Tentang Profesi Kurator

SAYA rasa, hal yang berbahaya jika kurator tidak sepenuhnya memahami setiap sudut pandang sejarah atau subjek yang akan ditampilkan. Kuratorial yang salah tafsir atau kurang lengkap menampilkan pengetahuan akan berdampak pada kesalahpahaman di pengunjung, masyarakat secara umum, juga pada generasi muda.

Walau museum sering menjadi alat “diplomasi politik”, kurator yg notabene setia pada disiplin ilmu atau keilmiahan sebaiknya bisa tetap objektif. Sebaiknya museum tetap menjadi media “diplomasi budaya” saja, jangan mau jadi alat “diplomasi politik”. Di sini pentingnya objektivitas kurator.

Kalaupun kuratornya sudah kepalang, sebaiknya sejarah atau pengetahuan yang akan ditampilkan bisa selengkap-lengkapnya,  tidak memilah sesuai pesanan. Akurasi tinggi dalam kurasi bukan hanya memaparkan isi buku teks sejarah, tapi juga sudut pandang, diskursi terkait, dan konteks.

Apa lagi kalau akan menyajikan tema mengenai suku bangsa, kurator mesti ngobrol dengan yang punya budaya, bukan cuma manut teori professor anu maupun doktor yang anu. Kalau berkaitan dengan manusia yang suku bangsanya sudah punah, kurator mesti bisa membandingkan diskursi terkait yang menyusun time-space-form dari kebudayaannya.

Jadi kurator nggak gampang. Sekolahnya ada sih jurusan “curatorship”, tapi pemahaman akan koleksi itu yang mesti terjun melakukan riset langsung. Kalau di Amerika Serikat, yang jadi kurator dan narasumber biasanya yang sudah doktoral, atau yang sudah bertahun-tahun meneliti satu subjek itu, atau bisa juga kolektornya.

Satu contoh museum yang dikurasi oleh kolektornya adalah Barnes Foundation di Philadelphia. Kolektornya mengkurasi berdasarkan selera seni dirinya sendiri. Barnes Foundation ini didirikan oleh Dr. Barnes, seorang dokter umum yang hobinya bergaul dengan ahli-ahli teori art education. Tata pamer di Barnes Foundation ini benar-benar  mengikuti selera Dr. Barnes. Di satu ruang bisa berisi keramik zaman Dinasti Ming yang ditempatkan di bawah lukisan van Gogh, kemudian di samping lukisan van Gogh dan menempel di dinding ada pemotong sirih berbentuk Semar dari Jawa.

Barnes Foundation ini jadi salah satu lokasi kunjungan wajib bagi mahasiswa permuseuman yang mengikuti kelas Museology pada masa saya menempuh studi di Amerika Serikat. Barnes Foundation menjadi rujukan bahwa tidak ada namanya taksonomi wajib atau fix yang mesti dipakai kurator. Yang penting pengetahuannya lengkap.

Kemudian, yang namanya tata pamer “modern” atau “pascamodern” saya rasa cuma nambah-nambahin diskursi tanpa diskusi berarti. Kurator bebas saja bergaya tata pamer mulai dari cabinet of curiosities, diorama, kontekstual, kronologis, fine art style, dan scientific taxonomy. Yang penting kurator paham dia berkomunikasi dengan siapa dan teknik mana yang paling bisa menyampaikan pesan dari isi pameran. Juga yang penting lagi, kurator tidak membanjiri pengunjung dengan informasi, tapi pikat dengan PE-NGE-TA-HU-AN dan PE-MA-HA-MAN. Hal terpenting yang kurator mesti lakukan adalah membantu koleksi bicara dengan manusia, dalam bahasa manusia, manusia normal, awam, majemuk.

Kayaknya sulit ya jadi kurator? Mesti bisa bahasa koleksi, bahasa para ahli, dan bahasa manusia biasa. Namun, sulit tidak berarti tak mungkin. Biarpun ya memang tak mudah. Saat tenggelam di dunia koleksi, sering kali kurator terjebak dlm cinta mendalam, susah memilih masterpiece, semuanya terasa baguuuss, dan inginnya dipajang semua.

Dari yang saya pelajari dari para senior, kurator yang baik mesti berani memilah rangkaian koleksi yang paling baik dalam menyajikan cerita-pesan. Kurator juga mesti fair, tidak pilih teori atau kesimpulan yang sesuai hati atau pesanan saja. Ini balik ke yang tadi: OBJEKTIF.

Dalam satu pameran tidak mesti lho cuma punya satu kurator. Namun, bisa berupa tim, atau ditunjang tim riset yg kuat. Saya sempat punya pengalaman jadi asisten tim kurator yang isinya arsitek, ahli permuseuman, arkeolog, dan orang koleksi museum (keeper). Kalau sudah pakai tim kurator yang gado-gado mesti siap sabar deh. Namanya orang pinter semua, jadi terkadang strategi komunikasinya mesti luwes. Pernah juga jadi  asisten dari kurator yang merupakan ahli/peneliti/akademisi yang runutan isi pamerannya ilmiah banget. Di sini mesti agak persuasif agar bahasa yang dipakai kurator bisa lebih “manusiawi”, lebih mudah dipahami khalayak umum.

Kurator juga bisa banyak berdiskusi dengan tim riset, desain, komunikasi, dan permuseuman,  tentang bagaimana cara terbaik untuk menyajikan. Contoh, saat kurator Museum Kain, almarhum Roni Siswandi, akan menyusun introduksi terhadap proses batik. Jika lengkap, ternyata akan sangat panjang sekali. Hasil diskusi kurator dengan tim, maka disajikan yang bisa menampilkan inti/dasar dari proses tersebut. Inilah yang sekarang bisa dilihat di Museum Kain. Kelengkapan informasi proses pembuatan batik disampaikan melalui strategi lain, yaitu penutur/storyteller dari Museum Kain.

Jadi, apa ya intinya? Ya, kalau jadi kurator keep an open mind lah, juga stay humble. The knowledge was already there before you are.

Oleh: Annissa M Gultom (Direktur Museum Kain Bali / @MuseumKain / www.museumkain.org)

(Dari twit berseri di akun Twitter @AnnissaG pada 22 Juli 2014, dengan sedikit pengeditan secara redaksional oleh Tim Riset dan Dokumentasi Museum Ullen Sentalu)