Gajah Mada belum Tentu Berpipi Tembem

Judul Buku: Gajah Mada: Biografi Politikgajahmadakecil

Penulis: Agus Aris Munandar

Penerbit: Komunitas Bambu

Tahun Terbit: 2010 (cetakan 1)

Jumlah Halaman: xiv + 162

BUKU Gajah Mada: Biografi Politik, sebagaimana memang diungkapkan penulisnya pada bagian Pengantar, mencoba menawarkan tafsir yang lebih ilmiah dari sisi ilmu sejarah tentang tokoh Gajah Mada, juga tentang latar belakang maupun capaian prestasinya. Agus Aris Munandar mencoba memertajam wawasan pembaca bukunya dan sekaligus mengajak mengambil jarak terhadap tafsir arustama mengenai Gajah Mada yang ada selama ini, yang terbangun sejak M Yamin pada 1950-an menerbitkan buku Gajah Mada: Pahlawan Persatuan Nusantara yang cenderung ultra nasionalis.

Dalam buku ini, Agus Aris Munandar menawarkan tafsir bahwa Gajah Mada bukanlah berasal dari kalangan jelata di pedesaan Jawa Timur atau dari salah satu pulau di luar Jawa, sebagaimana yang selama ini cenderung beredar secara luas di antara khalayak ramai. Agus justru menyebut bahwa Gajah Mada besar kemungkinannya memiliki darah biru wangsa Rajasa, keluarga raja-raja yang memerintah Singasari dan Majapahit. Menurut Agus Aris Munandar, simpul garis kekerabatan antara Gajah Mada dan para raja Majapahit adalah mereka sama-sama keturunan raja terakhir Singasari, yakni Kertanegara. Agus memerkirakan Gajah Mada sebagai anak dari Gajah Pagon, seorang pengikut sekaligus sahabat dari Raden Wijaya. Gajah Pagon itu pun oleh Agus disebut masih terbilang bersepupu dengan Raden Wijaya, yang kemudian ketika menjadi raja Majapahit bergelar Kertarajasa Jayawardhana. Teori semacam ini dicetuskan Agus setelah membandingkan serta menganalisis sejumlah isi kitab kuno maupun cerita rakyat yang menceritakan tentang tokoh Gajah Mada atau juga tokoh yang diperkirakannya sebagai Gajah Mada, tetapi disebut memakai nama lain. Hal lain yang disebut Agus memerkuat teori tadi adalah catatan dalam sebuah prasasti bertarikh 1273 Saka atau 1351 Masehi yang menyebut Gajah Mada memerintahkan pembangunan caitya (bangunan penghormatan) bagi mendiang Raja Kertanegara. Padahal, biasanya caitya dibangun oleh keturunan pihak yang dibuatkan caitya.

Pasemon
Agus Aris Munandar mengaitkan Gajah Mada dengan cerita Panji. Menurut dosen Arkeologi UI ini, Gajah Mada di dalam cerita Panji diwakili oleh tokoh Brajanata, kakak dari Panji Inu Kertapati. Cerita Panji oleh Agus disebut pula sebagai sandi atau pasemon atas sejumlah peristiwa sejarah pada masa Majapahit semasa diperintah Hayam Wuruk. Itu antara lain adalah rencana pernikahan Hayam Wuruk dengan Putri Pitaloka dari Pajajaran, bunuh dirinya Pitaloka di Alun Alun Bubat setelah pembantaian rombongan dari Pajajaran oleh pasukan Majapahit, juga pernikahan Hayam Wuruk dengan Paduka Sori, sepupunya sendiri.

Selama ini Gajah Mada dalam Peristiwa Bubat cenderung ditempatkan oleh sejarah arustama sebagai dalang dan sekaligus pihak yang bertanggung jawab atas gagalnya pernikahan Hayam Wuruk dan Putri Pitaloka dari Pajajaran, bahkan juga pembantaian atas rombongan raja Pajajaran yang datang ke Majapahit. Agus Aris Munandar dalam buku ini justru menyebut Gajah Mada bukanlah satu-satunya pihak yang bertanggung jawab dalam peristiwa Bubat. Alih-alih dalang, Gajah Mada disebut Agus lebih merupakan pelaksana lapangan. Menurut Agus, Gajah Mada dalam Peristiwa Bubat sejatinya sekadar mengejawantahkan keinginan orangtua Hayam Wuruk maupun kerabat dekat lain sang raja seperti paman dan bibinya. Mereka itu sebenarnya kurang setuju dengan adanya pernikahan raja Majapahit dengan putri raja Pajajaran. Ini tak lepas dari konsekuensi pernikahan tersebut yang nantinya akan memberi putri raja Pajajaran kedudukan sebagai permaisuri raja Majapahit, dengan kata lain pula penerus tahta Majapahit akan jatuh ke orang berdarah Pajajaran.

Menurut Agus Aris Munandar, pada masa akhir Majapahit berkembang pemujaan kepada sosok Bima. Ini antara lain diwujudkan dengan keberadaan arca-arca yang dapat diidentifikasi sebagai sosok Bima, yakni arca dengan rambut supit urang, berkumis, berbadan tegap, dengan kemaluan terkesan menonjol atau bahkan tersingkap dari kainnya. Imbuh Agus, pemujaan semacam itu sebenarnya adalah pemujaan kepada sosok Gajah Mada, tokoh besar yang ternyata selepas kematiannya tak pernah memiliki pengganti sepadan, sehingga menyebabkan Majapahit cenderung mundur, kemudian berangsur-angsur runtuh. (Yoseph Kelik/Periset di Museum Ullen Sentalu)