dalam Sraddha- Jalan Mulia Dunia Seni Jawa Kuna, disebut kakawin. Sebagai suatu format karya sastra, kakawinmenjadi arustama yang merajai dunia sastra Jawa Kunaselama sekitar enam hingga tujuh abad, yakni abad IX – XV Masehi.