Vorstenlanden

Apa Itu Vorstenlanden?

VORSTENLANDEN  merupakan satu istilah yang dipakai pada sejarah jawa untuk menyebut daerah-daerah yang berada di bawah otoritas empat monarki asli Jawa pecahan Dinasti Mataram Islam: Kasunanan Surakarta, Kasultanan Yogyakarta, Kadipaten Mangkunegaran, serta Kadipaten Pakualaman. Daerah-daerah yang termasuk Vorstenlanden tersebut ada di pedalaman Jawa. Awalnya, Vorstenlanden membentang di sepanjang sisi selatan mulai dari sekitar Gunung Slamet di  Jawa Tengah sampai dengan sekitar Gunung Kelud di Jawa Timur. Kondisi demikian  berlangsung  75 tahun, yakni antara 1755 sampai dengan 1830.

Sejak 1830, sebagai dampak kebijakan Pemerintah Kolonial Belanda pasca Perang Jawa/Diponegoro (1825-1830), luas wilayah yang termasuk Vorstenlanden menciut secara drastis. Sejak tahun tersebut, Vorstenlanden tinggal meliputi daerah-daerah yang kini dikenal sebagai eks Karesidenan Surakarta dan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Bahkan, sejak 1946, tinggal Kasultanan Yogyakarta dan Kadipaten Pakualaman saja daerah Vorstenlanden yang terbilang masih memiliki otonomi untuk menjalankan pemerintahan. Itu pun keduanya pada dasarnya bertranformasi dalam bentuk Daerah Istimewa Yogyakarta, yang merupakan satu dari 34 provinsi dalam Republik Indonesia.

Untuk Kasunanan Surakarta dan Kadipaten Mangkunegaran, keduanya  sejak 1946  bisa dibilang benar-benar kehilangan otonomi bidang pemerintahan atas daerah-daerah yang antara 1830-1946 di bawah kekuasaan mereka. Sejak sekitar setahun setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, dua pecahan Dinasti Mataram Islam tersebut memang mesti merelakan seluruh wilayahnya diambil alih Pemerintah Republik Indonesia. Bekas wilayah Kasunanan dan Mangkunegaran lantas dijadikan bagian dari Provinsi Jawa Tengah. Kini, gabungan wilayah dari dua pecahan Dinasti Mataram Islam itulah yang lazim dikenal sebagai wilayah Eks Karesidenan Surakarta.

Berawal dari Bovenlanden
Tentang kapan tepatnya otoritas Kolonial Belanda di Jawa mengadopsi istilah Vorstenlanden, penjelasan dari Dosen sekaligus Ketua Jurusan Ilmu Sejarah Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada, Dr Sri Margana, dapat memberikan gambaran.
“Awalnya ketika Mataram belum terpecah, hanya ada satu raja, istilahnya yang dipakai dulu (oleh Belanda) adalah Bovenlanden,” kata Dr Sri Margana ketika diwawancara oleh Tim Riset dan Dokumentasi Museum Ullen Sentalu pada 20 Juni 2014, “Ketika kemudian terpecah menjadi empat, mereka (Belanda) lalu menyebutnya Vorstenlanden .“

Imbuh Dr Sri Margana, vorsten pada Vorstelanden dalam bahas Belanda berarti raja-raja atau penguasa-penguasa. Dengan demikian Vorstenlanden berarti tanah raja-raja. Katanya lagi, penggunaan istilah Vorstenlanden cocok dengan aturan hukum kolonial yang diberlakukan Belanda pada masa itu, yakni raja-raja penguasa lokal keturunan Dinas Mataram Islam di daerah Vorstenlanden memang menyandang status semiotonom, boleh mengontrol wilayah mereka.

