Bercermin Tentang Hidup Lewat Lakon Wayang

Judul Buku : Wayang dan Panggilan Manusia wayang
Pengarang : Franz Magnis Suseno
Penerbit : PT.Gramedia Pustaka Utama
Tahun Terbit : Juli 1995 (Cetakan kedua)
Ukuran : 18 x 11 cm
ISBN : 979-511-306-2
Jumlah Halaman : viii + 107 halaman

 

Lakon pewayangan sangat dekat dengan hidup keseharian kita. Setiap lakonnya memuat makna tersirat tentang kompleksitas hidup manusia, yang tidak sesederhana sekedar membedakan antara baik dan buruk atau salah dan benar. Melainkan memberi gambaran jernih tentang permasalahan hidup manusia yang kompleks, kebutuhan akan eksistensi, prasangka, membuka realitas bahwa tak ada manusia yang seburuk iblis sama seperti tak ada manusia yang sesempurna malaikat.

Buku Wayang dan Panggilan Manusia menampilkan beberapa tokoh wayang yang mewakili ambiguitas sifat manusia, sebut saja Kumbakarna adik Rahwana, seorang raksasa yang hanya gemar makan dan tidur tapi nyatanya berbudi luhur, bersikap lemah lembut, dan berjiwa ksatria. Adapula Adipati Karna di kisah Mahabharata. Keduanya adalah ksatria sejati yang bersedia lebur di kubu angkara murka Rahwana dan Kurawa, karena Kumbakarna merasa berkewajiban mempertahankan tanah airnya Alengka, dan Adipati Karna tahu balas budi kepada Kurawa yang telah “membesarkannya”.

Slogan “sepi ing pamrih rame ing gawe” nyata dalam sosok Semar. Punggawa punakawan Pandawa ini sejatinya adalah Sang Batara Narada yang disegani para dewata namun mengambil rupa seorang abdi sederhana yang tidak terpelajar yang senantiasa menyertai jatuh bangun perjalanan hidup Pandawa. Kesaktian dan kebijaksanaan Semar tak diragukan lagi. Pandawa selalu selamat dan berhasil memenangkan pertarungan hidup karena selalu didampingi oleh Semar. Akan tetapi tak pernah timbul niatan untuk memperoleh imbalan kedudukan atau harta atas jasa-jasanya. Melihat pada Kumbakarna, Semar ataupun Adipati Karna siapapun diingatkan untuk selalu mawas diri, selalu memperhitungkan yang terlihat lemah, buruk atau marjinal, dan menilai seseorang harus dari segala sudut pandang.

Buku mini yang terbit perdana pada tahun 1991 ini ditulis secara apik oleh Franz Magnis Suseno. Penulis berhasil mereflesikan moral wayang dalam bahasa sederhana dan lugas tentang kompleksitas hidup manusia yang tersirat dalam lakon wayang, menjadikan buku ini cocok dibaca oleh siapapun. Nampaknya latar belakang penulis sebagai seorang cendekiawan, budayawan dan rohaniwan membuka refleksi lebih luas tentang keteladanan moral dalam wayang dengan nilai moral yang setara dalam Kitab Suci. Ini makin menegaskan bahwa moral wayang merupakan moral yang universal. (Ch. Maria Goreti/ Educator Tour & Divisi Riset Museum Ullen Sentalu)