All posts by Dept.Riset Ullen Sentalu

1b. Gedong Songo (1)

Candi Gedongsongo


Lokasi: Desa Candi, Bandungan, Semarang, Jawa Tengah
Koordinat: 7° 13’ 36,000″ LS 110° 20’ 24,000″ BT
Ketinggian: 1318 dpl

Candi Gedongsongo merupakan kompleks candi yang tersusun mengelilingi lembah yang masih aktif di lereng Gunung Ungaran. Dari namanya, Candi Gedongsongo dapat diartikan gedung yang berjumlah sembilan, terbagi dalam 3 kelompok candi.

Candi Gedongsongo merupakan kompleks candi yang bersifat agama Hindu-Siwa dan tidak diketahui secara pasti kapan kompleks candi tersebut dibangun, Namun dari ciri arsitekturalnya (struktur dan ragam hias), Candi Gedongsongo diperkirakan dibangun pada abad ke-8, sedikit lebih muda dari Candi Dieng, yaitu pada masa kerajaan Mataram Kuno.

candi-gedongsongo

Sumber:
Candi Indonesia, Seri Jawa
Direktorat Pelestarian Cagar Budaya dan Permuseuman
Direktorat Jenderal Kebudayaan
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan – 2013

Foto: Ullen Sentalu

1a. Dieng (3)

Candi Dieng

 

Lokasi: Desa Dieng Kulon, Batur, Banjarnegara, Jawa Tengah
Koordinat: 7° 12’ 18,144″ LS 109° 54’ 24,552″ BT
Ketinggian: 2033 dpl

Candi Dieng merupakan kompleks candi yang bersifat agama Hindu-Siwa, berjumlah sekitar 8 candi yang diduga berasal dari abad 8-10 Masehi berdasarkan prasasti yang ditemukan di dalam kompleks candi berangka tahun 713 Saka atau 809 M. Namun ada dugaan candi-candi tersebut lebih tua usianya.

Candi-candi dalam kompleks Candi Dieng diberi nama tokoh pewayangan, yaitu: Candi Arjuna, Candi Semar, Candi Srikandi, Candi Puntadewa, Candi Sembadra, Candi Bima, Candi Dwarawati dan Candi Gatotkaca. Dari nama wayang diduga penamaan candi bukan nama asli candi-candi tersebut, karena adanya nama punawakan Semar yang bukan merupakan tokoh wayang asli tokoh Mahabarata India.

candi-dieng

Sumber:
Candi Indonesia, Seri Jawa
Direktorat Pelestarian Cagar Budaya dan Permuseuman
Direktorat Jenderal Kebudayaan
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan – 2013

Foto: Ullen Sentalu

Tetenger

KOTA Perjuangan sekaligus Kota Kuno merupakan dua predikat yang memang layak disandang Yogyakarta.Kota Perjuangan karena di daerah ini Jenderal Sudirman dan Pangeran Diponegoro pernah membangun perlawanan bersenjata yang teramat merepotkan pihak kolonial Belanda. Itu adalah pada Perang Revolusi Kemerdekaan (1945-1949) serta Perang Jawa (1825-1830), yang dijalankan lewat pilihan siasat perang gerilya.

Sedangkan predikat Kota Kuno atau Ibukota Kuno (ancient capital city) diwarisi Yogyakara pertama-tama dari kenyataan sejarah bahwa lokasi kerajaan Mataram Kuno atau Mataram Hindu dan Budha dahulu ada di seputaran daerah ini.  Selanjutnya, kerajaan Mataram Islam pun meninggalkan situs-situs ibukota pada jarak 5 hingga 12 kilometer di sebelah tenggara serta selatan dari pusat Kota Yogyakarta: Kotagede, Kerta, dan Plered. Di tiga situs bekas ibukota Mataram Islam itu dapat ditemukan berbagai peninggalan antara lain berupa tembok kuno, fondasi baluwarti yang merupakan benteng luar kraton, juga bangunan pendopo.

Sedangkan pada masa kerajaan Mataram Islam Periode Kedua, yakni masa selepas Perjanjian Giyanti 1755, peninggalan dapat terlihat dalam bentuk tata kota Kota Yogyakarta serta komplek bangunan kraton yang letaknya diapit oleh dua sungai, yaitu Kali Winongo pada sisi barat dan Kali Code pada sisi Timur, juga terletak di antara sumbu filosofis utara-selatan mulai dari Tugu Pal Putih di utara yang berujung kepada Gunung Merapi, sedangkan pada bagian selatannya ada Panggung Krapyak yang berujung kepada Segara Kidul alias Samudera Hindia. Konon, jarak antara Panggung Krapyak maupun Tugu Pal Putih dengan Kraton adalah sama yaitu masing-masing 2 kilometer. Konon juga, jarak antara Kraton ke Pantai Parangtritis adalah sama dengan jarak Kraton ke Kaliurang, yaitu masing-masing 27 kilometer. Pun jarak Kraton dengan dua sungai di kiri-kanannya, yaitu Sungai Winongo dan Sungai Code, masing-masing 3 kilometer.

