Bedhaya Ketawang

PENARIBedhaya Ketawang dalam tradisi istana Jawa selalu dipilih dari para abdi bedhaya yang terbaik dan masih perawan. Keperawanan dalam ritual-ritual kraton merupakan suatu simbol kesucian. Bedhaya Ketawang sendiri merupakan tarian sakral yang khusus dipagelarkan pada hari jumeneng dan peringatan jumenengan raja Kasunanan Surakarta. Kostum para penari bedhaya ini merupakan kostum lengkap paes ageng yang dikenakan para pengantin putri raja sesuai dengan budaya kraton.

Dalam fungsi dan tingkat kesakralan, Bedhaya Ketawang terbilang “bersaudara kembar” dengan Bedhaya Semang di Kasultanan Yogyakarta. Hanya saja, jika Bedhaya Ketawang ditarikan sembilan penari perempuan, maka Bedhaya Semang ditarikan oleh 9 penari laki-laki. Bedhaya Semang adalah ciptaan Sultan Hamengkubuwana I sebagai salinan dari  Bedhaya Ketawang. Ini merupakan dampak dari Perjanjian Giyanti pada 1755 yang membagi dua  Mataram menjadi Surakarta dan Yogyakarta.

Induk Semua Tari
Dalam masyarakat Jawa, Bedhaya Ketawang dianggap sebagai tari sakral pusaka kraton yang menjadi induk bagi tari-tari bedhaya selanjutnya, bahkan tari-tarian lainya, sejak era Mataram Islam sampai dengan sekarang.

Bedhaya Ketawang melambangkan perlindungan Gusti Kanjeng Ratu Kidul, penguasa Laut Selatan, kepada Kerajaan Mataram. Pasalnya, secara turun temurun berkembang suatu keyakinan bahwa Bedhaya Ketawang adalah tari yang diciptakan oleh Gusti Kanjeng Ratu Kidul, sang penguasa Laut Selatan. Panembahan Senopati, raja pertama Mataram Islam, konon belajar tentang tata gerak Bedhaya Ketawang langsung kepada Ratu Kidul dalam pertemuan keduanya di Istana Ratu Kidul di Laut Selatan. Setelah itu, Ratu Kidul konon hadir ke Kraton Mataram setiap hari selama tiga bulan penuh untuk melatih para abdi bedhaya. Selanjutnya, dipercaya juga bahwa Ratu Kidul selalu hadir pada setiap Selasa Kliwon untuk melihat penampilan karya tari ciptaannya. Selasa Kliwon selanjutnya dikenal dengan nama anggara kasih, hari sakral pertemuan antara raja Mataram dengan GKR Kidul.

Konon, pada setiap Bedhaya Ketawang ditarikan, Ratu Kidul akan hadir dan ikut menari di hadapan raja. Legenda yang hidup dalam masyarakat Jawa mempercayai bahwa hanya raja dan orang-orang tertentu yang dapat melihat kehadiran sosok Ratu Kidul di antara pada penari Bedhaya Ketawang. Karena itu, mejelang dipergelarkannya tarian ini di hadapan raja, para penari harus menjalani serangkaian ritual yang disebut caos dahar. Ini adalah bentuk penghormatan dan memohon restu pada sang pencipta Bedhaya Ketawang, yaitu Ratu Kidul.

Ditulis oleh Rasti Wijayanti, Yoseph Kelik, dan Isti Yunaida

 Referensi

  • Dwiyanto, Djoko, Ensiklopedi Kraton Yogyakarta, Dinas Kebudayaan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, Yogyakarta, 2009
  • Hermanu dkk., Serimpi, Bentara Budaya Yogyakarta, Yogyakarta, 2011