DI Inggris pada 1749-1823 hiduplah seorang pria cerdas bernama Edward Jenner. Ia seorang dokter bedah, tapi sekaligus tetap menjadi dokter keluarga di pedesaan kampung halamannya.
Lebih dari itu, Jenner adalah pula peneliti cermat yang memiliki kapabilitas menghasilkan penemuan berlevel terobosan. Merujuk tulisan AW Beasley dalam Journal of the Royal College of Physicians Edinburgh 2011; 41 halaman 361–365, Jenner pada sekitar 200 tahun silam telah melakukan riset tentang angina pectoris, suatu nyeri dada yang berkaitan dengan gangguan jantung. Namun, penemuannya yang paling penting lagi paling berpengaruh terjadi pada 1796, mengantar Jenner jadi sosok yang terus dihormati hingga kini. Penemuan Jenner tersebut berupa vaksin cacar.
Dalam buku An Inquiry the Causes and Effects of the Variole Vaccinae (1800), Jenner menceritakan pengalamannya menguji cobakan materi rash cacar pada sapi kepada 23 orang kliennya. Dari penelitiannya diketahui bahwa jika materi rash cacar ditempelkan pada kulit seseorang maka penyakit itu akan menular, sedangkan jika materi itu ditempelkan pada luka yang ada di kulit seseorang maka tidak akan berefek apapun karena tubuh manusia memiliki imunitas. Berkat penelitiannya, Edward Jenner dikenal sebagai penemu ilmu imunitas dan pelopor vaksinasi efektif pertama, khususnya vaksin cacar.
Pada 1801, Jenner menerbitkan buku “On the Origin of the Vaccine Inoculation”. Buku ini menjadi salah satu sumber rujukan mahasiswa-mahasiswa kedokteran internasional.
Satu di antara pembaca buku tulisan Jenner karena memang memelajari ilmu imunitas serta metode vaksinasi adalah seorang pria Prancis. Namanya adalah Louis Pasteur. Di kemudian hari dunia, khususnya masyarakat medis dan farmasi, mencatat Pasteur menjelma jadi seorang ilmuwan terkemuka. Pada 1885, Pasteur mengaplikasikan vaksin untuk penangangan penyakit anthrax dan rabies.
Perkembangan ilmu vaksinasi secara internasional sejak penghujung abad XVIII dan pada sepanjang paro awal abad XIX menggelitik pihak Kolonial Belanda untuk menerapkannya di Hindia Belanda. Ilmu vaksinasi akhirnya dimasukkan dan diberi porsi besar dalam kurikulum pendidikan lembaga-lembaga pencetak tenaga kesehatan garis depan, mulai dari Sekolah Pendidikan Vaccinateur yang didirikan 1851, hingga versi upgrade-nya dari peralihan abad XIX ke XX: STOVIA.
Eijkman dan Beri-beri
Beriringan dengan itu, penelitian kedokteran internasional juga memicu penelitian bidang yang sama oleh pemerintah Kolonial Hindia Belanda. Contoh pelakunya adalah Christiaan Eijkman. Ia adalah seorang dokter sekaligus ilmuwan medis Belanda. Setelah usai lulus doktoral tahun 1883, ia pertama kali berdinas di Semarang, Cilacap, dan terakhir di Padang Sidempuan. Sayang, malaria memaksanya pulang ke Belanda tahun 1885. Setelah pulih, Eijkman bekerja di Laboratorium Bakteriologi Robert Koch di Berlin. Di Berlin, Eijkman bertemu dari ahli patologi Belanda, C.A Pakelharing dan C. Winkler yang saat itu sedang bersiap melakukan investigasi penyakit beri-beri yang mewabah di Hindia Belanda. Pertemuan tersebut ternyata membuat langkah Eijkman terbawa kembali ke Kepulauan Hindia. Ia lantas mengikuti Pakelharing dan Winkler ke Jawa, menjadi asisten riset mereka.
Wabah beri-beri berbarengan dengan kampanye politik dan militer Pax Neerlandica yang berlangsung pada paro akhir abad XIX. Beri-beri membuat risau Kolonial Belanda antara lain karena ikut merecoki kelancaran kampanye Pax Neerlandica. Penyakit itu contohnya banyak menyerang para serdadu, baik Belanda maupun pribumi, di daerah palagan perang seperti di Aceh. Unit-unit serdadu kolonial yang sehat hanya mampu bertahan sekitar enam minggu sebelum akhirnya terjangkiti beri-beri. Bahkan seorang dokter tentara menyebut bahwa di rumah sakitnya dalam satu hari ada 18 prajurit meninggal karena beri-beri.