Demikian pula dalam hal zonasi di Kota Yogyakarta, otoritas Kasultanan membagi tempat tinggal penduduk disesuaikan dengan profesi. Pembagian daerah semacam ini selanjutnya mewujud kepada penamaan kampung serta jalan. Contohnya antara lain Kampung Bugisan memiliki awal mula sebagai tempat tinggal pasukan Kraton yang berasal dari suku Bugis; Kampung Surokarsan serta Jalan Surokarsan memiliki asal-usul dari tempat tinggal para prajurit Surakarsa yang merupakan satuan pengawal bagi Putra Mahkota; Kampung Pandean memiliki muasal sebagai daerah permukiman abdi dalem pande yaitu para pandai besi atau tukang-tukang pembuat barang-barang dan alat-alat dari bahan besi; Kampung Dagen dan Jalan Dagen memiliki awal mula sebagai tempat tinggal abdi dalem undhagi alias tukang kayu; Jalan Gamelan dan Kampung Gamelan dulunya merupakan tempat tinggal para abdi dalem gamel, yaitu pengurus kuda di Kraton.

Penyebutan daerah permukiman penduduk juga acap ditetapkan mengikuti keberadaan tokoh bangsawan tinggi yang bertempat tinggal dalam ndalem (rumah besar) di tengah kawasan tersebut. Beberapa contohnya antara lain Kampung Wijilan beroleh namanya karena dulu di situ ada ndalem kediaman KRT Wijil, suami GKR Dewi yang putri ke-38 Sultan Hamengkubuwana VII dari garwa permaisuri GKR Kencana; Bintaran beroleh namanya karena dulunya di situ ada ndalem kediaman BPH Bintoro yang merupakan putra ke-61 Sultan Hamengkubuwana II dari garwa BMAj. Sasmitowati; Dipowinatan  beroleh namanya karena dulu di situ ada ndalem kediaman seorang bupati bernama KRT Dipowinoto.

Ndalem memberikan pula keunikan bagi tata kota Yogyakarta. Itu terlihat dari lokasi dan bentuk rumah-rumah besar para bangsawan tinggi kerabat Kraton tersebut. Ndalem para pangeran  biasanya menempati wilayah luas dengan gerbang pada bagian depannya yang disebut regol. Halaman depannya cukup luas dan biasanya ditumbuhi pohon sawo, mangga, dan lainnya.  Di halaman depan itu ada pendopo yang digunakan untuk menerima tamu atau menyelenggarakan acara, contohnya pementasan wayang kulit semalam suntuk atau pentas tari tradisional lengkap dengan pemain gamelan yang mengiringinya. Dua pintu kecil masing-masing terletak di bagian timur dan barat menjadi akses ke halaman yang mengelilingi rumah induk. Halaman sebelah timur biasa disebut wetan dalem, artinya timur bagian dalam dan biasanya lebih berfungsi halaman sebelah barat. Itu karena bagian tersebut menghadap ke arah matahari terbit dibandingkan halaman barat. Bagian wetan dalem sering ditumbuhi dengan bermacam tanaman berbunga karena itu biasa juga disebut Kebon Dalem atau taman bagian dalam.

Bangunan-bangunan  peninggalan  Kolonial Belanda hampir semuanya relatif masih utuh dan dapat ditemukan mulai dari wujud benteng, kantor, rumah ibadah, tempat tinggal maupun pabrik. Di antara mereka adalah Benteng Vrederburg, Gedung Agung yang sebelumnya merupakan tempat tinggal Gubernur Belanda di Yogyaarta, Gedung Kantor Pos Besar, Kantor Bank Indonesia, Gedung BNI 46, Hotel Toegoe, Hotel Garuda, Stasiun Kereta Api Tugu dan Stasiun Lempuyangan, Gereja Margomulyo, hingga rumah-rumah berarsitektur Indies di kawasan Kotabaru, Bintaran, dan  Jetis.

Topografi seperti itu menginspirasi sebaran bangunan di Museum Ullen Sentalu, yang terdiri dari bangunan utama dan bangunan penunjang dalam susunan bangunan spasial berjarak. Ruang terbuka berupa taman di antara bangunan memang diutamakan, bukan cuma disisakan. Konsep pengembangan dan arsitektur museum mengacu kepada in the field concept yang bersifat vernacular dan digagas oleh Dr. KP Samuel Wedyodiningrat, salah satu pengurus Yayasan Ulating Blencong yang menaungi Museum Ullen Sentalu. In the field concept adalah konsep arsitektural yang tetap mempertahankan keaslian kontur tanah dan keasrian alam pegunungan serta penggunaan materi bangunan, terutama batu andesit, yang diambil dari sekitar lokasi. Selain menyatu dengan alam disekitarnya, konsep lay out arsitektur dan prosemik tata ruang mengacu pada bangunan tradisional Jawa dan arsitektur Kolonial yang membangkitkan nostalgia piknik Naar Boven (ke gunung) ala orang-orang Belanda zaman dulu. Pengunjung akan melewati lorong bawah tanah, menapaki tangga bersusun, berjalan menelusuri labirin perkampungan yang mengambang diatas air, hingga berada di teras kafe yang dapat melihat langsung puncak Gunung Merapi.  Itu semua menyatu dengan alam sekeliling karena dirancang berdasarkan  in the field concept. Konsep arsitektur demikian sangat berbeda dengan master plan concept yang dirancang sering tanpa mengindahkan keaslian kontur tanah.

