Sri Sultan dalam Kenangan

tahtauntukrakyatJudul Buku : Tahta Untuk Rakyat:
Celah-Celah Kehidupan Sultan Hamengku Buwono IX
Penyusun : Mohammad Roem, Mochtar Lubis, Kustiniyati Mochtar, S. Maimoen
Penyunting : Atmakusumah
Penerbit : PT Gramedia Pustaka Utama
Tahun Terbit : 2011 (cetakan keempat)
Jumlah halaman : xlvi + 347

Bagi pembaca yang mencari informasi atau sekadar ingin tahu mengenai Sultan Hamengku Buwono IX dari Ngayogyakarta Hadiningrat, buku ini merupakan salah satu sumber paling lengkap dan komprehensif yang tersedia. Buku biografi suntingan Atmakusumah ini disusun dalam rangka memperingati ulang tahun ke-70 Hamengku Buwono IX. Pertama kali diterbitkan di tahun 1981, buku ini tidak hanya memuat perjalanan hidup sang raja Yogyakarta di masa perjuangan, tapi juga testimoni dan kesan-kesan terhadap Sultan yang ditulis oleh orang-orang di sekelilingnya. Kebanyakan tulisan testimonial ini tidak kronologis dan masing-masing hanya mengupas satu sisi kehidupan Sultan, membentuk mosaik yang sungguh layak dijuduli ‘Celah-Celah Kehidupan’. Beberapa di antara penulis testimoni adalah nama-nama yang biasa ditemukan di buku sejarah, sebut saja Mohammad Roem, A.H. Nasution, Mohammad Natsir, Sjafruddin Prawiranegara, dan istri Mohammad Hatta. Beberapa testimoni ditulis oleh orang asing seperti T.K. Critchley, George McT. Kahin, Arnold C. Brackman, dan J.H. Ritman. Buku ini menyajikan tulisan mereka dalam Bahasa Indonesia, namun juga menyertakan naskah aslinya dalam Bahasa Inggris atau Belanda.

Tulisan testimonial mencakup hampir setengah dari buku ini. Topik yang dibahas bervariasi dari sisi politik, budaya, olahraga, sampai pengalaman pribadi dengan Hamengku Buwono IX. Sudut pandang dan kesan yang diberikan juga beragam, namun hampir semuanya seiya sekata bahwa peranan dan dukungan sang Sultan Yogyakarta untuk Republik Indonesia sangat besar dan bisa dibilang menentukan nasib bangsa pada saat itu. Roem menggambarkan bagaimana Hamengku Buwono IX konsisten mendukung Republik sampai menawarkan Yogyakarta menjadi ibukota sementara, McT. Kahin menulis tentang bagaimana Sultan menolak tawaran Belanda untuk dijadikan raja seluruh Jawa, dan Rh. Kusnan serta Ny. R. Mohammad Hatta mengenang bantuan finansial dari Hamengku Buwono IX di saat-saat paling kritis bagi Republik dan para nasionalis.

Di luar kiprah politik, satu lagi yang banyak disorot dari tulisan-tulisan ini adalah pribadi Hamengku Buwono IX yang terbilang unik untuk seorang bangsawan feodal. Frans Seda, Rosihan Anwar, serta Sjafruddin Prawiranegara memujinya sebagai seorang patriot tanpa pamrih yang nasionalis dan demokratis, A.H. Nasution dan dr. A. Halim mengenang Hamengku Buwono IX sebagai sosok penguasa sederhana yang gemar menyetir sendiri mobilnya, dan Prof. Dr. Moestopo mengagumi ketangguhan fisiknya yang masih sanggup berkarya untuk negara di usia senja. Sambutan dari (kala itu) Presiden Soeharto, Wakil Presiden Adam Malik, dan surat dari Pangeran Bernhard dari Belanda juga menunjukkan dekatnya hubungan personal Hamengku Buwono dengan tokoh-tokoh kenegaraan ini.

Dalam cetakan keempatnya, buku Tahta Untuk Rakyat ini mendapat penambahan catatan Julius Pour berjudul “Perjalanan Terakhir Ngarsa Dalem—Dari Rumah Sakit George Washington sampai Astana Saptarengga” sebagai bab ke-39. Catatan yang sangat kronologis ini mengulas hari-hari terakhir Hamengku Buwono IX pada September-Oktober 1988 termasuk prosesi pemakamannya dalam 15 halaman yang mendetail dan bisa dibilang menggetarkan emosi. Penutup yang konklusif sekaligus indah dari mosaik biografi tokoh besar Yogyakarta dan Republik Indonesia ini. (Widya Amasara, intern di Divisi Riset Museum Ullen Sentalu)