Warna-Warni Budaya dalam Barisan Prajurit Yogyakarta

prajuritJudul Buku : Prajurit Kraton Yogyakarta:
Filosofi dan Nilai Budaya Yang Terkandung di Dalamnya
Penyusun : H. Yuwono Sri Suwito, RM Tirun Marwito, Marsono, Ign. Eka Hadiyanta, Sektiyadi, Dharma Gupta, Pratiwi Yuliani
Penyunting : Mustofa W. Hasyim, Dodi Ps
Penerbit : Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kota Yogyakarta
Tahun Terbit : 2009
Jumlah halaman : x + 94 

Prajurit Kraton Yogyakarta bukan hanya barisan pria berseragam dan bersenjata, tapi juga bagian dari khazanah budaya Jawa di Yogyakarta. Memiliki sejarah sepanjang Kesultanan Yogyakarta itu sendiri, prajurit Kraton sudah berabad-abad makan asam garam dari menjadi instrumen pertahanan kerajaan dalam bentuk kesatuan militer yang sempat membuat Inggris kewalahan, terbentur kebijakan demiliterisasi dan menjadi sebatas pengawal, sampai akhirnya hadir di era Republik sebagai pelengkap seremonial adat Kraton. Fungsi yang terakhir ini semakin menyoroti sisi filosofis dan budaya dari prajurit Kraton, dan inilah yang menjadi hidangan utama buku ini. 

Setelah menyediakan latar belakang berupa sejarah Yogyakarta beserta prajurit Kraton di awal, buku terbitan Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kota Yogyakarta ini membawa pembaca menjelajah seluk beluk prajurit Kraton Yogyakarta. Di era modern, yang berada di pucuk komando para prajurit Kraton Yogyakarta adalah Manggalayudha, perwira tertinggi yang secara simbolik setara dengan Jenderal di hierarki militer modern, diikuti Pandhega yang setara dengan Kolonel. Mereka membawahi sepuluh bregada atau kesatuan prajurit, yaitu Wirabraja, Dhaeng, Patangpuluh, Jagakarya, Prawiratama, Nyutra, Ketanggung, Mantrirejo, Bugis, Surakarsa. Tiap bregada dikomando oleh perwira berpangkat Kapten, dan regu-regu dalam bregada dipimpin seorang Sersan. Setiap posisi memiliki sistem struktural, seragam, panji-panji, sampai nama senjata yang berbeda. 

Selain nilai budaya fisik, buku ini juga membahas nilai filosofis di balik penamaan dan budaya perilaku prajurit Kraton. Falsafah dasar prajurit Kraton pertama kali diletakkan oleh Sultan Hamengku Buwana I yaitu “Sawiji, Greget, Sengguh, Ora Mingkuh” dapat diartikan sebagai “Konsentrasi, Semangat, Percaya Diri, Pantang Mundur”. Bahkan nama-nama bregada pun memiliki filosofi di baliknya. Sebut saja prajurit Wirabraja yang dalam Sansekerta berarti “berani” dan “tajam”, mengisyaratkan “prajurit yang sangat berani melawan musuh dan tajam serta peka panca inderanya”. Juga prajurit Dhaeng yang secara etimologis berasal dari gelar kebangsaan di Makassar, dan secara filosofis bermakna “prajurit elit gagah berani seperti prajurit Makassar pada waktu dulu melawan Belanda”. Selain nama, filosofi di balik warna-warna pada seragam dan panji tiap prajurit juga mendapat perhatian. Warna hitam diartikan sebagai keabadian dan kekuatan, merah dan jingga berkonotasi keberanian, putih berarti kesucian, kuning dan emas bermakna keluhuran, dan hijau adalah simbol pengharapan. Urutan cara berjalan, cara memberi hormat, sampai aba-aba di dalam barisan juga mendapat pembahasan mendetail. 

Buku ini merupakan sumber yang komprehensif bagi mereka yang tertarik mengenal dan mendalami tentang prajurit Kraton Yogyakarta. Memang beberapa deskripsi terutama di pembahasan seragam dan busana adat banyak menggunakan istilah berbahasa Jawa, namun semua itu dilengkapi ilustrasi mendetail dan penuh warna yang sekiranya dapat membantu imajinasi pembaca. Terlebih lagi, di akhir buku terlampir glosarium istilah dan budaya Jawa, berikut tabel serta ilustrasi yang lengkap tentang perangkat busana, mata tombak, dan panji-panji yang cukup menstimulasi secara visual. Namun di sisi lain, mungkin karena buku ini adalah hasil kolaborasi beberapa penulis, hasil akhirnya masih terbaca kurang menyatu. Hal ini terutama terasa ketika ada beberapa sub-bab yang memakai format dan gaya bahasa berbeda di dalam bab yang sama. Dalam deskripsi ilustrasi juga ditemukan penggunaan istilah yang tidak konsisten, seperti “pradjoerit” dan “prajurit”. Akhir kata, terlepas dari beberapa kelalaian di formatting yang kadang menyulitkan navigasi, informasi dan pengetahuan yang disajikan buku ini bisa dibilang menyeimbangkan kekurangannya. (Widya Amasara, Intern Divisi Riset Museum Ullen Sentalu )