Dari Yogya Sejarah Ibu Berawal

Setiap tanggal 22 Desember kita memperingati sebagai Hari Ibu Nasional. Perayaan ini diresmikan oleh Presiden Soekarno berdasarkan Dekrit Presiden No. 316 Tahun 1953, pada saat acara ulang tahun ke-25 Kongres Perempuan Indonesia 1928.

Pada saat itu tanggal 22 Desember 1928 di Yogyakarta dengan antusias perempuan-perempuan yang datang dari 30 organisasi perempuan dari 12 kota di Jawa dan Sumatera bergegas memasuki ruang kongres. Hadir juga  Soejatin, Nyi Hajar Dewantara, Ny. Soekonto, dan masih banyak lagi. Sebagian besar mereka masih berusia muda.

Sentimen rasa nasionalis pada tahun itu memang sedang tinggi, hal ini ditandai dengan telah dilakukannya Kongres Pemuda Indonesia Ke-2 yang mendahului Kongres Perempuan, namun sejarah organisasi perempuan Indonesia sebenarnya telah dimulai tahun 1912, karena jika ditelusuri dari berdirinya organisasi perempuan pertama adalah pada tahun 1912.

Kongres diadakan di sebuah pendopo Dalem Jayadipuran, milik seorang bangsawan, R.T. Joyodipoero. Sekarang ini gedung tersebut sudah digunakan sebagai kantor Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional di Jalan Brigjen Katamso, Yogyakarta.

Meskipun pihak panitia sudah memberi kabar, kongres yang mereka gelar memiliki dukungan legalitas dari pemerintah kolonial. Namun kekhawatiran tetap terasa. Maklum, sejak kongres pemuda digelar dan melahirkan Sumpah Pemuda pada 28 Oktober 1928, pemerintah kolonial terkesan lebih waspada. Karena Sumpah Pemuda, tak hanya meninggalkan rasa malu yang luar biasa bagi Belanda. Tapi juga segudang ketakutan. Karena bagi mereka, tak ada ancaman yang lebih hebat selain kesadaran menjadi bangsa yang merdeka.

Agenda yang mereka bicarakan adalah peran perempuan dalam perjuangan kemerdekaan, peran dalam berbagai aspek pembangunan, perbaikan gizi, bahkan kesehatan ibu dan balita. Selain itu, isu kesetaraan gender juga jadi bahan pembicaraan serius selama kongres. Sampai akhirnya, ditetapkan beberapa keputusan strategis, diantaranya, mengirimkan mosi kepada pemerintah kolonial untuk menambah sekolah bagi anak perempuan.  Lalu, kongres juga memtuskan pemerintah wajib memberikan surat keterangan pada waktu nikah (undang undang perkawinan), diadakan peraturan yang memberikan tunjangan pada janda dan anak-anak pegawai negeri Indonesia, dan masih banyak lagi.

Tujuh tahun kemudian, dilaksanakan Kongres Perempuan Indonesia II. Dalam kongres kali ini, dibentuklah BPBH (Badan Pemberantasan Buta Huruf). Dan tak lama kemudian, tahun 1938, digelar Kongres Perempuan Indonesia III. Dalam kongres ini, muncul gagasan penetapan tanggal 22 Desember sebagai Hari Ibu. Pengukuhan Hari Ibu sendiri secara resmi baru dilakukan setelah Indonesia merdeka. Lewat salah satu dekritnya, Presiden Soekarno menetapkan 22 Desember sebagai Hari Ibu. Penetapan ini dilakukan sebagai penghormatan pada semangat para wanita yang turut berperan dalam perjuangan merebut kemerdekaan, sekaligus jadi pilar penting keluarga Indonesia.

Soekarno yang dikenal sangat mencintai ibunya, sangat memahami bahwa peran ibu di masa perjuangan memiliki dua makna istimewa. Wanita tak hanya jadi pendamping, tapi justru bahu membahu berlaga di medan perang. Mulai dari peran sebagai tukang masak di dapur, di rumah sakit, hingga ikut angkat senjata melawan penjajah. Di sisi lain, perempuan adalah ibu bagi anak-anaknya. Di tangan seorang ibu, anak mendapat perawatan dengan penuh kasih sayang, hingga kelak dewasa.

sumber:http://kowani.or.id/