JUNI 1921, tanggal 8, tangis pertama seorang bayi laki-laki terdengar di sebuah desa yang terletak beberapa kilometer sebelah barat Yogyakarta. Bayi itu terlahir dari keluarga juru pengairan desa. Bukan golongan paling miskin di desa itu, tapi tak juga bisa disebut sebagai golongan kaya. Sedihnya lagi, kedua orangtuanya lantas bercerai.
Di kemudian hari, ketika si bayi laki-laki mencapai usia dewasa, ia ternyata mampu menempuh perjalanan hidup yang pastinya tiada terbayangkan oleh orang-orang sedesanya. Awalnya ia masuk menjadi tentara pada penghujung masa kolonial Belanda hingga meraih pangkat sersan. Dengan berbagai lika-liku, ia berhasil mendaki ke dalam derajat perwira pada masa pendudukan Jepang dan sepanjang tahun-tahun Perang Kemerdekaan Indonesia. Lanjut berkarir di dunia ketentaraan, ia menjadi salah satu jenderal penting pada usia empat puluhan tahun. Bahkan kejeliannya dalam bertindak plus peruntungan baik kemudian mengantarnya kepada posisi presiden republik, kepala negara sekaligus kepala pemerintahan. Soeharto, demikianlah namanya.
Pemerintahannya berlangsung sangat lama: 32 tahun. Dengan adanya pembatasan konstitusional terhadap masa jabatan presiden-presiden yang memerintah sesudahnya, yakni 2 x 5 tahun atau maksimal selama 10 tahun, rekor 32 tahun tadi agaknya tak akan terpecahkan.
Sayangnya, akhir masa pemerintahan Soeharto sebagai presiden bisa dibilang tragis. Dua tahun terakhirnya, berbagai kota di seantero negeri menjadi panas karena didera rentetan unjuk rasa dan bahkan kerusuhan. Akhirnya, Soeharto pun menyatakan pengunduran diri pada 21 Mei 1998. Adegan tersebut terjadi di Ruang Kredensial, Istana Merdeka, Jakarta.
Menariknya, Soeharto menyebut pengunduran dirinya dengan istilah lengser keprabon. Istilah dalam bahasa Jawa tersebut berarti “turun takhta”. Tanda ke sekian kali dan kentara bahwa Soeharto memang punya kecenderungan memandang dirinya selaku seorang raja, bukan cuma presiden dari sebuah negara republik modern.
Mengenai lengser keprabon sendiri, hal tersebut adalah suatu peristiwa besar di lingkup masyarakat Jawa pada masa lampau. Raja Jawa selalu punya hak menjabat sampai tutup usia. Kebanyakan raja yang tercatat memerintah Jawa sedari zaman Tarumanegara sampai era kraton-kraton Dinasti Mataram Islam memang menggunakan hak tersebut.
Namun, pengunduran diri seorang raja di tengah masa pemerintahannya, ketika yang bersangkutan sejatinya secara jasmani dan rohani masih cukup sentosa untuk menjabat sampai sekian tahun ke depan, bukan juga sesuatu yang benar-benar aneh. Kenyataannya, merujuk kepada sumber-sumber sejarah yang valid dan terverifikasi, ada setidaknya 7 raja Jawa yang dipastikan melakukan pengundurkan diri di tengah masa pemerintahannya, berdasarkan kehendak dan keputusan sendiri. Dari jumlah tersebut, 5 raja berasal dari zaman kerajaan-kerajaan Hindu-Buddha, sedangkan 2 raja sisanya berasal dari era kerajaan-kerajaan Islam.
Berikut ini sedikit uraian tentang 7 raja Jawa yang pernah melakukan lengser keprabon:
1.Panangkaran
Dari semua raja yang pernah memerintah Jawa, Panangkaran adalah yang pertama-tama melakukan pengunduran diri. Ia turun takhta secara sukarela setelah 20 tahun menjadi maharaja Kerajaan Medang (Mataram Kuno). Masa pemerintahan Panangkaran sendiri sebagai maharaja adalah pada kurun 764 M – 784 M. Begitu mengundurkan diri, Panangkaran menjalani sisa hidupnya untuk mencari ketenangan rohani dan memusatkan pikiran kepada masalah keagamaan, yakni menjadi pertapa Buddha. Tempat pertapaannya bernama Abhayagiriwihara (biara pada bukit yang penuh kedamaian) yang terletak di perbukitan di selatan daerah Prambanan. Abhayagiriwihara kini dikenal sebagai Situs Ratu Boko.