Pemberian nama bangunan-bangunan di Museum Ullen Sentalu didasarkan kepada isinya, juga mengikuti toponim nama kampung, jalan, hingga bangunan bersejarah di Yogyakarta. Di antara mereka adalah Guwo Selo Giri, yang berarti gua batu gunung yang merupakan hall pameran untuk koleksi tetap; kemudian Ruang Gusti Sekar Kedaton yang merupakan ruang pameran khusus untuk salah satu putri kraton Surakarta; Taman Kebon Dalem yang sesuai dengan lokasinya, digunakan untuk acara kalangan terbatas, sementara Pelataran Sekar Djagad, sesuai dengan namanya digunakan untuk pentas seni yang terbuka untuk umum, dan yang kini sedang dalam pengerjaan adalah The Candi yang merupakan perpaduan arsitektur kuno percandian dan petirtaan modern.

Bentuk arsitektur kolonial juga terlihat dengan jelas pada bangunan Gedung Dhuwur atau lebih dikenal dengan nama restoran Beukenhof (rumah di antara pohon), yang seluruh desainnya, termasuk ubin, tepian dinding dan jendela dibangun dengan gaya kolonial. Selain itu Rumah Peranakan yang akan digunakan untuk ruang konservasi dan pameran kebudayaan Peranakan secara khusus di desain dengan gaya kolonial yang dipadukan dengan arsitektur rumah peranakan. Sementara itu untuk kompleks museum shop dan bazaar, semuanya dibangun dengan gaya kontemporer mengikuti perkembangan arsitektur modern dengan menggunakan konstruksi alumunium dan kaca. Ada berbagai gaya arsitektur dan beragam penggunaan materi: bangunan dari batu andesit mirip candi, bangunan menjulang tinggi bergaya kolonial, pintu gerbang yang mengingatkan kepada regol di ndalem-ndalem milik pangeran di sekitar Kraton, hingga museum shop dengan dinding dan atap dari kaca serta alumunium. Semua itu memberi indikasi yang jelas bahwa arsitektur Museum Ullen Sentalu termasuk dalam gaya post modernism yang berciri plural, bukan berdasarkan satu tipe langgam tertentu (signature). Itulah suatu karya arsitektur yang memadukan tetenger (landmark) kota Yogyakarta, arsitektur vernacularism, serta konsep in the field.

Penulis: KRHT Daniel Haryodiningrat (Kepala Museum Ullen Sentalu)

Tentang Profesi Kurator

SAYA rasa, hal yang berbahaya jika kurator tidak sepenuhnya memahami setiap sudut pandang sejarah atau subjek yang akan ditampilkan. Kuratorial yang salah tafsir atau kurang lengkap menampilkan pengetahuan akan berdampak pada kesalahpahaman di pengunjung, masyarakat secara umum, juga pada generasi muda.

Walau museum sering menjadi alat “diplomasi politik”, kurator yg notabene setia pada disiplin ilmu atau keilmiahan sebaiknya bisa tetap objektif. Sebaiknya museum tetap menjadi media “diplomasi budaya” saja, jangan mau jadi alat “diplomasi politik”. Di sini pentingnya objektivitas kurator.

Continue reading

Makam Imogiri

MAKAM Imogiri terletak di sebelah selatan kota Yogyakarta. Makam ini merupakan komplek pemakaman raja-raja Mataram. Makam ini ada sejak akhir masa pemerintahan Sultan Agung, sekitar pertengahan abad XVII.

Sebelum masa pemerintahan Sultan Agung, kerabat keraton Mataram yang meninggal dimakamkan disekitar istana Kotagede. Pada waktu itu, pembesar kerajaan belum memiliki gagasan untuk membangun sebuah kompleks pemakaman. Misalnya saja Panembahan Senopati, sebagai pendiri sekaligus perintis kerajaan Mataram, beliau terlalu sibuk berkutat dengan urusan politik dan pemerintahan, terutama dalam upaya memperluas daerah dan menegakkan hegemoni Kerajaan Mataram di Pulau Jawa.

Gagasan pembangunan komplek pemakaman baru muncul pada masa pemerintahan Sultan Agung, raja Mataram ketiga. Sebagai seorang raja yang mampu menguasai hampir seluruh Pulau Jawa pada masa itu, beliau berkeinginan agar kebesaran namanya tetap dikenang oleh rakyat Mataram dan generasi penerusnya. Karena itu, Sultan kemudian merealisasikan keinginannya dalam wujud pembangunan komplek pemakaman bagi penguasa Mataram dan penerusnya.

Sebelumnya, pada awal masa pemerintahannya, Sultan Agung sibuk dengan berbagai ekspedisi penaklukan. Sultan Agung akhirnya terpikir membangun pemakaman kerajaan yang megal setelah kegagalan pasukan Mataram menyerang pos dagang VOC di Batavia pada 1628 dan 1629. Dengan kegagalan tersebut, mata, pikiran, serta hati Sultan Agung menjadi terbuka bahwa perang yang selama ini dilakukan ternyata menimbulkan korban sangat besar. Jasad para korban yang telah ikut berjuang membela kerajaannya ternyata tidak mendapat perlakuan yang layak. Karena itu, Sultan kemudian  berkeinginan untuk membangun sebuah kompleks pemakaman bagi dirinya kelak beserta kerabat keluarganya.

Sultan Agung membangun makam Imogiri mulai 1630. Jika dilihat dari letak geografisnya, Imogiri berada di daerah perbukitan. Secara filosofis, pemilihan tempat yang tinggi adalah bagian konsep nirwana dalam budaya Hindu, yakni tempat tujuan akhir perjalanan manusia. Tempat yang tinggi juga merupakan tempat sakral karena merupakan tempat bersemayamnya para dewa. Karena itu, pembangunan makam di atas bukit atau gunung dipercaya akan memberikan nilai yang tinggi pula. Selain itu, Sultan Agung mengharapkan bahwa raja dan keturunannya yang meninggal akan tetap ditinggikan oleh rakyatnya, meskipun mereka telah tiada.

