Medium sized JPEG (1)

Selayang Pandang Grebeg Mulud di Kraton

Hari kelahiran Nabi Muhammad merupakan hari istimewa bagi masyarakat muslim, tak terkecuali di Jawa. Dalam Kalender Jawa yang memadukan penanggalan Hijriah dan Saka, peringatan hari kelahiran Nabi Muhammad jatuh setiap tanggal 12 Mulud. Pada hari istimewa itu, Kraton Yogyakarta maupun Surakarta rutin mengadakan suatu upacara ageng yang dinamai “Grebeg Mulud”. Selama beberapa hari sebelumnya dihelatpulasuatu pesta rakyat yang lazim disebut sebagai Sekaten.

Di Kraton Yogyakarta, keseluruhan rangkaian prosesi upacara ageng bulan Mulud tersebut diawali pada tanggal 5 Mulud pukul 16.00. Tepatnya dengan dikeluarkannya Gamelan Sekati Kangjeng Kyai Nagawilaga dan Kangjeng Kyai Gunturmadu dari Bangsal Pamonggangan. Gamelan pusaka tersebut lantas diletakkan di tratag timur dan barat Bangsal Ponconiti di area Kemandhungan Ler atau yang disebut juga sebagai Keben. Gamelan-gamelan pusaka itu kemudian dibunyikan selepas Isya’  atau kurang lebih 19.00 sebagai pengiring bagi gendhing para wali.

Pada pukul 22.00, Sultan atau wakilnya akan datang meninjau dan menyebar udhik-udhikkepada khalayak ramai yang hadir. Udhik-udhiksendiri merupakan simbol sedekah raja kepada rakyatnya dalam wujud suatu campur baur dari beras kuning, sejumlah koin, serta bunga setaman. Sejam setelahnya, Gamelan Sekati dalam prosesi yang secara resmi dinamai Miyos Gongso diusung melalui Sitihinggil dan Alun-alun Utaramenuju ke kompleks Masjid Agung Kraton.Tepatnya ditempatkan Pagongan Lor untuk Kyai Nagawilaga, sedangkan untuk Kyai Gunturmadu di Pagongan Kidul. Di kedua tempat tersebut, sepasang Gamelan Sekati dibunyikan selama seminggu (5 – 11 Mulud).

Pada malam ke-7, Sultan atau wakilnya akan datang ke Masjid Agung dan sekali lagi menyebar udhik-udhik.Sultan akan turut duduk bersama hadirin untuk mendengarkan pembacaan riwayat Nabi Muhammad yang dilakukan oleh Kyai Penghulu. Begitu pembacaan riwayat Nabi Muhammad sampai pada asrokal, Sultanbersama pengiringnya akan keluar dan menerima persembahan bunga cempaka (caos sekar sumping) dari Kyai Penghulu. Jika Grebeg Mulud jatuh pada tahun Dal, maka setelah prosesi ini akan diadakan prosesi menendang tatanan bata atau dinamakan secara resmi sebagai Jejak Banon. Pada saat bersamaan, abdi dalem akan menata Gamelan Sekati untuk prosesi Kundur Gongso atau memulangkan gamelan ke kraton yang dilaksanakan setelah raja meninggalkan masjid.

Pagi harinya, 12 Mulud, puncak upacara grebeg pun dihelat. Pukul 08.00, gunungan dibawa para abdi dalem dari tempat pembuatannya di Panti Pareden  di halaman Bangsal Kemandhungan menuju ke Sitihinggil melalui Bangsal Ponconiti.Para bregada atau kesatuan prajurit Kraton akan berbaris mengiringinya. Di Sitihinggil, Sultanakan menampakkan diri di hadapan rakyatnya dan para tamu undangan,sekaligus menyampaikan pesan taklimat singkat. Iring-iringan bregada, para bupati, dan gununganlantas bergerakmenuju Masjid Agung Kraton untuk didoakan. Setelah gunungan didoakan, sebagian besar gunungan akan dibagikan ke rakyat untuk ngalap berkah. Sebagiangunungan dibawa kembali ke kraton, serta diperlakukan sebagai paringan Dalem.

Grebeg Mulud yang sedikit banyak dipaparkan di atas sesungguhnya hanyalah satu dari tiga upacara Grebeg yang rutin dihelat kraton saban tahun. Grebegyang disebut juga, garebeg atau gerbeg menurut Nur Ahmad dalam Perayaan Grebeg Demak sebagai Sarana Religi dalam Komunikasi Dakwah (2013) artinya suara angin menderu. Hal ini menggambarkan bahwa upacara ini melibatkan seisi kraton, segenap aparat, dan seluruh masyarakat dalam rangka mengiring raja atau pembesar kerajaan.

