Memandang Bencana Sebagai Paringan Gusti

kekuatanjiwaJudul Buku : Kekuatan Jiwa Orang Jawa Kebangkitan Dari Bencana Gempa Bumi 2006 Dan Erupsi Merapi 2010
Penyusun : Dr. Widya Nayati , M.A
Penyunting : Dr. Widya Nayati, M.A
Penerbit : Ombak
Tahun Terbit : 2012
Jumlah halaman : vii + 47


Buku berjudul Kekuatan Jiwa Orang Jawa Kebangkitan Dari Bencana Gempa Bumi 2006 Dan Erupsi Merapi 2010 merupakan buah dari program kegiatan oleh Pusat Kajian Pengembangan Kebudayaan Indonesia Universitas Gajah Mada. Merupakan tulisan kompilasi beberapa orang akademisi yang telah melalui penyuntingan oleh Dr. Widya Nayati, M.A. Isinya mengenai “rahasia” ketahanan jiwa masyarakat Yogyakarta di dua lokasi bencana alam yang pernah menimpa Yogyakarta di tahun 2006 dan 2010, hingga menjadikan mereka segera pulih dan berbenah diri dalam waktu yang relatif cepat. Buku ini berisi enam bab. Dua bab mengkisahkan ulang peristiwa gempa bumi yang menimpa Yogyakarta bagian selatan di tahun 2006 dan bagaimana masyarakat di Yogya selatan menyikapinya. Satu bab yang lain mengkisahkan peristiwa erupsi Gunung Merapi yang menimpa masyarakat Yogya bagian utara dan bagaimana mereka menyikapinya. Tiga bab sisanya mengurai bagaimana kearifan hidup orang Jawa tampil sebagai benteng pertahanan jiwa korban-korban gempa dan erupsi Merapi hingga mampu segera bangkit dari keterpurukan bahkan menyikapi bencana yang menimpa secara positif.

Tak peduli seberapa parah kerugian jiwa dan benda yang dialami, bagi para korban terdampak bencana, bencana alam tetap dipandang sebagai “paringan Gusti” yang tak bisa dihindari tetapi harus diterima. Masyarakat di lereng Merapi telah mengenal aktivitas Merapi dengan siklus empat tahunan sekali. Karenanya erupsi Merapi telah dianggap sebagai bagian dari kehidupan mereka yang pada akhirnya akan memberikan rejeki. Dalam kepercayaan setempat, erupsi Merapiadalah pertanda bahwa Eyang Merapi sedang mengadakan hajatan. Harta benda, hasil bumi, dan ternak yang musnah dalam bencana dianggap sekedar dipinjam oleh Eyang Merapi untuk keperluan hajatannya dan kelak “dikembalikan” berkali-kali lipat di masa-masa selanjutnya. Tanah tempat tinggalnya tetap dianggap tanah yang “ngrejekeni” artinya sarat rejeki meskipun rawan erupsi Merapi. Ini sekilas teladan menyikapi secara positif dalam kondisi terburuk sekalipun. Korban gempa di wilayah selatan Yogyakarta pun bersikap demikian. Terlepas dari segala kerugian harta benda yang diderita mereka masih bersyukur nyawanya masih terselamatkan. Ketika gempa terjadi (sekitar pukul 5.55 WIB), mereka sudah bangun tidur dan bekerja jauh dari rumah. Bagi mereka bangun pagi dan bekerja menjadi suatu berkat Ilahi yang telah menghindarkan mereka dari akibat terburuk “paringan Gusti” tersebut.

Hubungan yang masih kuat antara masyarakat Yogyakarta dengan raja sebagai pimpinan tertinggi dalam konteks budaya terwujud dalam kunjungan Sultan Hamengku Buwana X ke dua lokasi bencana, gempa dan erupsi. Mereka seolah memperoleh ketentraman batin setelah raja menjenguk mereka di lokasi bencana. Kehadiran raja turut menjadi sarana pemersatu. Yang utama pedoman pada nilai luhur dan prinsip hidup gotong royong, eling lan waspada, sapa obah mamah, manungsa saderma nglakoni, atau Gusti ora sare menjadikan mereka lebih mudah bangkit, tidak hanya bagi diri atau kelompok kerabatnya saja melainkan bersama-sama dengan sesama korban bencana di sekitarnya. Slogan di cover belakang buku ”Dudu Sanak Dudu Kadang Yen Mati Melu Kelangan” menekankan hal ini.

Buku setebal hanya sekitar 40-an halaman ini boleh jadi cukup komprehensif menjadi rujukan awal untuk memahami sikap hidup orang Jawa tentang bertahan dan bangkit dalam situasi sulit. Menarik pula membaca cerita-cerita lisan di masyarakat lokal yang membentuk sikap positif dalam melalui bencana atau situasi sulit. Tak menutup kemungkinan dengan membaca buku pembaca menemukan perspektif baru dalam menyikapi setiap peristiwa hidup. (Ch. Maria Goreti/ Divisi Riset Museum Ullen Sentalu)