Menyisir Bangunan-Bangunan Karya Para Arsitek Era Kolonial

arsitekturkolonialkecilBuku : Arsitektur Kolonial Belanda di Indonesia
Penulis : Yulianto Sumalyo
Penerbit : Gadjah Mada University Press
Jumlah Halaman : x + 239
Tahun Terbit : 1993

“MENGETENGAHKAN arsitek dan biro arsitek Maclaine Pont, Thomas Karsten, CP. Wolf Schoemaker, W. Lemei, C. Citroen, Ed. Cuypers & Hulswit Batavia, Algemen Ingineurs en Architekten.”

Begitulah serenteng kalimat cukup panjang yang tercetak pada sampul depan maupun halaman prancis dari buku terbitan perdana 22 tahun lalu ini. Buku lawas ini dikembangkan dari tesis doktoral sang penulis, yang berisikan hasil riset terhadap warisan arsitektur kolonial Belanda di kota Semarang, Magelang, serta Pasuruan. Hanya saja, dalam versi buku ini, kota-kota yang dibahas bangunan-bangunan kolonialnya lebih banyak dari tiga kota yang diriset untuk kepentingan riset doktoral. Jakarta, Bandung, Tegal, Yogyakarta, Trowulan, Kediri, Makassar, juga Medan merupakan kota-kota yang dibahas bangunan-bangunan kolonialnya di sini. Hanya saja, pembahasan untuk masing-masing kota tidaklah memiliki porsi yang sama. Ada yang dibahas banyak; ada pula yang dibahas sedikit atau malah selintas saja. Soalnya, pembahasan terhadap bangunan-bangunan warisan kolonial dalam buku ini memang lebih merujuk kepada para perancang dan pemborongnya ketimbang merujuk kota-kotanya.

Masa ke Masa
Boleh dibilang setiap bangunan kolonial yang diulas dalam buku ini diberi ilustrasi mencukupi. Ilustrasi tersebut meliputi foto-foto lama bangunan tersebut pada awal abad XX yakni pada era Hindia Belanda, foto-fotonya pada jelang penghujung abad XX atau semasa era Indonesia Merdeka , juga denah-denah rancangan arsitekturnya. Beberapa bangunan bahkan memiliki ilustrasi yang terbilang berlimpah. Dengan begitu, pembaca dapat memeroleh gambaran perkembangan bangunan yang diulas tersebut dari masa ke masa.

Selain itu, ada sejumlah bangunan yang dilengkapi ilustrasi berupa foto udara dari era kolonial. Foto-foto udara tersebut tak hanya merekam suatu bangunan sendirian. Pada foto-foto udara tersebut turut terekam bangunan-banguna lain serta lansekap di sekitarnya. Dengan begitu, pembaca buku ini jadi dimungkinkan pula mengamati perkembangan lingkungan perkotaan di Indonesia, antara dulu semasa Hindia Belanda dan lalu semasa Indonesia Merdeka.

Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, buku ini memilah-milah ulasannya menurut sosok-sosok arsitek dan biro arsitek. Total ada tujuh arsitek dan biro arsitek yang diulas dalam buku ini, masing-masih memeroleh satu bab tersendiri. Siapa saja mereka? Rinciannya dapat ditengok pada nukilan pembuka tulisan ini.

Nuansa Lokal
Dalam setiap bab tentang masing-masing arsitek maupun biro arsitek, ada cuplikan kisah hidup mereka. Lalu ada pula cerita evolusi gaya arsitektur ataupun terobosan inovatif mereka. Sebut saja dalam hal ini tentang bagaimana pengalaman meriset relief-relief candi era Majapahit lantas menggeser orientasi langgam arsitektur seorang Henri Maclaine Pont (1885-1946), dari semula murni klasik Eropa menjadi banyak mengadopsi teknik-teknik konstruksi maupun estetika yang memunculkan nuansa lokal, khususnya Jawa dan Sunda. Contohnya adalah pada karya-karya Maclaine Pont seperti Museum Trowulan, Gereja Pohsarang Kediri, serta Komplek Kampus ITB di Bandung Utara. Atau tentang bagaimana Thomas Karsten (1884-1945) ketika membangun Pasar Johar Semarang menerapkan bentuk pilar-pilar yang melebar pada bagian atasnya, yang mampu mengemban tiga fungsi sekaligus yakni penopang, sirkulas udara, juga pencahayaan. Sayangnya, Pasar Johar terbakar habis pada Mei 2015. Semoga saja renovasinya nanti tak menghilangkan warisan ciptaan arsitektur dari Karsten, khususnya dalam hal ini adalah pilar-pilarnya yang melebar di bagian atas.

Menarik pula membaca tentang bagaimana rekayasa yang dihasilkan para arsitek dan biro kolonial untuk menghadapi deraan hawa tropis yang panas dan lembab. Sirkulasi udara dan pencahayaan bangunan diupayakan bagus dengan penerapan jendela dan pintu yang tinggi dan lebar, juga adanya serambi lebar dan koridor yang mengelilingi kumpulan ruang sehingga mengisolasi ruangan-ruangan terseut dari pertemuan langsung dengan panas sinar matahari maupun tampias guyuran hujan di luar. Pendekatan ala para arsitek kolonial semacam itu sebenarnya lebih ramah lingkungan. Sayangnya, pendekatan tersebut dalam dekade kedua abad XXI ini, juga sedari sekitar 3 dekade terakhir, cenderung tak lagi populer digunakan pada bangunan-bangunan perkantoran maupun tempat tinggal di Indonesia. Semuanya adalah atas nama kepraktisan dengan penggunaan mesin penyejuk udara, juga dengan pertimbangan meminimalkan aksi kriminal.

Buku ini jelas dokumentasi serta ulasan penting tentang perkembangan dunia arsitektur Indonesia, khususnya sepanjang paro pertama abad XX. Rasanya akan bagus juga andainya buku semacam ini dapat diterbitkan lagi edisi pemutakhirannyanya, yakni dengan dilengkapi foto-foto kondisi terakhir pada era 2000-an dari bangunan-bangunan yang diulas dalam buku ini. Dengan begitu, pembaca akan mampu beroleh informasi tentang nasib terkini dari bangunan-bangunan warisan kolonial, tak cuma terhenti pada kondisinya pada 1980-an.

Kalaupun pemutakhiran ilustrasi tak dimungkinkan oleh berbagai sebab, buku ini tetap dapat menjadi pegangan yang bisa diandalkan ketika merunut nasib berbagai bangunan kolonialnya. Pemutakhiran data dari buku dapat diteruskan secara mandiri oleh berbagai pihak, pula didokumentasikan di aneka platform lain: situs berita, jurnal digital, blog, atau bahkan media sosial. (Yoseph Kelik/Periset di Museum Ullen Sentalu)