SEPANJANG tahun-tahun eksisnya VOC serta era Hindia Belanda, tidak hanya penduduk pribumi yang merasa terancam oleh wabah-wabah yang bergantian menjangkiti Jawa. Itu juga menjadi ketakutan tersendiri bagi warga Eropa yang menetap di Jawa.
Bagi orang Barat yang mendatangi atau bahkan bermukim di Jawa kala itu, malaria merupakan suatu hantu wabah yang tak bosan menebar teror. Sampai-sampai orang Belanda khususnya pada abad XVII hingga abad XIX memberi suatu julukan nan horor untuk Batavia dan wilayah sekitarnya, yakni Het graf van get Oosten. Artinya: “kuburannya negeri Timur”. Itu lantaran adanya wabah endemik malaria yang menewaskan banyak penduduknya.
Joseph Banks kiranya adalah contoh orang Barat yang memiliki kesan negatif terhadap sanitasi Batavia. Pada 1770, manakala singgah sebagai salah satu anggota rombongan pelayaran kapal HMS Endeavour pimpinan Kapten James Cook, Banks dalam catatannya menggambarkan Batavia sebagai kota yang sangat tidak sehat. Ketidaksehatan Batavia untuk ditinggali tersebut tak lepas dari fakta bahwa kota bandar dengan banyak kanal dan selokan tersebut didirikan di atas daerah rawa. Pembangunan kotanya, khususnya jaringan kanal dan bangunan-bangunannya pun terbilang menjiplak secara mentah kota-kota di Belanda. Padahal antara Belanda serta Jawa sejatinya memiliki iklim yang sangat berbeda. Jaringan kanal ala Eropa, tapi diterapkan di suatu kota di Jawa, akhirnya menjadi tempat berkembang-biaknya nyamuk-nyamuk penyebar malaria. Lebih lagi kanal yang ada di Batavia cenderung lambat aliran airnya.
Alhasil pada 1714-1767, kasus kematian akibat malaria yang mendera warga Eropa di Batavia mencapai 72.816 orang. Sampai memasuki abad XX pun, malaria masih jadi momok. Bahkan penerapan Politik Etis pihak Kolonial Belanda pun pernah justru memicu terjadinya wabah malaria di sejumlah tempat. Contohnya saja proyek irigasi di wilayah Cihea yang tidak dikelola dengan baik dan lalu menyebabkan wilayah ini menjadi endemi malaria. Laporan W.J van Gorkom mencatat tingkat kematian mencapai angka 50% di 22 desa.
Sanitasi yang buruk juga menyebabkan wabah kolera mendera kota Batavia sejak 1821. Bakteri kolera menyebabkan orang-orang yang terjangkitinya bolak-balik berak dengan tinja yang encer seperti air cucian beras, lalu disusul dengan muntah-muntah. Penyakit yang di kemudian hari populer juga disebut ‘muntaber’ (muntah berak) ini mampu menyebar dengan cepat. Menurut catatan Roorda van Eysinga yang dikutip Historia dalam artikel berjudul Kala Kolera Menyerang Batavia, pernah ada hari-hari manakala 160 orang mati karena kolera di Batavia. Pada tahun 1864, 240 orang Eropa di Batavia mati karena kolera. Angka kematian untuk warga pribumi mencapai 2 kali lipatnya.
Pada masa itu, kolera juga melanda kota-kota dan wilayah lain. Contohnya saja Surabaya yang terjangkiti wabah kolera pada tahun 1922 dengan kasus kematian sebanyak 4.823. Via jurnal daring, Aynul Muslimah mengulasnya dalam tulisan yang berjudul Wabah Kolera di Jawa Timur tahun 1918-1927.
Ujian tak berhenti dengan menghadapi wabah lokal saja. Memasuki abad ke-20, masyarakat Jawa dihadapkan pula pada wabah bersifat global. Contohnya saja wabah penyakit pes, dari bakteri Yersinia Pestis yang hidup di kutu tikus. Kala itu, pemerintah Kolonial berupaya mengatasi paceklik di Jawa dengan kebijakan impor beras dari Burma. Ternyata pengiriman beras itu membawa serta tikus yang terjangkiti kutu pembawa pes. Secara cepat wabah pes masuk ke Surabaya hingga Malang. Martina Safitri dalam tesisnya yang berjudul “Dukun dan Mantri Pes” menyebutkan di tahun 1911, hampir semua distrik di Malang terjangkit pes. Itu lalu menyebar ke Kediri, Blitar, Tulungagung, dan Madiun, hingga hampir seluruh pulau Jawa. Pada dekade kedua abad XX tersebut tercatat ada 2.000 kematian per tahun karena pes.
Jangan lupa juga tentang pandemi influenza atau disebut juga flu Spanyol yang merebak hingga ke Hindia Belanda tahun 1918. Sebelum abad XIX, ada kesulitan membedakan influenza dengan penyakit yang punya gejala mirip seperti malaria. Ini menju penanganan flu Spanyol sedikit kurang efisien. Namun, flu Spanyol ini menular dengan cepat. Masa inkubasinya singkat, yaitu hanya dalam 3-7 hari, juga disertai tingkat kematian yang tinggi.
Priyanto Wibowo dkk dalam buku berjudul Yang Terlupakan: Pandemi Influenza 1918 di Hindia Belanda menyebutkan beberapa laporan dari residen di Jawa kepada Pusat bahwa di wilayah mereka telah terjangkit flu Spanyol. Salah satunya laporan dari Magelang, tepatnya di onderdistrik Krasak yang sangat parah dilanda wabah ini. Persentase kematian karena flu Spanyol setiap minggu selalu di atas 60 persen dari total kematian. (BERSAMBUNG)
Referensi
Aynul Muslimah, Wabah Kolera di Jawa Timur tahun 1918-1927, AVATARA vol. 4 No.3, Oktober 2016, hal 892-901.
Baha’ Uddin, Dari Mantri hingga Dokter Jawa: Studi Kebijakan Pemerintah Kolonial dalam Penanganan Penyakit Cacar di Jawa Abad XIX-XX, Jurnal Humaniora vol.8, 3 Oktober 2006, hal. 286-296.
Dr. H. J. De Graaf, Puncak Kekuasaan Mataram: Politik Ekspansi Sultan Agung, PT. Pustaka Grafitipers, 1986.
B Jakarta 1960-an: Kenangan Semasa Mahasiswa, Masup Jakarta, Jakarta: 2008.
James R. Rush, Jawa Tempo Doeloe, Komunitas Bambu, Jakarta: 2013.
Martin Sitompul, “Kala Kolera Menyerang Batavia”, Historia, https://historia.id/sains/articles/kala-kolera-menyerang-batavia-DAl9e. Diakses pada 26 Maret 2020 pukul 13.16 WIB.
Peter Boomgaard, Smallpox, Vaccination, and Pax Neerlandica, Indonesia 1550-1930, Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde 159 (2003), no: 4, Leiden, hal. 590-617.
Priyanto Wibowo dkk., Yang Terlupakan: Pandemi Influenza 1918 di Hindia Belanda, Kerjasama Departemen Sejarah FIB UI – UNICEF Jakarta – KOMNAS FBPI, 2009.