Grebeg Mulud memiliki kekhasan dibanding dua grebeg lainnya. Jumlah gununganGrebeg Muludlebih banyak dibandingkan Grebes Sawal (Idul Fitri) dan Grebeg Besar (Idul Adha) sehingga kesempatan pengalap berkah mendapatkan bagian gunungan semakin besar. Djoko Dwiyanto dalam Ensiklopedi Kraton Yogyakarta (2009) mengatakan bahwa gunungan yang dikeluarkan Kraton Yogyakarta pada Grebeg Mulud biasanya berjumlah 6 (2 gunungan kakung, 1 gunungan estri, 1 gunungan dalat, 1 gunungan pawuhan, 1 gunungan gepak) atau 7 (ditambah gunungan bromo) ketika bulan Mulud jatuh pada tahun Dal. Sementara itu, Darsiti Soeratman dalam Kehidupan Kraton Surakarta 1830-1939 (1989) mengatakan jumlah gunungan pada Grebeg Mulud tahun Dal di Kraton Surakarta berjumlah 24 (12 gunungan kakung dan 12 gunungan estri). Dalam dua grebeg lainnya tidak ada juga prosesi Miyos Gongso, Kondur Gongso, dan pesta rakyat Sekaten.

Tidak semua gunungan di Kraton Yogyakarta dibagikan ke rakyat umum. Sudarsono (2007) mengatakan bahwa  gunungan kakung Kraton Yogyakarta dibawa ke Kadipaten Pakualam sebagai paringan Dalem, gunungan bromo dibawa ke Kaputren untuk dibagikan para warga Kaputren, dan gunungan gepak dibagikan pada para Abdi Dalem setelah upacara grebeg selesai. Hal ini menunjukkan bahwa Sultan peduli pada seluruh warga masyarakatnya dalam segala lapisan. KPH Widya Budaya sebagaimana dicatata Izzatun Ni’mah dalam Keramaian dan Sekaten Yogyakarta 1938-2005 (2007) menegaskan bahwa pada masa pemerintahan Sultan Hamengkubuwono IX dan Sunan Pakubuwono XI (1939) prosesi kedatangan para bupati atau pisowanan grebeg mulai ditiadakan karena kondisi kraton berubah seiring munculnya gerakan nasionalis melawan kolonialisme Belanda dan Jepang. Selama masa-masa pergerakan ini; upacara grebeg juga menjadi upacara privat kraton. Jumlah gunungan dikurangi, bahkan kesatuan prajurit sempat dihilangkan. Bambang Soelarto dalam Garebeg di Kasultanan Yogyakarta (1993) mengatakan bahwa grebeg diselenggarakan kembali untuk umum tahun 1970-an, bahkan ditambah dengan rangkaian pasar malam selama ± 40 hari sejak awal bulan Safar hingga malam 12 Mulud. Sejak saat itu grebeg bukan lagi sebagai sebagai media dakwah, tetapi media konsolidasi politik dan budaya nasionalis karena kraton sejak kemerdekaan resmi menjadi bagian NKRI.

Istilah Sekaten

Istilah sekaten sendiri konon dihubungkan dengan nama Gamelan Sekati yang ditabuh pada 5-11 Mulud. Demikianlah penuturan Ismail Yahya dalam Adat-adat Jawa dalam Bulan-bulan Islam (2009). Imbuh R.M Soedarisman dalam Moela Boekaning Wonten Garebeg (1941) juga mengatakan bahwa sekaten kemungkinan diadopsi dari berat pencu gamelan yang konon seberat satu kati. Sementara itu, S. Hadisukarta dalam Titi Asri, Pupuh IX, Sinom 31 (1925) mengatakan bahwa di dalam masyarakat menyebar juga kepercayaanbahwa istilah sekaten diadopsi dari bahasa Arab, Syahadatein yang artinya persaksian atau simbol masuknya seseorang menjadi Muslim setelah mengucapkan dua kalimat syahadat. Dari beberapa analisis ini, prosesi sekaten mengarahkan kita pada suatu tahap Islamisasi  Jawa yang dilakukan para wali, khususnya Sunan Kalijaga yang biasa berdakwah dengan media budaya Jawa yang diisi dengan kaidah Islam.

Sebagai media dakwah, gamelan dipilih karena memiliki fungsi komunikasi horisontal maupun vertikal. Secara horisontal, Purwodiningrat sebagai narasumber Sudirman dalam Tradisi Sekaten di Keraton Yogyakarta dalam Perspektif Komunikasi Antarbudaya (2014), menjelaskan bahwa masyarakat yang hadir menyaksikan penabuhan Gamelan Sekati berasal dari berbagai daerah bahkan turis mancanegara. Mereka membaur satu sama lain sehingga menunjukkan kerukunan dan keakraban. Sudirman juga mengatakan bahwa tradisi sekaten hadir menginformasikan nilai kemanusiaan, kerukunan hidup, dan sosialisasi nilai-nilai budaya.