Sultan Agung menjadi raja Mataram pertama yang dimakamkan di komplek Makam Imogiri. Beliau dimakamkan di tingkat paling atas bernama Kasultanagungan. Setelah kerajaan Mataram terbagi dua menjadi Kasultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta melalui perjanjian Giyanti pada 1755, maka penataan Makam Imogiri juga mengalami perubahan. Terjadilah pemisahan area antara masing masing kerajaan tanpa mengilangkan bangunan yang sudah ada sebelumnya. Pada perkembangannya sekarang makam ini memiliki beberapa komplek, komplek Sultan Agung, komplek raja-raja Yogyakarta, dan komplek raja-raja Surakarta.

Makam Sultan Agung pada tingkat paling atas paling menyita perhatian. Untuk mencapai bangunan makam ini, para peziarah harus mendaki anak tangga. Anak tangga inti sebanyak 337 dihitung dari area parkir sampai dengan di pelataranpersimpangan ke arah komplek raja-raja Yogyakarta dan komplek raja-raja Surakarta.  Arah kiri atau ke barat dari persimpangan merupakan komplek pemakaman raja-raja Surakarta, sedangkan arah kanan  atau ke timur merupakan komplek pemakaman raja-raja Yogyakarta. Jika memilih lurus dan menaiki 103 anak tangga lagi, peziarah akan mencapai makam Sultan Agung.

Di makam Sultan Agung, peziarah wajib untuk mengikuti peraturan yang ada. Hal ini dimaksudkan agar kesucian makam tetap terjaga sehingga pengunjung dapat melakukan ziarah dengan baik. Diantara peraturan yang wajib dipatuhi selama di sana adalah mengenai aturan tata cara berbusana. Para peziarah yang datang diwajibkan mengenakan busana adat Jawa. Bagi pria, busana wang wajib dikenakan adalah surjan dan kain batik, sedangkan untuk wanita mengenakan kain batik serta kemben (kain penutup dada), tanpa mengenakan baju kebaya ataupun perhiasan, serta diwajibkan menata rambut dengan cara gelung tekuk (riasan rambut berupa rambut yang digulung tanpa riasan maupun konde).

Jadwal kunjungan makam Imogiri , untuk makam Kasultanagungan buka setiap hari senin dan minggu jam 10.00 – 12.00, Jumat jam 13.30 – 15.30. Komplek Kasultanan Yogyakarta buka setiap hari jam 10.00 – 12.00,jumat jam 13.30 – 16.00. Komplek Kasunanan Surakarta buka setiap hari senin sampai sabtu jam 10.00 – 12.00,jumat jam 13.30 – 15.30.

Ditulis oleh Rasti Wijayanti Nugraheni

tari-jateng_hitam_putih

Seni Tari Jawa

TARI Jawa merupakan satu di antara warisan adilihung kebudayaan Mataram Islam. Siapa yang tidak terpikat dengan keindahan rangkaian gerakannya yang begitu sedap serta halus dipandang mata.

Daerah yang paling terkenal dengan seni tarinya adalah Yogyakarta dan Surakarta.Dua kerajaan pewaris tahta Mataram ini memang sudah dari dahulu menjadi pusat kebudayaan Mataram.

Dahulu, seni sempurna nan adiluhung itu bersifat rahasia dan hanya milik penari. Alih pengetahuan dan pengatahun mengandalkan cara pendampingan langsung dan secara lisan, turun temurun dari orang tua kepada anak cucunya.

Tarian Candi

Jauh sebelumnya pada masa Hindu-Budha, tari-tarian dilakukan sebagai bagian dari pemujaan kepada dewa-dewi dan biasa disebut sebagai tarian candi. Itu karena dipentaskan di lingkungan candi, dibawakan oleh para pendeta perempuan sebagai persembahan bagi Siwa, Wisnu, atau Brahma. Dahulu, candi dibangun oleh para raja karena desakan agama sebagai ungkapan kepercayaan dan sebagai simbol permohonan kepada dewa. Bisa dikatakan jika para abdi candi yang menari juga bekerja untuk raja.

Dengan datangnya pengaruh Islam yang menguat, berakhirlah tugas para pendeta perempuan dan para abdi raja di candi-candi. Namun, merekaternyata tetap terikat kuat pada istana dan raja. Mereka tetap secara teratur mementaskan tarian dihadapan raja. Karenanya, seni ini menjadi hak istimewa raja dan terkristalisasi dari generasi ke generasi. Maka, setiap raja yang berkuasa harus menciptakan suatu karya tari. Biasanya, tari-tari ini juga dipentaskan dihadapan para tamu kebesaran sebagai bentuk penghormatan.

Harmoni

Tarian Jawa selain merupakan seni gerak tubuh, juga merupakan pengejawantahan dari pemahaman nilai budaya. Budaya Jawa memproses pemahaman olah rasa dan olah pikir dengan tetap mengutamakan sisi kelembutan dan kesantunan. Proses penciptaan tari Jawa mengacu pada konsep wiraga, wirama, wirasa, suatu konsep keseimbangan dan harmoni antara gerak, irama, dan rasa.

