TAKUT dan khawatir pasti menghantui setiap masyarakat yang diserang wabah penyakit. Terutama di masa ketika pengobatan dan tenaga medis belum memadai. Mereka tidak tahu kapan nyawanya akan diambil, malam ataukah siang, subuh ataukah senja. Di tengah masa pageblug seperti itulah, kraton sebagai pusat peradaban masyarakat Jawa hadir menjadi penenang. Maklumlah kepercayaan akan hal-hal supranatural masih sangat kuat di tengah masyarakat Jawa.
All posts by Lisa Andriani
Wabah Penyakit Menular di Tanah Jawa (Bag. 3)
WABAH penyakit mulai dari tingkatan endemi, epidemi, atau pun pandemi nyatanya acap tak pilih-pilih orang untuk dijangkitinya. Manakala wabah sudah merebak luas, setiap orang dari berbagai latar belakang, entah itu secara ras maupun etnis, kelas ekonomi maupun sosial dan pendidikan, hingga jenis kelamin maupun tingkatan usia, punya kans untuk terpapar dan bahkan dibuat terkapar.
Wabah Penyakit Menular di Tanah Jawa (Bag. 2)
SEPANJANG tahun-tahun eksisnya VOC serta era Hindia Belanda, tidak hanya penduduk pribumi yang merasa terancam oleh wabah-wabah yang bergantian menjangkiti Jawa. Itu juga menjadi ketakutan tersendiri bagi warga Eropa yang menetap di Jawa.
Wabah Penyakit Menular di Tanah Jawa (bag. I)
“…Jawa dari tahun 1625 sampai 1627 ditimpa oleh penyakit berat dan menular yang merongrong kesejahteraan dan kekuatan rakyat.”
H.J de Graaf dalam bukunya, Puncak Kekuasaan Mataram: Politik Ekspansi Sultan Agung hal. 136.
De Graaf menuliskan bahwa kegiatan kemiliteran sang maharaja Mataram, Sultan Agung, mengalami kemunduran pasca ekspansi ke Surabaya salah satunya diakibatkan oleh wabah penyakit menular. Dari laporan ke negeri Belanda pada 27 Oktober 1625, rakyat mengalami cobaan berupa “kematian, peperangan, kelesuan, bahan makanan yang mahal, dan pajak yang berat di seluruh tanah Jawa.”
Aturan tentang Lingkungan dalam Masyarakat Jawa Kuna (bagian 2)
“…Karena mereka menjaga hutan alang-alang di Gunung Lejar, maka mereka haruslah dibebaskan dari pajak apa pun… ”
Titah resmi Bhatara Hyang Wisesa, Wikramawarddhana, untuk masyarakat Desa Katiden sebagaimana tercantum dalam Prasasti Katiden II (1395 M)
Sebagaimana dapat dibaca dari nukilan Prasasti Katiden II yang diterbitkan pada tujuh abad silam, penduduk Desa Katiden dianugerahi hak istimewa oleh penguasa pusat Majapahit. Penduduk dari desa yang kini termasuk bagian daerah Malang tersebut beroleh anugerah demikian tadi karena dipandang mampu menjaga kelestarian lingkungan di Gunung Lejar, khususnya hutan alang-alang di sana. Mereka menghindarkannya dari kebakaran, baik itu yang berpenyebab perilaku sengaja maupun tidak sengaja oleh manusia, atau juga yang berpenyebab alami berupa cuaca kering musim kemarau. Dengan begitu, penduduk Katiden tentunya mengembangkan perilaku pemanfaaatan hutan menurut kaidah yang menjunjung pelestarian: tidak melakukan perambahan dengan teknik pembakaran, tidak pula melakukan penebangan liar.
Aturan tentang Lingkungan dalam Masyarakat Jawa Kuna (bagian 1)
“Terutama ladang dan sawah segala tanam-tanaman, agar tetap subur, peliharalah,”
Sabda dari Bhre Wengker, Wijayarajasa, dalam suatu perayaan besar bulan Caitra pada era Maharaja Hayam Wuruk
(pupuh LXXXVIII kitab Desawarnana/Nagarakretagama)
Kata-kata yang dikutip di awal tadi tepatnya merupakan bagian amanat Wijayarasa, satu di antara enam orang paling berkuasa di Kemaharajaan Majapahit pada medio abad XIV, di hadapan para pejabat segala lapisan pemerintahan dari seantero negeri. Kala itu, Maharaja Hayam Wuruk baru saja membuka ladang Watsari, sementara Bhre Singasari membuka ladang di Sagala, lalu Wijayarasa sendiri selaku Bhre Wengker membuka hutan Surabana, Pasuruan, dan Pajang. Dalam amanatnya, Wijayarajasa menekankan pentingnya ikhtiar berikut tindakan serius untuk memajukan kesejahteraan segenap masyarakat desa, tetapi dengan tidak melupakan pemeliharaan terhadap lingkungan sekitarnya. Continue reading
Permainan Anak di Kraton Surakarta Abad XIX-XX
“Permainan adalah asal usul dari kebudayaan” – Johan Huizinga,
penulis buku Homo Ludens.
Di dalam keputren, yaitu tempat tinggal para putri di kraton, anak-anak berkumpul dan bermain bersama. Tidak hanya para putri raja, putra raja yang belum akil baliq juga tinggal di sini. Di sudut area kraton ini sering dipenuhi dengan gelak tawa mereka yang asyik bermain. Hampir sebagian besar permainan anak di kraton identik dengan permainan yang berasal dari luar kraton, yaitu permainan anak di kalangan masyarakat pedesaan.
Bahasa Persatuan Bangsa: Dari Bahasa Melayu ke Bahasa Indonesia
“Kami putra-putri Indonesia, mengaku bertumpah darah satu, tanah air Indonesia.
Kami putra-putri Indonesia, mengaku berbangsa satu, bangsa Indonesia.
Kami putra-putri Indonesia, menjunjung bahasa persatuan, Bahasa Indonesia.”
Di dalam ruang Kongres Pemuda ke-II, 28 Oktober 1928, para pemuda memutuskan 3 poin penting di atas mengenai cita-cita berdirinya negara Indonesia, atau dikenal sebagai Sumpah Pemuda. Poin terakhir mengukuhkan bahasa nasional bagi bangsa Indonesia hingga seterusnya. Ya, bahasa Indonesia!