bagian-relief-parthayajna-di-candi-jago

Mpu Bharada, Sang Penjinak Wabah dan Pelaksana Pembelahan Jenggala dengan Kediri, dalam Legenda maupun Catatan Historis

KHUSUSNYA untuk orang Jawa dan Bali, Mpu Bharada adalah tokoh yang diyakini hidup dan berperan penting di masa pemerintahan Maharaja Airlangga, sekitar paro I abad XI Masehi. Isi lakon Calon Arang menjadi penyumbang penting memori orang Jawa dan Bali terhadap sosok Mpu Bharada yang sering pula disebut memakai nama Mpu Baradah.

Dalam Legenda

Calon Arang sendiri merupakan kisah legenda yang mendapatkan judulnya dari nama salah satu tokoh utamanya. Calon Arang adalah seorang janda dari Desa Girah atau Jirah, konon di sekitar Kediri saat ini. Calon Arang adalah pemimpin suatu sekte agama sekaligus orang berkemampuan linuwih dalam hal melakukan teluh. Karena marah tak ada orang yang melamar putri tunggalnya, ia lantas menyebar teluh yang mampu menimbulkan wabah penyakit mematikan di seantero negeri yang diperintah Maharaja Airlangga. Pageblug itu baru terjinakkan setelah Mpu Bharada dimintai turun tangan oleh Maharaja Airlangga. Untuk menuntaskan titah Airlangga itu, Mpu Bharada menyuruh seorang murid terpercayanya untuk melamar dan menikahi putri Calon Arang, lalu mengambil kitab ilmu rahasia mertuanya. Ini menjadi kunci kemenangan Mpu Bharada ketika akhirnya beradu kanuragan dengan Calon Arang.

Kisah Calon Arang mula-mula tertuliskan dalam format kidung, format penulisan sastra khas Jawa yang terutama muncul dan berkembang di masa pertengahan dan surutnya Majapahit. Kisah tersebut terbilang sangat populer di Bali sebagai cerita tutur maupun pentas pertunjukan. Dalam khazanah tari Bali, tokoh Calon Arang dimunculkan sebagai sosok Rangda yang bertarung melawan Barong.

Isi kisah Calon Arang sampai kepada orang Indonesia di zaman modern antara lain berkat kerja penerjemahan oleh Raden Ngabehi Poerbatjaraka. Penerjemahan tersebut pertama-tama dilakukan dari naskah lontar yang ditemukan di Bali yang lantas dialihaksarakan ke huruf alfabet Latin dan dialihbahasakan ke bahasa Belanda. Poerbatjaraka melakukan hal tersebut pada 1926.

Baik tokoh Calon Arang maupun Mpu Bharada muncul dalam sejumlah produk budaya populer modern. Dalam hal ini di antaranya bisa disebut dua buah novel, yakni Cerita Calon Arang yang terbit perdana pada 1957 dan merupakan hasil gubahan maestro sastra Indonesia, Pramoedya Ananta Toer, serta Janda dari Jirah yang terbit pada 2007 karya novelis asal Bali, Cok Sawitri. Lalu ada juga film Ratu Sakti Calon Arang yang beredar pada 1985 dan dibintangi oleh Ratu Film Horor Indonesia, Suzanna. Di film hasil penyutradaraan Sisworo Gautama tersebut, tokoh Mpu Bharada diperankan oleh Amoroso Katamsi.

Dalam Catatan Historis

Tokoh Mpu Bharada nyatanya tidak sekadar sosok dalam legenda. Eksistensinya disokong pula sumber-sumber sejarah tertulis dari zaman Tumapel-Singhasari dan Majapahit. Namun, catatan historis lebih menyoroti peran Mpu Bharadaa sebagai pelaksana pembelahan Kemaharajaan Medang Kahuripan di akhir masa pemerintahan Maharaja Airlangga menjadi Jenggala dan Panjalu alias Kadiri. Pemaparan tentang peran Mpu Bharada tersebut cenderung hiperbolis.

Prasasti Wurare yang dikeluarkan Maharaja Kertanegara dari Tumapel-Singhasari pada 1289 M adalah satu catatan sejarah yang menyebut tentang Mpu Bharada. Di sana, Mpu Bharada disebut sebagai tokoh begawan sakti yang melakukan pembagian Jawa menjadi dua kerajaan: Janggala dan Panjalu. Pembagiannya sendiri disebutkan melalui cara magis. Konon suatu kendi bermuatan air suci dikucurkannya dari ketingian langit dan lalu memunculkan aliran sungai pemisah.

Kisah tentang Mpu Bharada termuat pula dalam kakawin Desawarnana/Nagarakretagama yang merupakan karya pada pertengahan zaman Majapahit. Dalam kitab perpaduan antara travelog dan kronik yang penulisannya dirampungkan Mpu Prapanca pada 1365 tersebut, secuplik kisah tentang Mpu Bharada hadir di pupuh 68. Isi kisahnya terbilang masih senafas dengan apa yang disebutkan oleh Prasasti Wurare, bahkan memberikan gambaran cerita yang lebih kaya. Tak cuma soal pembagian dua Jawa menjadi Janggala dan Kadiri. Turut diceritakan bahwa pembagian itu dilakukan Maharaja Airlangga sebagai cara pewarisan kekuasaan untuk dua putranya. Penuangan air suci dari ketinggian angkasa untuk menciptakan perbatasan gaib diceritakan tak benar-benar tuntas karena jubahMpu Bharada tersangkut kepada pucuk sebuah pohon asam. Namun sekalipun tak tuntas, para penguasa Wangsa Rajasa disebut oleh Mpu Prapanca merasa perlu membangun suatu candi yang diyakini bisa melemahkan tuah pembelahan wilayah oleh Mpu Bharadha jauh di masa silam.

Melihat cukup banyaknya sumber tentangnya, Mpu Bharada terbilang cukup bisa diyakini sebagai tokoh historis. Namun, kesejarahan tentang tokoh yang dicatat dalam Nagarakretagama bertempat tinggah di Lemah Citra dan dihormati penduduk sekitarnya tersebut tentulah harus dengan diikuti dengan menafsir ulang atau bahkan menyisihkan deskripsi magis tentangnya, antara lain perihal kemampuan terbang serta menyeberangi lautan sembari menapak tenang.

 

REFERENSI

Muljana, Slamet. 2006. Tafsir Sejarah Nagarakretagama. Yogyakarta: LKiS Yogyakarta.

Rahayuningsih, Restu Ambar. 350 Prasasti tentang Indonesia. Sleman: Divisi Riset Museum Ullen Sentalu, 2016.

Ras, J.J., Masyarakat dan Kesusastraan Jawa . Jakarta: Yayasan Pustakan Obor Indonesia, 2014

Rifai, Mien Ahmad. Desawarnana: Saduran Kakawin Nagarakertagama untuk Bacaan Remaja. Depok: Komunitas Bambu, 2017

Zoetmulder, P.J. Kalangwan: Sastra Jawa Kuno Selayang Pandang. Jakarta: Penerbit Djambatan, Cetakan II 1985.