Karena dianggap sakral, seni tari Jawa awalnya hanya boleh ditampilkan dalam lingkungan tembok istana. Seiring perkembangan zaman, tari-tari tersebut mulai boleh dipentaskan di kalangan umum diluar keraton.

Bedhaya

Namun, tetap ada tarian yang dianggap sakral dan hanya boleh ditampilkan di depan raja, yaitu tari-tarian dari jenis bedhaya. Kraton-kraton Jawa pun sangat pelit soal pementasan bedhaya. Hanya pada acara-acara khusus dan sangat pentinglah bedhaya dipagelarkan, yakni dalam upacarajumeneng dalem (penobatan raja), jumenengan(peringatan penobatan raja), tumbuk yuswa (ulang tahun raja), pawiwahan ageng (pernikahan putra atau putri raja), serta ketika menyambut tamu-tamu agung yang sangat dihormati.Pementasan bedhaya pun sekadar diperuntukkan bagi penonton-penonton terpilih.

Beberapa contoh dari keluarga besar bedhaya adalah Bedhaya Sumregdi Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta, Bedhaya Ketawang di Kasunanan Surakarta, Bedhaya Semang di Kasultanan Yogyakarta, Bedhaya Anglir Mendung di Kadipaten Mangkunegaran, dan Bedhaya Tejanata Kadipaten Pakualaman. Contoh-contoh tadi pun cuma sebagian kecil dari keseluruhan tari yang termasuk bedhaya. Setiap istana Jawa memiliki dan mengembangkan tari-tari bedhaya mereka masing-masing. Kraton Yogyakarta saja paling tidak memiliki 31 macam bedhaya. Padahal, Surakarta, Mangkunegaran, serta Pakualaman memunyai bedhaya-bedhaya mereka sendiri yang tak kalah beragam dibanding Yogyakarta. Penamaan masing-masing bedhaya biasanya sesuai dengan nama gendhing iringannya. Namun, beberapa dari nama itu kadang diambil dari cerita yang diungkapkannya.

Bedhaya lazimnya ditarikan oleh 9 penari. Ini terutama pakem ketika ditarikan dalam lingkungan kraton. Hanya saja,jika tari ini harus ditampilkan di luar kraton, maka jumlah penarinya harus lebih sedikit dari sembilan orang, bisa 7 atau 6 orang.

Formasi dasar bedhaya dengan 9 penari menyimbolkan angka sakral 9 serta seluruh arah mata angin dalam ajaran falsafah Jawa. Dalam keyakinan Hindu Dharma, yang kemudian diserap oleh falsafah hidup masyarakat Jawa,ada 9 dewa (nawasanga) penguasa penjuru mata angin. Mereka adalah Wisnu  di utara, Sambu di timur laut, Iswara di timur, Mahasora di tenggara, Brahma di selatan, Rudra  di barat daya, Mahadewa di barat, Sengkara di barat laut, dan Siwa di tengah. Filosofi 9 arah mata angin menyimbolkan keseimbangan alam secara mikrokosmos dan makrokosmos.

Berkaitan dengan itu, sembilan penari dalam bedhaya melambangkan manusia beserta berbagai anggota badannya. Masing-masing memiliki sebutan dan makna: Batak (jiwa dan pikiran), Jangga/Gulu (leher), Dada (dada), Endel Ajeg (nafsu/hasrat), Apit Ngarep (lengan kanan), Apit Mburi ( lengan kiri), Buncit (simbol organ seks), Endel Weton (kaki kanan), dan Apit Meneng (kaki kiri).

Serimpi

Selain bedhaya ada juga beberapa tari perempuan lain yang dikembangkan oleh istana-istana Jawa. Contohnya adalah serimpi dan golek.

Tentangserimpi, tak sedikit orang sekarang menganggapnya sebagai satu tarian saja. Kenyataannya, serimpi merupakan istilah umum untuk menyebut tari-tari yang dibawakan 4 penari. Jumlah 4 penari serimpi melambangkan 4 arah mata angin, juga 4 unsur alam, yaitu grama (api), angin (udara), toya (air), dan bhumi (tanah).Perlu dicatat bahwa kata serimpi dalam bahasa Jawa merupakan satu di antara sinomim bagi bilangan 4.

Jumlah tari-tari yang termasuk keluarga besar serimpi mencapai lebih dari angka 100. Tari-tari tersebut terbagi-bagi lagi, biasanya berdasarkan nama gendhing pengiring. Contohnya antara lain Serimpi Pandhelori diiringi Gendhing Pandhelori, begitu juga Serimpi Pramugari yang diiringi Gendhing Pramugari    

Masing-masing tari serimpi memiliki perbedaan dalam hal busana, tatanan rambut, juga senjata yang digunakan. Namun, benang merah jalinan kekerabatan di antara tari-tari serimpi tersebut dapat dilihat dari pengadopsian dari cerita-cerita Babad Menak di dalamnya serta adanya unsur gerakan ngleyang. Ngleyang adalah perubahan posisi dari berdiri ke berlutut dengan disertai gerakan melengkungkan badan ke arah belakang samping kanan, yang terlihat seolah hendak jatuh pingsan.