Panangkaran sendiri wafat pada 792 M. Ia lantas di-dharma-kan di bangunan suci Manjusrigrha yang saat ini dikenal sebagai Kompleks Candi Sewu.
Kisah hidup Panangkaran antara lain bisa diketahui dari Prasasti Abhayagiriwihara/Ratu Boko serta Prasasti Manjusrigrha. Keduanya adalah prasasti-prasasti yang berangka tahun 792 M.
2.Pikatan
Pikatan merupakan maharaja Kerajaan Medang yang berkuasa pada kurun 847 – 855 M. Ia dikenal juga dengan nama Jatiningrat. Ia mengakhiri pemerintahannya dengan pengunduran diri, lalu menjadi pertapa. Hal ini diinformasikan Prasasti Siwagrha yang berasal dari tahun 856 M. Menurut isi Prasassti Wanua Tengah I, Pikatan tutup usia pada 863 M.
3.Balitung
Balitung adalah maharaja Medang yang memerintah pada kurun 898 – 910 M. Ia berhasil membawa Medang memiliki cakupan wilayah terluas sepanjang sejarah kerajaan tersebut, yakni meliputi sebagian besar Jawa Tengah dan sebagian besar Jawa Timur. Ia diperkirakan mengundurkan diri pada 910 M dan menyerahkan takhtanya kepada Pu Daksa yang merupakan saudara iparnya. Berselang lima tahun kemudian, Balitung akhirnya wafat. Sekelumit kisah tentang dirinya bisa ditemukan dalam Prasasti Taji dari tahun 910 M dan Prasasti Sugih Manek dari tahun 915 M.
4.Airlangga
Nama Airlangga tentulah dikenal generasi sekarang sebagai nama universitas negeri terkenal di Surabaya. Nama tersebut berasal dari nama maharaja yang memerintah Kerajaan Kahuripan pada kurun 1021 – 1042 M. Kahuripan sendiri merupakan kerajaan penerus kekuasaan Kerajaan Medang. Kerajaan ini cukup lama memusatkan pemerintahannya di sekitar Sidoarjo dan Mojokerto, Jawa Timur. Sempat berpindah sebentar ke Lamongan, lalu akhirnya pindah ke tempat yang sekarang dikenal sebagai Kota Kediri.
Airlangga melakukan pengunduran diri dari takhta setelah 21 tahun memerintah. Ia lantas hidup sebagai pertapa bersama putri sulungnya, Dharmaprasadotunggadewi, dan mendiami lereng Gunung Pawitra yang saat ini dikenal sebagai Gunung Penanggungan. Sebagai pertapa, Airlangga lantas memakai nama Resi Aji Paduka Mpungku Sang Pinaka Catraning Bhuwana.
Sebelum turun takhta, Airlangga membagi dua kerajaannya untuk dua orang putranya. Separo bagian disebut sebagai Panjalu dan beribukota di Daha diserahkan kepada Samarawijaya, putra yang lahir dari permaisuri. Separo bagian lainnya diserahkan Mapanji Garasakan, putra yang lahir dari selir.
Airlangga kemudian wafat pada sekitar tahun 1049. Kisah hidup berikut masa pemerintahannya antara lain bisa dilihat pada Prasasti Pucangan (1041 M), Prasasti Gandhakuti (1042 M), serta Prasasti Sumengka (1059 M).
5.Tribhuana Tunggadewi
Tribhuana Tunggadewi merupakan raja perempuan (maharani) yang memerintah Kerajaan Majapahit pada kurun 1328 – 1350 M. Ia menjadi pengganti dari kaki laki – lakinya, Jayanegara, yang mati karena pembunuhan oleh tabib Tanca.
Masa pemerintahannya menghasilkan kegemilangan bagi Majapahit. Itu dimulai dengan keberhasilan menjadikan belahan timur dari Jawa Timur, yakni Sadeng dan Keta, sebagai wilayah Majapahit. Pada masa pemerintahannya pula lah Majapahit menjalankan proyek penaklukan pulau-pulau lain di Nusantara di bawah pimpinan Mahapatih Gajah Mada dan Laksamana Nala.