Sementara secara vertikal, Sartono Kartodirdjo dalam Beberapa Segi Etika dan Etiket Jawa (1987-1988) mengatakan bahwa gamelan menjadi media komunikasi antara Raja dengan rakyatnya sejak 500 tahun yang lalu. Semasa pra-Islam, gamelan hanya menjadi konsumsi para ningrat karena dibunyikan untuk upacara ritual raja saja. Namun, setelah Islam datang dan melonggarkan aturan tersebut, penabuhan gamelan dimaknai sebagai bentuk undangan raja pada rakyatnya. Rakyat bersuka cita memenuhi isyarat undangan raja tersebut, meski hanya untuk melihat simbol raja. Apalagi sebelum dan sesudah penabuhan gamelan pada prosesi sekaten biasanya diadakan penyebaran udhik-udhik. Rakyat akan berebut ngalap berkah dan bagi mereka yang beruntung mendapatkan salah satu bagian dari udhik-udhik.Mereka akan sangat bersyukurkarena dalam sugesti mereka sedekah raja tersebut akan membuat kehidupan mereka aman dan tentram. KRT Rintaiswara dalam Sudirman (2014) juga menegaskan bahwa penabuhan gamelan saat sekaten menjadi simbol kepedulian ataupun silaturahmi raja pada rakyatnya sehingga tumbuh keterikatan batin antara raja dan rakyatnya. Pada akhirnya, pemerintahan dapat berjalan baik karena rakyat selalu setia dalam mendukung setiap kebijakan pemerintah.

Sudarsono dalam Seni Pertunjukan Jawa Tradisional dan Pariwisata di DIY  (2007) mengatakan bahwa hubungan raja dan rakyat juga terlihat pada prosesi Jejak Banon ketika Grebeg Mulud jatuh pada tahun Dal. Setelah bata di-jejak Sang Raja, sisa-sisa bata diperebutkan rakyat sebagai simbol rakyat telah beralih keyakinan menjadi Muslim seperti rajanya.

 

Daftar Pustaka

Ahmad, Nur. Perayaan Grebeg Demak sebagai Sarana Religi dalam Komunikasi Dakwah. AT-TABSYIR: Jurnal Komunikasi Penyiaran Islam, Volume 1, Nomor 2, Juli – Desember 2013

Dwiyanto, Djoko dan tim. 2009. Ensiklopedia Kraton Yogyakarta. Dinas Kebudayaan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.

Hadisukarta S. 1925. Titi Asri, Pupuh IX, Sinom 31. Surakarta: Budi Utama.

Kartodirdjo, Sartono. 1987-1988. Beberapa Segi Etika dan Etiket Jawa. Yogyakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Halaman 20.

Ni’mah, Izzatul. 2007. Keramaian dan Sekaten Yogyakarta 1938-2005. Yogyakarta: Tesis Pasca Sarjana Sejarah, Universitas Gadjah Mada.

Soedarisman, R.M. Moela Boekaning Wonten Garebeg. Merapi No. 2, Yogyakarta 1941.

Soelarto, Bambang. 1993. Garebeg di Kasultanan Yogyakarta. Yogyakarta: Kanisius.

Soeparto, dkk. 1991. Upacara Tradisional Sekaten di Kraton Yogyakarta. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Sudarsono. 2007. Seni Pertunjukan Jawa Tradisional dan Pariwisata di Daerah Istimewa Yogyakarta. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Jenderal Kebudayaan.

Sudirman. 2014. Tradisi Sekaten di Keraton Yogyakarta dalam Perspektif Komunikasi Antarbudaya. Jakarta: Skripsi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah.

Suhardi. 2019. Manekung di Puncak Gunung: Jalan Keselamatan Kejawen. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada Press.

Suratman, Darsiti. 1989. Kehidupan Kraton Surakarta 1830-1939. Yogyakarta: Disertasi Universitas Gadjah Mada.

Martinah et. al. 1994. Upacara Garebeg di Yogyakarta: Arti dan Sejarahnya. Yogyakarta: Laporan Penelitian, Fakultas Ilmu Pengetahuan Sosial, Institut Keguruan Ilmu Pendidikan.

Yahya, Ismail, dkk. 2009. Adat-adat Jawa dalam Bulan-bulan Islam: Adakah Pertentangan? Solo: Inti Medina