Penari Kerajaan

Tidak mudah mencari bakat-bakat untuk dijadikan calon penari kerajaan. Mengenai bakat dari para penari dan penyanyi masa lalu, diceritakan oleh Sylvain Levi dalam bukunya “Theatre Indien” tentang syarat-syarat ideal yang harus dipenuhi untuk menjadi penari kerajaan. Menurut Levi, para penari Serimpi dan Bedhaya di istana-istana Jawa harus mengenal cerita rakyat dan legenda daerah, sajak, begitu pula dengan pengetahuan mengenai lakon-lakon utama. Itu semua merupakan sebagian dari pendidikan mereka sebagai penari. Selain itu mereka harus mengenal sejarah tanah air, juga makna dari setiap intonasi serta naik turunnya gamelan, yang kesemuanya itu terdapat dalam cerita-cerita kuno.

Jadi tidak mengherankan jika di mata banyak orang awam dan kurang berpendidikan pada masa itu, para penari serimpi dan bedhaya menduduki status tinggi. Walapun dengan berjalannya waktu dan berubahnya jaman, mereka tetap memiliki kedudukan seperti para penari candi di abad-abad sebelumnya. Hidup untuk menyembah junjungan mereka. Para penari ini biasa disebut dengan abdi bedhaya, merupakan gadis-gadis pilihan tak terkecuali para putri bangsawan yang diangkat menjadi abdi dalem kraton.

Ditulis oleh Rasti Wijayanti, Yoseph Kelik, dan Isti Yunaida

Referensi

  • Dwiyanto, Djoko,Ensiklopedi Kraton Yogyakarta, Dinas Kebudayaan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, Yogyakarta, 2009
  • Hermanu dkk., Serimpi, Bentara Budaya Yogyakarta, Yogyakarta, 2011

 

Taman Kaswargan

TAMAN Kaswargan terletak di sisi barat daya dari daerah Kaliurang. Di dalamnya ada komplek Museum Ullen Sentalu, butik dan toko suvenir MUSE, restoran Beukenhof, juga rumah peristirahatan keluarga Haryono.

Kaswargan adalah satu istilah dalam kekayaan kosakata bahasa Jawa dengan kata swarga sebagai intinya. Swarga dalam bahasa Indonesia sama artinya dengan surga atau firdaus, sedangkan dalam bahasa Inggris ia sepadan dengan paradise.

Kaswargan pada Taman Kaswargan pada dasarnya adalah toponimi untuk menyebut dan sekaligus melukiskan suatu tempat  yang memancarkan kualitas layaknya surga, baik dalam hal suasana maupun secara panorama.

Secara suasana, Taman Kaswargan diberkahi oleh aura berwibawa milik Gunung Merapi, yang menyediakan lerengnya untuk menampung Taman Kaswargan. Dalam budaya klasik , gunung sebagai tempat tinggi dipercaya sebagai kediaman dewa-dewi. Lalu, menurut filosofi Jawa, Gunung Merapi diyakini sebagai rumah dari Kyai Sapu Jagat, yang memiliki kemampuan membersihkan jagat raya. Menurut filosofi ala Kraton Yogyaka, Merapi adalah pula satu dari tempat yang dihubungkan dengan poros imajiner bersama dengan Tugu Pal Putih, komplek Kraton Yogyakarta, banguan Panggung Krapyak, serta Pantai Selatan.

Dalam hal panorama, Taman Kaswargan  memang permai, sebagaimana tercermin dari nama yang disandangnya. Taman Kaswargan terletak di ketinggian 878 meter di atas permukaan laut. Alam pegunungan yang melingkupi Taman Kaswargan menghadirkan atmosfer elok yang didominasi hijau serta temaram kabut.

Di seputaran Taman Kaswargan, keindahan milik alam yang hening berpadu dengan kekuatan Gunung Merapi yang menggentarkan secara vulkanik maupun filosofis. Ini merupakan manifestasi absolut dari suatu mimpi untuk menghadirkan suatu  paduan penuh harmoni akan dimensi khayal dari kekayaan warisan kebudayaan Jawa.

Taman Kaswargan dibangun secara sabar dan bertahap sejak sekitar 1985. Dalam kurun hampir 20 tahun tersebut, metamorfosis Taman Kaswargan antara lain ditandai dengan pembangunan area Gua Selagiri serta Kampung Kambang pada 1995 sampai dengan 1997 sebagai persiapan pengoperasian Museum Ullen Sentalu, pembangunan Restoran Beukenhof dan Galeri Latihan Menari pada 2001, pengoperasian Ruang Putri Dambaan mulai 2002 dengan peresmian oleh GRAy Siti Nurul Kamaril Ngasarati Kusumawardhani, pembangunan Ruang Budaya pada 2007, serta pengoperasian Selasar Retja Landa sebagai area pamer arca-arca klasik Hindu-Budha mulai 2008, serta pembangunan butik MUSE pada 2009.  Lalu, sejak 2012 dan sepanjang 2013 berlangsung kegiatan pembangunan mengubah area Pagelaran Sekar Jagat di pojok barat menjadi tribun dan lobi utama yang berhiaskan relief ala candi. Berbarengan dengan itu ada proses memersiapkan  kelahiran Ruang Pamer Indies.

Namun, semua aktivitas tadi tak selalu menggelinding mulus. Bertetangga dekat dengan gunung berapi dengan tingkat keaktifan tinggi seperti Merapi memiliki konsekuensi. Tercatat dua kali sudah segala aktivitas dalam komplek Taman Kaswargan mesti berhenti sama sekali selama sekitar tiga bulan ketika Merapi sedang menggelegak dan bererupsi. Masing-masing terjadi pada 2006 dan 2010.