Tribhuana memutuskan turun takhta pada 1350. Itu tak berjarak lama dengan wafatnya ibundanya, Rajapatni Gayatri, yang telah bertahun-tahun hidup sebagai pertapa. Takhta kerajaan kemudian diserahkan Tribhuana kepada putra sulungnya, Hayam Wuruk, yang merupakan hasil perkawinannya dengan bhre (raja vazal) di Singhasari, Kertawardana.
Namun, selepas meninggalkan jabatan maharani Majapahit, Tribhuana tidak lah meninggalkan urusan pemerintahan. Ia kembali menjabat sebagai bhre di Kahuripan, yang merupakan jabatan lamanya sebelum naik takhta sebagai maharani Majapahit. Ia juga menjadi satu dari tujuh anggota Bhatara Sapta Prabhu, yakni dewan penasehat raja yang beranggotakan para bhre dari negara-negara vazal terpenting.
6.Mangkunegara VI
Berselang 566 tahun setelah peristiwa turun takhtanya Tribhuana Tunggadewi, Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya (KGPAA) Mangkunegara VI mencatatkan dirinya sebagai seorang raja Jawa yang juga memilih mengundurkan diri. Pemilik nama muda Raden Mas (RM) Suyitno ini merupakan penguasa Kadipaten Mangkunegara selama 20 tahun, 1896 – 1916.
Dalam masa pemerintahannya, Mangkunegara VI berhasil menyelamatkan Kadipaten Mangkunegaran dari kebangkrutan. Di tangannya, bisnis perkebunan tebu dan pabrik gula yang menjadi sumber keuangan praja kembali berjalan dengan baik. Ia pun dikenal melakukan berbagai kebijakan penghematan dan penyederhanaan protokoler di lingkungan Mangkunegaran.
Ketika Mangkunegara VI mengundurkan diri pada 1916, tampuk kepemimpinan kemudian dipegang oleh keponakannya, RM Suryo Suparto, yang selanjutnya memakai gelar KGPAA Mangkunegara VII. Selaku mantan raja, Mangkunegara VI lantas pindah ke Surabaya. Di kota bandar tersebut, Mangkunegara VI mendiami sebuah rumah yang dibelinya pada setahun sebelum pengunduran dirinya. Mangkunegara VI akhirnya wafat 25 Juni 1928. Pada hari itu juga, jenazahnya dikirim ke Solo untuk dikebumikan di pemakaman yang terletak di sebelah utara kota, Astana Utara di Kaliyoso.
7.Hamengkubuwana VII
Lima tahun setelah pengunduran diri Mangkunegara VI, tepatnya pada Januari 1921, Sultan Hamengkubuwana VII dari Yogyakarta juga mengundurkan diri. Takhta Kesultanan Yogyakarta kemudian dipasrahkannya kepada putranya, Pangeran Purubaya, yang kemudian menjadi Sultan Hamengkubuwana VIII.
Begitu tak lagi menjabat sebagai raja, Sultan Hamengkubuwana VII meninggalkan Kraton Yogyakarta dan ganti menempati Pesanggrahan Ambarukmo, yang sekarang menjadi hotel Royal Ambarukmo dan mal Plaza Ambarukmo. Di situ ia menjalani hari dengan didampingi permaisuri ketiganya, Gusti Kanjeng Ratu Kencono. Tak sampai setahun mendiami Pesanggrahan Ambarukmo, Sultan Hamengkubuwono VII tutup usia pada Desember 1921.
Sebagai catatan, Sultan Hamengkubuwono VII di dalam masa pemerintahannya yang berlangsung sepanjang 34 tahun lazim disebut rakyatnya sebagai Sultan Sugih ataupun Sinuwun Sugih. Ini karena Kraton Yogyakarta mendapatkan duit berlimpah dari hasil menyewakan tanah-tanahnya kepada sejumlah pengusaha Eropa. Banyak dari tanah-tanah itu lantas menjadi hamparan perkebunan tebu serta lahan tapak kompleks pabrik gula. Pada masa pemerintahan Sultan Hamengkubuwono VII, ada 17 pabrik gula tercatat beroperasi di berbagai wilayah Yogyakarta.
***
Ditulis oleh Yoseph Kelik Prirahayanto; didukung data yang disarikan oleh Restu Ambar Rahayuningsih