“Kami putra-putri Indonesia, mengaku bertumpah darah satu, tanah air Indonesia.
Kami putra-putri Indonesia, mengaku berbangsa satu, bangsa Indonesia.
Kami putra-putri Indonesia, menjunjung bahasa persatuan, Bahasa Indonesia.”
Di dalam ruang Kongres Pemuda ke-II, 28 Oktober 1928, para pemuda memutuskan 3 poin penting di atas mengenai cita-cita berdirinya negara Indonesia, atau dikenal sebagai Sumpah Pemuda. Poin terakhir mengukuhkan bahasa nasional bagi bangsa Indonesia hingga seterusnya. Ya, bahasa Indonesia!
Bahasa Indonesia berakar dari bahasa induknya yaitu Melayu, bahasa yang mayoritas dipakai di kawasan Asia Tenggara, termasuk di wilayah nusantara. Namun, suatu negara baru yang disebut Indonesia saat itu merupakan negara kepulauan yang amat luas. Terdiri dari berbagai kelompok suku dengan bahasa daerah yang berbeda-beda di setiap daerahnya. Tapi, mengapa bahasa Melayu yang dipilih sebagai bahasa nasional Indonesia?
Jika kita merunut sejarahnya ke belakang, bahasa Melayu telah menjadi bahasa pergaulan (lingua franca) di Nusantara sejak abad VII. Ada beberapa prasasti yang membuktikan penggunaan bahasa Melayu Kuno, seperti prasasti di Kedukan Bukit (683 M) dan Talang Tuwo (684 M) di Palembang, Kota Kapur (686 M) di Bangka Barat, serta Karang Brahi (688 M) di Jambi. Bahasa Melayu juga digunakan sebagai bahasa perdagangan di masa kurun niaga. Di Nusantara, Selat Malaka merupakan salah satu jalur pedagangan terpenting dan yang paling ramai di dunia. Jalur Malaka melintasi kota-kota pelabuhan di sepanjang pesisir yang masyarakat lokalnya berbahasa Melayu.
Sejak berdirinya kota perdagangan Malaya yang besar, yaitu Malaka pada sekitar awal abad XV, membuat para pedagang yang hendak berdagang di sini wajib harus bisa berbahasa Melayu, termasuk VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie, atau Kongsi Dagang Hindia Timur Belanda). Agar mampu berkomunikasi dengan penguasa lokal, VOC mendirikan sekolah berbahasa Melayu bagi kalangan keluarga pegawainya. Tidak hanya di Batavia, sekolah VOC berbahasa Melayu juga menyebar ke pos-pos VOC lainnya di Nusantara, meliputi Amboina, Ternate, Bacan, dan Manado.
Sebagai bahasa perhubungan, bisa diasumsikan bahwa mereka yang fasih berbahasa Melayu hanyalah yang memiliki kepentingan dagang, termasuk kalangan bangsawan dan pedagang itu sendiri. Rakyat biasa di wilayah non-berbahasa Melayu, seperti Jawa, tentunya hanya menggunakan bahasa daerahnya masing-masing. Terlebih, sistem pembelajaran masyarakat pribumi pada awalnya hanya belajar lewat pondok atau pesantren, sehingga bahasa yang digunakan adalah bahasa daerah atau Arab.
Lalu, di bawah pemerintahan kolonial Hindia Belanda mulai didirikan sekolah dengan sistem pendidikan berpola Eropa sekitar tahun 1852-1871. Bahasa Melayu diwajibkan sebagai bahasa pengajaran. Meskipun demikian, pendidikan saat itu jumlahnya masih sedikit dan sifatnya masih sambil lalu saja karena hanya anak-anak pembesar pribumi saja yang bisa bersekolah untuk dipersiapkan menggantikan jabatan ayahnya.
Baru di tahun 1871, paska diterbitkannya UU Pendidikan yang pertama, bahasa Belanda lambat laun menggantikan peranan bahasa Melayu di sekolah. Namun, sekolah yang dibuka tetap disesuaikan dengan sifat dualistis masyarakat pribumi saat itu, baik dalam sistem pengajaran maupun bahasa pengantarnya. Menurut Sartono Kartodirdjo di buku Sejarah Pergerakan Nasional Jilid 2, kategori sekolah era tersebut dibagi menjadi 4, yaitu:
- sekolah Eropa yang sepenuhnya memakai model sekolah Negeri Belanda
- sekolah bagi pribumi yang memakai Bahasa Belanda sebagai pengantar
- sekolah pribumi dengan bahasa Melayu/daerah sebagai bahasa pengantar
- sekolah yang memakai sistem pribumi
Proses belajar berlangsung dengan komunikasi, sementara komunikasi berlangsung dengan bahasa sebagaimana disampaikan oleh Parikitri T. Simbolon dalam buku Menjadi Indonesia. Maka diperlukan pendidikan, terutama dalam hal pengembangan bahasa, agar tercipta komunikasi yang menjadi bagian dari proses pengembangan budaya. Dari sekolah inilah, rakyat di Nusantara setidaknya mendapatkan dasar membaca dan menulis, kemudian mulai memahami bahasa Melayu. Perkembangan bahasa Melayu di masyarakat juga disokong oleh kehadiran media cetak. Di tahun 1890 baru berdiri 8 surat kabar dan majalah berbahasa Melayu dan bahasa daerah, naik menjadi 18 tahun 1905, dan 36 di tahun 1910. Secara umum, surat kabar era itu menggunakan bahasa Melayu sebagai perantara, walaupun di daerah peredarannya tidak menggunakan bahasa ini.