Hanya saja, selalu harus disyukuri bahwa Taman Kaswargan tetap dapat tumbuh menjadi suatu paduan antara karya dan kemurnian alam. Taman Kaswargan pun menjadi pernaungan nDalem Kaswargan, yang merupakan kesatuan tak terpisahkan dari Museum Ullen Sentalu sebagai wadah misi budaya.  Tatanan karya dan alam tumbuh melalui konsep konservatoris, tetap membiarkan keperawanan alam sebagai pelingkup paparan taman dengan kontur alam tak rata dan memiliki karya-arya arsitektur yang tumbuh sesuai konsep art and nature.

Ditulis oleh KMAT Y Meganingrat dan Yoseph Kelik

Loro Blonyo

MASYARAKAT Jawa adalah masyarakat agraris yang menggantungkan hidup pada aktivitas bercocok tanam, terutama tanaman padi. Tradisi bertani ini telah berkembang sejak lama, termasuk pada era kebudayaan Hindu Budha di Jawa. Pengaruh Hindu Budha tidak mengubah tradisi bercocok tanam asli yang berkembang secara lokal sebelumnya, tetapi memperbaikinya terutama dibidang teknologi pengairan.

Konsep kesuburan pada masa prasejarah diwujudkan dengan perlambangan benda-benda alam. Air merupakan lambang kesuburan yang utama. Konsep kesuburan ini  berkembang menjadi konsep Dewi Ibu. Dewi ibu ini dianggap sebagai tokoh yang memberikan kehidupan, asal mula dari segala kesuburan bagi seluruh mahluk hidup di bumi. Masyarakat Jawa kuna mengenal tokoh Dewi Sri yang kemudian disebut sebagai dewi kesuburan.

Pemahaman konsep dewi ibu dalam masyarakat Jawa mengalami perubahan yang signifikan ketika agama Islam masuk dan berkembang. Islam pada dasarnya melarang adanya kepercayaan terhadap dewa dan dewi, sehingga tidak mengenal konsep dewi ibu. Hal ini membuat pemahaman akan konsep kesuburan yang sudah mengakar  pada pikiran masyarakat Jawa tetap menghadirkan tokoh tersebut dalam bentuk lain, yaitu loro blonyo. Loro blonyo ini meskipun tidak dipuja seperti dewa dan dewi, tetapi tetap mendapat kehormatan dalam masyarakat Jawa.

Loro Blonyo merupakan arca tiruan sepasang pengantin, terbuat dari kayu, tanah liat, atau batu. Secara etimologi, loro berarti “dua” dan blonyo berarti dilumuri (dilulur) warna emas. Loro Blonyo ini merupakan perlambangan tokoh Dewi Sri dan Dewa Sadana. Loro Blonyo muncul dalam masyarakat Jawa sebagai kesinambungan kepercayaan terhadap konsep kesuburan, khususnya di bidang pertanian.

Mitologi Sri-Sadana dalam masyarakat Jawa memiliki beberapa versi. Jessup menceritakan bahwa Sri-Sadana merupakan anak kembar dari Nagaraja. Setelah dewasa Sadana menikahi Sri. Karena perbuatan tercela tersebut, Bathara Guru mengutuk mereka berdua. Sri-Sadana akhirnya mati. Tubuh Sri jatuh ke bumi, kemudian disembah sebagai kesuburan. Pada hari ketujuh setelah kematiannya, di atas makam Sri tumbuh tanaman padi. Sementara Cohen menceritakan dalam kisah Wayang Dampoe Awang. Sri merupakan seorang putri yang menetas dari sebuah telur yang keluar dari air mata Hyang Antaboga. Sebutir lainnya menetas menjadi Sadana. Kelak pada saat Sri meninggal, dari jenasahnya muncul tumbuh-tumbuhan. Dari giginya tumbuh tanaman jagung, dari kemaluannya tumbuh tanaman padi, dari kepalanya tumbuh tanaman kelapa, dan dari pusarnya tumbuh tanaman aren. Sementara dari jenasah Sadana, muncul logam dan permata.

Loro Blonyo merupakan hasil kebudayaan Islam yang juga merupakan perwujudan sinkretisme Hindu-Islam. Konsep kesuburan menempatkan peristiwa bertemunya sperma dan ovum sebagai kesuburan tertinggi karena dapat melahirkan keturunan baru. Hal ini diibaratkan sebagai tanah yang bertemu dengan air. Konsep ini juga berlangsung hingga masa Islam dalam bentuk baru, karena dalam aturan Islam seorang laki-laki dan perempuan diperbolehkan bersetubuh setelah menjalin hubungan pernikahan.

Awalnya loro blonyo dibuat dengan pakem tertentu. Sepasang pengantin ini di-blonyo, atau dicat dengan warna emas, diposisikan duduk bersila seperti halnya posisi arca Dewi Sri. Loro blonyo merupakan kelengkapan dari tempat tersakral dalam rumah tradisional Jawa, yaitu Senthong tengah. Senthong tengah ini juga biasa disebut pasren, tempat untuk Dewi Sri atau petanen,  tempat bagi para petani memanjatkan doa. Keberadaanya di dalam pasren juga menjadi simbolisasi dari pemilik rumah. Apabila kedudukan sosial sang suami lebih tinggi, maka loro blonyo laki-laki didudukkan di kanan, sementara apabila kedudukan sosial sang istri lebih tinggi, maka loro blonyo perempuan yang menempati sisi kanan.