Dalam misi penanganan beri-beri, Eijkman sesuai arahan Winkler fokus pada riset neurologis dan analisis bakteriologi di Rumah Sakit Militer Weltevreden. Setelah setahun bekerja, tim ini menemukan adanya micrococcus dalam darah pasien beri-beri. Akhirnya sampailah mereka pada kesimpulan bahwa beri-beri adalah polineuritis atau peradangan saraf di beberapa bagian tubuh, terutama anggota gerak, yang disebabkan infeksi bakteri.
Investigasi Pekelharing-Winkler berakhir tahun 1887. Namun hal ini bukan menjadi akhir cerita bagi Eijkman. Pada tahun 1888, Eijkman mendapat kehormatan, ia ditunjuk sebagai kepala atas Laboratorium voor Pathologische Anatomie en Bacteriologie yang diinisiasi Pekelharing-Winkler dan sekaligus jadi direktur untuk Sekolah Dokter Djawa (STOVIA). Hans Pols dalam Merawat Bangsa: Sejarah Pergerakan Para Dokter Indonesia (2019: 65-66) mengatakan bahwa kepercayaan itu menumbuhkan minat penelitian Eijkman lebih lanjut. Ia membawa peralatan bakteriologis terbaru pada masanya dari Belanda untuk menyelidiki lebih lanjut kasus beri-beri di Hindia Belanda.
Setelah mencoba langkah-langkah disinfektan dan eksperimen pada penyakit serupa pada ayam, Eijkman pada tahun 1896 menemukan penyebab beri-beri. Ia juga menemukan zat gizi antineuritik yang penting untuk mengatasi beri-beri. Zat gizi itu lantas dinamai thiamin atau lebih populer disebut Vitamin B1. Rangkaian penelitian Eijkman soal beri-beri tersebut secara berkala dimuat dalam jurnal Geneeskundig Tijdschrift voor Nederlandsch-Indie (GNTI) selama periode 1890-1927.
Kerja keras bertahun-tahun Eijkman meriset beri-beri dan menemukan konsep tentang Vitamin B1 akhirnya beroleh ganjaran kusala Nobel Bidang Fisiologi atau Obat-obatan 1929. Ia memenanginya bersama ilmuwan Inggris, Sir Frederick Gowland Hopkins. Dalam naskah pidato pengukuhan kusala Nobelnya, Eijkman mengungkapkan bahwa penyakit beri-beri sebenarnya telah ada sejak paruh pertama abad XVI M, tetapi wabahnya yang mematikan baru terlihat sekitar tahun 1860-an. Penyakit ini terjadi akibat kekurangan bahan penting dalam makanan pokok pada orang Hindia Belanda. Bahan kaya nutrisi itu terdapat di kulit ari beras (pericarpium).
Melawan Malaria
Rangkaian penelitian yang banyak juga dimuat dalam jurnal GNTI adalah tentang malaria, penyakit penyebab wabah endemik di Nusantara selama berabad-abad. Bernard H.M. Vlekke dalam Nusantara: Sejarah Indonesia (2018) mencatat bahwa pasca VOC menyelesaikan penggalian kanal baru tahun 1732, tiba-tiba penyakit malaria menyebar luas dan begitu mendadak. Dokter masa itu gagal menemukan penyebabnya. Penduduk pun mengira wabah itu disebabkan cuaca tropis dan kondisi kebersihan kota yang kian hari kian memburuk. Dalam anggapan mereka, udara berbau busuk dari kanal-kanal yang kotor adalah pembawa penyakit itu. Susan Blackburn dalam Jakarta: Sejarah 400 tahun (2011) mengatakan penyakit malaria sangat memerosotkan pamor Batavia sebagai kota persinggahan orang Eropa di Kepulauan Hindia. Dari awalnya dikenal sebagai kota tercantik, berubah jadi kota paling tidak sehat di Timur pada paro akhir abad XVIII.
