Sekolah” Asli Jawa  Sebelum Mengenal Sekolah ala Barat (#1): Padepokan

“Sekolah” Asli Jawa Sebelum Mengenal Sekolah ala Barat (#1): Padepokan

Jauh sebelum adanya sekolah-sekolah model Barat, masyarakat Jawa telah memiliki model pendidikan aslinya sediri, yang juga dijalankan dalam lingkup lembaga semacam sekolah. Meski agaknya cuma menjangkau sebagian kecil populasi. Padepokan dan pesantren adalah model pendidikan “sekolah” ala Jawa tersebut.

Perbedaan dari keduanya, padepokan eksis ketika masa budaya klasik (Hindu/Budha), sementara pesantren muncul sebagai proses Islamisasi Jawa yang mempertahankan budaya padepokan, tetapi telah diisi kaidah Islam. Demikianlah penjelasan tentang keduanya sebagaimana dipaparkan Nurinda KS Hendrowinoto dalam Ibu Indonesia dalam Kenangan (2004:137). Uniknya, selain banyak mencurahkan perhatian dalam perihal pembentukan karakter melalui pengajaran falsafah keagamaan, padepokan maupun pesantren pada dasarnya memiliki cakupan murid yang luas tanpa membatasi usia.

Khususnya tentang padepokan, alat bantu untuk melacak bentuknya tersedia pada relief candi, prasasti-prasasti, serta kitab-kitab susastra dari zaman Jawa Kuno. Sutrisno Kutoyo dalam Sejarah Daerah Istimewa Yogyakarta (1997) menjelaskan tentang wihara sebagai tempat tinggal para guru (begawan atau ṛṣi atau marhyan), juga tempat mengasuh dan mendidik siswanya, yang disebut cantrik. Menariknya, guru di masa Medang telah diidentifikasi asli Indonesia karena menyandang nama lokal. Contohnya adanya nama marhyaṇ i patahunan si jabuṇ, pendeta di Patahunan yang bernama Si Jabung, dalam Prasasti Papringan (880). Tak hanya itu, tata tertib murid di padepokan Jawa berbeda dengan di India yang terbatas bagi golongan Brahmana, Ksatria, dan Waisya. Model pendidikan padepokan di Jawa, dapat diikuti siapa saja, karena stratifikasi sosial masa Klasik di Jawa tidak didasarkan kasta tetapi kekuasaan.

Epigraf sekaligus pakar sejarah Boechari kurang lebih mengatakan bahwa padepokan merupakan suatu komunitas keagamaan yang biasanya terletak di lereng-lereng gunung. Deskripsi demikian dikemukakannya pada presentasi bertajuk ‘Perbanditan di dalam Masyarakat Jawa Kuna “dalam acara Pertemuan Ilmiah Arkeologi IV di Cipanas, 3-9 Maret 1986, lalu dimuat dalam buku Melacak Sejarah Kuno Indonesia Lewat Prasasti (2013). Di situ, Boechari mengulas secara singkat salah satu prasasti yang mencuplikkan keberadaan padepokan pada abad XII M, yakni Prasasti Sukun (1161 M). Dalam prasasti berupa piagam perunggu yang ditemukan di Malang itu padepokan disebut dengan memakai istilah kabuyutan. Tepatnya tercantum dalam kalimat lumagu śatruni kabuyutan, yang jika diterjemahkan dalam bahasa Indonesia  kurang lebih berarti pejabat dengan dukungan penduduk berhasil menghalau pengacau yang ingin menjarah kabuyutan. 

PJ Zoetmulder dalam Kalangwan halaman 257 mencatat beberapa istilah dari masa Jawa Kuno yang terbilang bersinonim dengan padepokan maupun wihara,  yakni  wanasrama, patapan, pangalusan, parhyangan, dan katyagan. Istilah kabuyutan sebagai sinonim bagi padepokan sebagaimana dicatat Prasasti Sukun tampaknya lestari juga di dalam masyarakat Jawa Kuno setidaknya sampai dengan peralihan abad XV ke XVI. Ini dibuktikan dari tercantumnya kabuyutan dalam kitab Bujangga Manik, naskah Sunda berupa semacam travelog keliling Jawa yang ditulis  di sekitar masa akhir Majapahit.

Gambaran singkat suasana kehidupan sehari-hari di padepokan berikut pengajaran n para guru di sana antara lain dapat ditengok dalam isi kitab Sumanasantaka dari 1204 M serta Pararaton dari 1603 M. Pupuh 28 Sumanasantaka memang berkisah tentang pertapaan di daerah pegunungan yang dikunjungi tokoh Pangeran Aja. Pararaton sempat bercerita singkat tentang sosok guru dari daerah Sagenggeng yang tentunya memiliki semacam padepokan dan menjadi tempat Ken Angrok semasa mudanya belajar menulis aksara maupun membaca naskah-naskah sastra.

Lama belajar di padepokan bagi para murid adalah setidaknya 1 tahun. Berbagai ilmu pengetahuan yang dipelajari antara lain bahasa dan kesusastraan, keagamaan, tata pemerintahan, keprajuritan, dan juga pertanian. Menurut Mardiyanto dalam Umbul Tlatar: Sumber Air Tidak Pernah Kering (2006:17-19) pendidikan mereka akan berakhir setelah melewati tahapan pendadaran ‘ujian’. Bagi mereka yang lulus akan diwisuda (mengucap sumpah) dengan cara direndam tubuhnya dalam sendang sementara para begawan mewedar wejangan.

Dalam kumpulan Naskah Merapi-Merbabu yang diperkirakan hasil penulisan setelah runtuhnya Majapahit, meliputi aneka tulisan dari abad XV-XVIII, ada beberapa yang mencuplikkan keberadaan sejumlah padepokan di lereng Gunung Merapi (Mandaragni) dan Merbabu (Damalung). Ini dipaparkan, Budi Subanar dalam Sradda-Jalan Mulia (2019) dengan merujuk isi Naskah Merapi-Merbabu temuan 1822-1852, yang PIA Van der Molen dinamai sebagai atau Kuñjarakuṇja Prosa. Beberapa padepokan yang disebutkan nama maupun lokasinya dalam Naskah Merapi Merbabu antara lain Gagerwindu di kaki barat daya Merbabu, Pamadin di bagian puncak barat daya Merbabu, serta Sidapaksa di lereng timur laut Merapi. (BERSAMBUNG KE BAGIAN 2 TENTANG PESANTREN)

Disunting oleh Yosef Kelik

 

DAFTAR PUSTAKA

  • Boechari. 2012. Melacak Sejarah Kuno Indonesia Lewat Prasasti. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.
  • Hendrowinoto, Nurinwa Ki S. 2004. Ibu Indonesia dalam Kenangan. The University of Michigan: Bank Naskah Gramedia bekerja sama dengan Yayasan Biografi Indonesia.
  • Mardiyanto. 2006. Umbul Tlatar: Sumber Air Tidak Pernah Kering. Pusat Bahasa, Departemen Pendidikan Nasional.
  • Subanar, Budi. 2019. Sradda-Jalan Mulia: Dunia Sunyi Jawa Kuno. Kepustakaan Populer Gramedia.
  • Zoetmulder, P.J. 1985. Kalangwan: Sastra Jawa Kuno Selayang Pandang. Penerbit Djambatan.