Di sekeliling pasren tersebut diberi pembatas dengan menggunakan kain yang disebut dengan langse. Pada tempat tersebut biasanya diletakkan beberapa benda perlengkapan yang terdiri dari dipan (amben) dengan tiang pada ke-4 sudutnya, kasur, bantal, dan guling; pendaringan (tempat penyimpanan beras dari tanah liat); sepasang genuk, sepasang kendi, juplak (lampu minyak kelapa), sepasang paidon (tempat membuang ludah) yang terbuat dari kuningan, dan sepasang loro blonyo sebagai tanda penghormatan kepada Dewi Sri yang dipercaya sebagai simbol kesuburan dan kemakmuran. Semua perlengkaapan tersebut membentuk makna filosofis pasren. Pasren merupakan pengejawantahan dari gagasan, harapan, atau permohonan kemapanan, rumah sebagai tempat untuk menetap dan berkesinambungan keturunan (tersimbol lewat tempat tidur dan loro blonyo), yang didukung oleh kemakmuran yang berlimpah (tersimbol oleh kendi, klemuk berisi biji-bijian yang jumlahnya serba sepasang), yang bermuara pada unsur kesuburan dibawah naungan dewi Sri, lambang yang membawa kesejahteraan rumah tangga.

Pada perkembangannya, loro blonyo tidak hanya melambangkan tanda kehormatan kepada dewi Sri saja. Loro blonyo juga dipandang sebagai tempat tumuruning wiji, sehingga ditempatkan di dekat sepasang pengantin baru yang duduk bersandingan. Selain itu loro blonyo dipercaya dapat menjadi penolak bala. Sebagai penolak bala, kedua wajah boneka di blonyo putih, sementara badannya diblonyo kuning. Loro blonyo sekarang lebih difungsikan sebagai hiasan, yang dapat ditempatkan dimana saja di dalam rumah.

Ditulis oleh Rasty Wijayanti

Bedhaya Ketawang

PENARIBedhaya Ketawang dalam tradisi istana Jawa selalu dipilih dari para abdi bedhaya yang terbaik dan masih perawan. Keperawanan dalam ritual-ritual kraton merupakan suatu simbol kesucian. Bedhaya Ketawang sendiri merupakan tarian sakral yang khusus dipagelarkan pada hari jumeneng dan peringatan jumenengan raja Kasunanan Surakarta. Kostum para penari bedhaya ini merupakan kostum lengkap paes ageng yang dikenakan para pengantin putri raja sesuai dengan budaya kraton.

Dalam fungsi dan tingkat kesakralan, Bedhaya Ketawang terbilang “bersaudara kembar” dengan Bedhaya Semang di Kasultanan Yogyakarta. Hanya saja, jika Bedhaya Ketawang ditarikan sembilan penari perempuan, maka Bedhaya Semang ditarikan oleh 9 penari laki-laki. Bedhaya Semang adalah ciptaan Sultan Hamengkubuwana I sebagai salinan dari  Bedhaya Ketawang. Ini merupakan dampak dari Perjanjian Giyanti pada 1755 yang membagi dua  Mataram menjadi Surakarta dan Yogyakarta.

Induk Semua Tari
Dalam masyarakat Jawa, Bedhaya Ketawang dianggap sebagai tari sakral pusaka kraton yang menjadi induk bagi tari-tari bedhaya selanjutnya, bahkan tari-tarian lainya, sejak era Mataram Islam sampai dengan sekarang.

Bedhaya Ketawang melambangkan perlindungan Gusti Kanjeng Ratu Kidul, penguasa Laut Selatan, kepada Kerajaan Mataram. Pasalnya, secara turun temurun berkembang suatu keyakinan bahwa Bedhaya Ketawang adalah tari yang diciptakan oleh Gusti Kanjeng Ratu Kidul, sang penguasa Laut Selatan. Panembahan Senopati, raja pertama Mataram Islam, konon belajar tentang tata gerak Bedhaya Ketawang langsung kepada Ratu Kidul dalam pertemuan keduanya di Istana Ratu Kidul di Laut Selatan. Setelah itu, Ratu Kidul konon hadir ke Kraton Mataram setiap hari selama tiga bulan penuh untuk melatih para abdi bedhaya. Selanjutnya, dipercaya juga bahwa Ratu Kidul selalu hadir pada setiap Selasa Kliwon untuk melihat penampilan karya tari ciptaannya. Selasa Kliwon selanjutnya dikenal dengan nama anggara kasih, hari sakral pertemuan antara raja Mataram dengan GKR Kidul.

Konon, pada setiap Bedhaya Ketawang ditarikan, Ratu Kidul akan hadir dan ikut menari di hadapan raja. Legenda yang hidup dalam masyarakat Jawa mempercayai bahwa hanya raja dan orang-orang tertentu yang dapat melihat kehadiran sosok Ratu Kidul di antara pada penari Bedhaya Ketawang. Karena itu, mejelang dipergelarkannya tarian ini di hadapan raja, para penari harus menjalani serangkaian ritual yang disebut caos dahar. Ini adalah bentuk penghormatan dan memohon restu pada sang pencipta Bedhaya Ketawang, yaitu Ratu Kidul.

Ditulis oleh Rasti Wijayanti, Yoseph Kelik, dan Isti Yunaida

 Referensi

  • Dwiyanto, Djoko, Ensiklopedi Kraton Yogyakarta, Dinas Kebudayaan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, Yogyakarta, 2009
  • Hermanu dkk., Serimpi, Bentara Budaya Yogyakarta, Yogyakarta, 2011