Mengamati semua uraian tadi, bisa disimpulkan bahwa istilah vorstenlanden dipilih otoritas kolonial untuk menyebut daerah-daerah bekas kekuasaan Mataram Islam karena istilah itu terbilang paling diakrabi oleh orang Belanda. Istilah vorstenlanden mampu menyederhanakan penyebutan bagi bekas Mataram Islam yang pasca 1755 terpecah menjadi empat bagian besar.

Semasa Inggris menguasai Jawa pada 1811-1816, mereka memakai satu istilah lain untuk menyebut bekas daerah Mataram Islam, di luar istilah Vorstenlanden maupun Principalities. Satu istilah lain itu adalah Native Provinces. Ini paling tidak terdokumentasikan dalam buku karya Thomas Stamford Raffles yakni The History of Java yang terbit pada 1817.

Istilah Vorstenlanden pada dasarnya adalah juga tandingan bagi istilah “Mataram”, yang menurut bahasa Sansekerta berarti “tanah air” dan sejak medio milenia I Masehi merupakan sebuah kata yang dihormati dalam masyarakat Jawa. Jadi, pemakaian istilah Vorstenlanden adalah upaya Belanda memadamkan kepercayaan diri maupun ingatan masyarakat Jawa terhadap kejayaan mereka di masa silam.

Tembakau dan Batik Vorstenlanden
Sekitar tiga perempat abad terakhir, istilah Vorstenlanden tak banyak lagi terdengar dalam keseharian. Boleh jadi, menghilangnya istilah Vorstenlanden telah terjadi ketika Jepang menggusur Belanda dari Nusantara pada 1942. Jadi, istilah Vorstenlanden bernasib  sama dengan sejumlah penyebutan daerah dalam bahasa Belanda yang begitu Jepang berkuasa di Indonesia pada 1942-1945, berlanjut dengan merdekanya Indonesia sejak 1945, lantas diganti dengan istilah-istilah dalam bahasa Indonesia. Ingat apa yang terjadi dengan Batavia yang diganti Jakarta, Buitenzorg yang diganti Bogor, dan Fort de Cock yang diganti Bukittinggi.
Biarpun demikian, istilah Vorstenlanden tak pula benar-benar lenyap. Istilah tersebut sampai kini melekati jenis tembakau berkualitas tinggi yang dibudidayakan di sekitar Kabupaten Klaten. Istilah Vorstenlanden galib juga dipakai untuk menyebut kain-kain batik gaya Surakarta dan Yogyakarta yang cenderung memiliki warna dasar soga hingga putih, serta terkesan memiliki motif-motif klasik. Penggunaan istilah demikian untuk batik-batik asal Surakarta dan Yogyakarta adalah sebagai pembeda dengan batik-batik asal Pesisir Utara yang umumnya lebih berwarna-warni. Dalam hal penggunaan istilah Vorstenlanden pada budi daya tembakau dan produksi batik, secara umum rasa bahasanya terbilang positif, tak selalu diingat dan dikaitkan dengan eksistensinya di zaman kolonial. Ini agaknya adalah cerminan citra klasik dan pesona peradaban Barat/Eropa  yang memang melekati istilah Vorstenlanden.
Referensi

  • Houben, Vincent JH, Kraton and Kumpeni: Surakarta and Yogyakarta, 1830-1870, KITLV Press, Leiden, 1994
  • Onghokham, Wahyu yang Hilang, Negeri yang Guncang, Pusat Data dan Analisis TEMPO, Jakarta, 2003
  • Raffles, Thomas Stamford, The History of Java, Volume One, Oxford University Press, Kuala Lumpur, 1965
  • The History of Java, Volume Two, Oxford University Press, Kuala Lumpur, 1965
  • Scherer, Savitri, Keselerasan & Kejangggalan, Komunitas Bambu, Jakarta, 2012
  • Simbolon, Parakitri T, Menjadi Indonesia, KOMPAS, Jakarta, 1995
  • Soeratman, Darsiti, Kehidupan Dunia Kraton Surakarta 1830-1939, Tamansiswa, Yogyakarta, 1989

Oleh Yoseph Kelik