Meski sebab pasti malaria belum diketahui pada awal abad XIX, tetapi orang Eropa kala itu sudah tahu obat penangkalnya adalah sari pati kulit pohon kina yang disebut kinine. Sayangnya, pohon ini hanya bisa ditemukan di Pegunungan Andes di Amerika Selatan. Pasokannya pun sedikit sehingga hanya orang-orang tertentu yang mampu membelinya. Kondisi inilah yang memicu aklimatisasi pohon kina di Jawa. Selain menjanjikan keuntungan ekonomis, produksinya berguna menekan wabah malaria di tanah jajahan.
Menurut penelusuran Andrew Goss dalam Belenggu Ilmuwan dan Pengetahuan: Dari Hindia Belanda sampai Orde Baru (2014), ahli botani J.K. Hasskarl berhasil membawa bibit kina dari Peru ke Jawa pada 1854. Usaha Hasskarl itu lalu dilanjutkan Franz Wilhelm Junghuhn, ahli botani Belanda kelahiran Jerman. Junghuhn cukup berhasil mengembangkan perkebunan kina di dataran tinggi Malabar, Jawa Barat.
Riset malaria sendiri baru mencapai tahapan menentukan yang benar-benar mampu memahami penyakit tersebut pada 1880. Itu tepatnya berkat kerja Dokter Charles Alphonse Laveran. Ketika mengotopsi tubuh seorang korban malaria di Algeria, ahli patologis asal Perancis itu mengidentifikasi adanya protozoa dalam darah si korban. Protozoa itu dinamainya Oscillaria malariae dan kemudian lebih dikenal sebagai plasmodium. Penemuan Dokter Laveran itu mematahkan persepsi bahwa malaria disebabkan kondisi udara memburuk. Temuan ini dimuat parasitolog Jan Peter Verhave dalam First Phase of Modern Malaria Research in the Dutch Indies 1880 – 1918 dalam bunga rampai The Medical Journal of the Dutch Indies 1852-1942 (2017:396).
Di Hindia Belanda, orang yang pertama tercatat melakukan riset terkait malaria adalah petugas dinas kesehatan kolonial bernama Allard van der Scheer. Ia mengobservasi morfologi plasmodium. Ia berpikir pengetahuan morfologi plasmodium yang mendalam akan bermanfaat bagi diagnosis malaria. Dari mikroskopnya, van der Scheer mengamati sesuatu yang unik. Dalam sampel darah pasien malaria, sel-sel darah merah (eritrosit) yang sehat saling menempel dan membentuk semacam gulungan. Sementara eritrosit yang terinfeksi tak ikut bergerombol. Dari riset inilah pengamatan mikroskopis mestinya jadi metode pertama untuk diagnosis malaria. Hasil observasi van der Scheer ini dipublikasikan dalam jurnal GNTI pada 1891.
Dua tahun kemudian, satu penelitian lain van der Scheer terkait demam pada penderita malaria dipublikasikan juga dalam jurnal GNTI. Penelitian tersebut adalah hasil kolaborasi van der Scheer dengan seorang ilmuwan lain. Nama sang ilmuwan lain itu adalah Christiaan Eijkman.
DAFTAR PUSTAKA
Bergen, Leo van, Liesbeth Hesselink, dan Jan Peter Verhave. 2017. The Medical Journal of the Dutch Indies: 1852-1942. A Platform for Medical Research. Jakarta: Indonesian Academy of Science (AIPI).
Blackburn, Susan. 2011. Jakarta: Sejarah 400 tahun. Depok: Masup Jakarta.
Boomgaard, Peter. Smallpox, Vaccination, and Pax Neerlandica, Indonesia 1550-1930. Bijdragen tot de Taal, Land-en Volkenkunde 159 (2003), no. 4, Leiden, hal 590-617.
Goss, Andrew. 2014. Belenggu Ilmuwan dan Pengetahuan: Dari Hindia Belanda sampai Orde Baru. Jakarta: Komunitas Bambu.
Jenner, Edward. 1800. An Inquiry the Causes and Effects of the Variole Vaccinae. DN Shury, Berwick Street, Soho.
Jenner, Edward. 1801. The Origins of Vaccination Inoculation. DN Shury, Berwick Street, Soho.
Pols, Hans. 2019. Merawat Bangsa: Sejarah Pergerakan Para Dokter Indonesia. Jakarta: Penerbit Buku KOMPAS.
Vlekke, Bernard H.M. 2018. Nusantara: Sejarah Indonesia. Jakarta: Gramedia.