Judul Asli : De Regering van Sultan Agung, vorst Van Mataram, 1613-1645 en Die van Zijn Voorganger Panembahan Seda Ing Krapyak 1601-1613
Judul Terjemahan : Puncak Kekuasaan Mataram Politik Ekpansi Sultan Agung
Penulis : DR. H.J De Graaf
Penerbit : PT Pustaka Grafitipers
Jumlah Halaman : xii + 323
Tahun Terbit : 1958/ 1986
Jika anda punya ketertarikan dalam menelusuri masa kejayaan imperium Mataram maka anda akan dipuaskan dengan uraian kisah peristiwa yang ditulis dalam buku Puncak Kekuasaan Mataram Politik Ekpansi Sultan Agung. Buku ini merupakan buku sejarah yang diolah oleh sejarawan besar Belanda, DR. H.J De Graaf, yang banyak meneliti tentang Mataram Islam. Diterbitkan asli dalam bahasa Belanda di tahun 1958, buku ini merupakan salah satu dari rangkaian buku seri terjemahan Javanologi, sebagai hasil kerjasama antara Proyek Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Nusantara dengan Perwakilan Koninklijk Instituut voor Taal- Land en Volkenkunde.
Di bab-bab awal De Graaf membekali pembacanya dengan gambaran kondisi Mataram yang diwarisi Sultan Agung serta gambaran rinci sosok sang sultan ini. Selanjutnya uraian kisah mengalir bagaimana Sultan Agung menancapkan otoritas kekuasaannya sedemikian rupa atas banyak daerah di sekitar Mataram menjadikan mereka tunduk dalam kendali Mataram. Ini menempatkan Mataram menjadi imperium yang mengendalikan hampir seluruh Jawa. Ekspansi yang begitu sering selalu disertai alokasi biaya yang tak sedikit serta pengerahan sumber daya manusia yang tak terbilang banyaknya. Tapi berbuah panenan yang ajeg mengalir ke keraton bahkan sumber daya ahli yang akan berjasa memoles kemegahan kerajaan.
Penaklukan besar atas Surabaya, yang selama bertahun-tahun menjadi musuh bebuyutan Mataram, mengesahkan kendali Mataram di Jawa bagian timur. Untuk memperkuat dominasi ini diaturlah politik pernikahan lewat pernikahan antara adik perempuan Sultan Agung, Ratu Pandansari dengan putra penguasa Surabaya, Pangeran Pekik. Pangeran Pekik adalah orang yang piawai di bidang seni sehingga dengan kehadirannya semakin memoles karya seni Mataram. engan kreativitasnya ia juga menciptakan wayang krucil yang berukuran lebih kecil dibanding wayang kulit Jawa. Cerita yang diminkan umumnya mengambil dari cerita jaman Pajajaran dan Majapahit, meski tidak menutup kemungkinan memainkan cerita wayang purwa.
Tiga tahun setelah penaklukan Surabaya, Sultan Agung mengerahkan sumber daya militer secara besar-besaran menyerang VOC di Batavia. Penguasaan Gubernur Jendral VOC J.P Coen atas Batavia tahun 1619 menyadarkan Sultan Agung bahwa telah muncul kekuatan asing di tanah Jawa yang telah merebut satu bagian Pulau Jawa yang telah diincarnya sejak lama. Murka sang sultan berimbas dalam bentuk serangan besar-besaran atas Batavia hingga sebanyak dua kali di tahun 1628-1629. Walaupun berakhir dengan kegagalan di pihak Mataram tetapi keberanian Sultan Agung menyerang VOC membuat Mataram semakin disegani.
Sultan Agung membangun stabilitas kerajaan di atas alas kegagahan daya tempur aparat militer yang diimbangi legitimasi dari budaya keagamaan. Untuk ini dijalin diplomasi dengan ulama-ulama besar di Mekah untuk memberikan gelar Sultan. Di masa akhir hidupnya, Sultan Agung memandang perlu pembangunan suatu makam megah nan filosofis bagi dirinya dan keturunannya. Ini diwujudkan dalam pembangunan makam Imogiri yang ditempatkan di kawasan bukit Merak Pegunungan Seribu. Ia wafat dan dimakamkan di Imogiri tahun 1646.
Buku ini bisa dianggap sebagai rujukan yang komprehensif yang menawarkan gambaran rangkaian peristiwa masa pemerintahan Sultan Agung yang terjadi 400 tahun lalu. De Graaf yang merupakan sejarawan berkebangsaan Belanda sama sekali tidak mengabaikan sumber-sumber primer seperti babad serta cerita-cerita tradisional untuk merekonstruksi ulang peristiwa. Meski demikian penulis melakukan seleksi sumber mendalam, ini tersurat dalam bentuk perbandingan kisah peristiwa dalam sumber tradisional dengan data-data ilmiah maupun catatan orang Eropa yang sengaja disajikan dalam buku ini. Jalinan peristiwa diulas dengan sangat rinci, dengan banyak kutipan reka adegan peristiwa. Contohnya gambaran kegigihan wanita-wanita Madura ketika berperang menghadapi ekspansi Mataram atas Surabaya dituliskan :
“Dan dari orang-orang Madura tidak hanya laki-laki saja yang mempertahankan diri dengan gigih, tetapi wanita-wanita pun menyebabkan kesulitan bagi tentara Mataram. Mereka menggunakan senjata sebaik suami mereka dan memberi semangat kepada para suami sambil memaksa mereka bertempur. Beberapa orang laki-laki …, yang luka-luka berat, mengeluh tentang hal ini kepada para wanita, tetapi melihat luka-luka mereka terdapat di badan bagian belakang, para wanita itu memukul mereka sampai mati.”
Pembaca pun akan memperoleh gambaran lengkap antara lain tentang keraton, agama, masjid keraton, birokrasi kerajaan, kehidupan dalam istana, perajurit kerajaan, wabah penyakit, hingga reputasi Mataram di kawasan luar Pulau Jawa. Penerjemahan yang dilakukan dikerjakan oleh Pustaka Grafitipers bekerjasama dengan KITLV ini berhasil menyajikan gaya bahasa yang sederhana, lugas dan menstimulus imajinasi pembaca pada sorak sorai bala tentara dan ratap tangis rakyat jelata, sebagaimana yang diungkapkan dalam pengantar oleh peneribit. Namun uraian peristiwa yang sangat kronologis, font yang tidak terlalu besar ditambah spasi yang cukup rapat tidak dipungkiri cenderung menimbulkan kebosanan bagi pembacanya.
(Ch. Maria Goreti/ Educator Tour & Divisi Riset Museum Ullen Sentalu)