Namun, melihat konteks lokasi pergerakan nasional abad XIX-XX, mereka terpusat di kota-kota besar di Pulau Jawa, sebut saja Jong Java, Budi Utomo, Sarekat Islam, dan lainnya,. Bahkan, banyak tokoh pergerakan merupakan orang Jawa yang lebih fasih berbahasa Jawa dan Belanda, dibandingkan bahasa Melayu. Jika dipertimbangkan, sebenarnya orang Jawa saat itu memiliki pengaruh untuk memutuskan bahasa Jawa sebagai bahasa nasional, bukan? Tapi, hasil yang dipilih adalah bahasa Melayu. Apakah ini bentuk kerelaan orang Jawa?
Perdebatan antara dr. Cipto Mangunkusuma (Sarekat Islam) dengan Sutatmo (Budi Utomo) dalam Kongres Pengembangan Kebudayaan Jawa (1918) tentang cakupan kebangsaan, Hindia atau Jawa, bisa menjadi jawaban. Menurut Sutatmo, nasionalisme Jawa sudah memiliki dasar kebudayaan, bahasa, dan sejarah bersama dengan masyarakat Jawanya, sedangkan nasionalisme Hindia hanya reaksi terhadap penjajahan Belanda. Cipto membantahnya dengan mengatakan bahwa nasionalisme Hindia bangkit dalam suatu masyarakat yang bahasa dan kebudayaannya berbeda-beda. Kendati demikian, ia mengakui bahwa peranan kebudayaan Jawa penting dalam mendorong lahirnya kebangsaan Hindia itu. Hanya saja, bahasa dan kebudayaan Jawa, terutama dalam hal hirarki atau pelapisan masyarakat bisa menjadi penghambat daya cipta masyarakat karena penguasaan ilmu dan teknologi Barat tidak bisa dimainkan oleh kebudayaan orang Jawa.
Memang pada dasarnya, bahasa Melayu bersifat lebih sederhana dalam hal penyusunan kata karena tidak mengenal tingkat tutur, dibandingkan bahasa Jawa yang terbagi menjadi 3 tingkatan yaitu krama inggil, madya, dan ngoko. Sehingga, bahasa Melayu dirasa lebih aplikatif karena lebih mudah dipelajari bagi banyak masyarakat Indonesia yang belum semuanya mengenyam bangku pendidikan saat itu. Pada akhirnya di Kongres Pemuda 28 Oktober 1928, untuk memperkuat rasa kebangsaan, namanya pun diubah menjadi bahasa Indonesia karena bahasa bagi bangsa Indonesia itu sendiri.
Perjuangan menuju Kongres Pemuda tersebut tidaklah semudah yang kita bayangkan. Selain tekanan dari pemerintah jajahan dan perpecahan di antara organisasi pemuda sendiri, keterbatasan transportasi yang belum semasif sekarang membuat mereka sulit untuk saling bertemu. Alat komunikasi canggih pun terbatas pada telegram dan telepon yang biayanya tidak murah. Namun, mereka saling bersatu dan berkomitmen menciptakan negara Indonesia yang satu tanah air, bangsa, dan bahasa.
Pemuda masa kini sebaiknya bercermin dan menghayati kembali perjuangan pemuda Indonesia zaman tersebut, yang sampai berhasil melahirkan tiga poin ikrar Sumpah Pemuda. Di era milenial ini, memang tidak ayal bahwa masyarakat semakin mencari modernitas, termasuk dalam berbahasa. Penggunaan Bahasa Indonesia semakin tercampur baur dengan bahasa asing, terutama bahasa Inggris, dengan dalih menyesuaikan kebutuhan akan dunia yang semakin ter-global-kan. Diperparah dengan munculnya acara-acara televisi dan kehadiran sosial media yang banyak mengajarkan anak-anak muda penggunaan bahasa Indonesia yang kacau. Maka dari itu, lembaga pendidikan menjadi wadah utama yang sangat penting bagi generasi muda untuk belajar berbahasa, layaknya sekolah jaman dulu. Ingat, marilah tetap kita lestarikan budaya berbahasa Indonesia yang baik dan benar sebagai bahasa persatuan NKRI. Selamat Hari Sumpah Pemuda!
Keterangan gambar: Diorama Suasana Kongres Pemuda ke-II di Museum Sumpah Pemuda Jakarta (Foto diambil dari Tempo.co)
Referensi
Simbolon, Parakitri T. 2006. Menjadi Indonesia. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.
Kartodirdjo, Sartono. 1993. Pengantar Sejarah Indonesia Baru: Sejarah Pergerakan Nasional, dari Kolonialisme sampai Nasionalisme, Jilid 2. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
Badan Pengembangan Bahasa dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, “Sekilas Tentang Sejarah Bahasa Indonesia”, http://badanbahasa.kemdikbud.go.id/lamanbahasa/petunjuk_praktis/627/Sekilas%20Tentang%20Sejarah%20Bahasa%20Indonesia. Diakses pada 22 Oktober 2019 pukul 14.57 WIB.