766px-voyager

Jelajah Gendhing Jawa hingga Luar Angkasa

Gending Ketawang Puspawarna menjadi tembang yang istimewa dan terkenal dibandingkan dengan komposisi gendhing lainnya karena terpilihnya komposisi gending Ketawang Puspawarna sebagai salah satu diantara 26 komposisi musik dunia dari berbagai negara yang dikirim keluar angkasa.

Pada bulan Agustus tahun 1977, Badan Ruang Angkasa Amerika Serikat, NASA, secara berturut-turut meluncurkan wahana antariksa kembar bernama Voyager I dan II. Pada awalnya, kedua wahana ini diprogram untuk melakukan pengamatan atas planet-planet luar tata surya, seperti Yupiter, Saturnus, Uranus, dan Neptunus. Ketika tugasnya selesai, maka Voyager diprogram ulang untuk melakukan penjelajahan sampai ke Heliopause, batas di mana pengaruh Matahari berakhir dan ruang antar bintang dimulai. Kedua wahana saat ini bergerak meninggalkan tata surya dengan kecepatan 17 kilometer per detik. Misi mereka diperkirakan berakhir tahun 2020, saat suplai bahan bakar benar-benar habis.

Dalam setiap Voyager dilengkapi dengan sebuah piringan tembaga berlapis emas, berdiameter 12 inci yang berisi rekaman pesan-pesan dari Bumi sebagai ucapan salam kepada makhluk luar angkasa manapun yang menemukannya. Piringan ini mampu bertahan sampai setengah miliar tahun, sebuah produk terawet yang pernah diciptakan manusia.

Piringan itu menyimpan suara-suara dan gambar-gambar yang mewakili keragaman penghidupan dan kebudayaan Bumi. Didalam rekaman piringan tersebut tersimpan ucapan salam yang diucapkan dalam 60 bahasa (bahasa Indonesia diwakili dengan ucapan salam: “Selamat malam hadirin sekalian. Selamat berpisah, dan sampai bertemu lagi di lain waktu”). Selain itu, rekaman dalam piringan juga berisi 115 gambar dan foto (Indonesia diwakili oleh gambar penari Bali yang dipotret oleh Donna Grosvenor) dan rekaman musik berdurasi satu setengah jam dari berbagai kebudayaan. Nah, komposisi musik yang terdiri dari 26 komposisi musik ini diantaranya terdapat Gending Ketawang Puspawarna.
Ketawang Puspawarna yang direkam pada piringan tembaga berlapis emas tersebut merupakan satu-satunya komposisi musik khas Indonesia yang terpilih untuk ikut serta diterbangkan wahana Voyager ke luar angkasa. Awalnya, seorang guru besar Wesleyan University (AS) yang merupakan pakar musik dunia yaitu Prof. Robert E. Brown yang berjasa dalam memilih komposisi gending Ketawang Puspawarna untuk ikut serta dalam misi Voyager. Mengapa Prof. Robert E. Brown memilih Gendhing ketawang Puspawarna untuk misi Voyager? Beliau memilih Gending Ketawang Puspawarna dikarenakan keindahan dan komposisi gending yang tak terlampau panjang hanya berdurasi 4:43 menit serta mewakili sistem nada slendro sehingga pendengar dapat membandingkannya dengan komposisi-komposisi lain yang ada dalam piringan tersebut. Semua yang mendengar akan segera tahu bahwa sistem nada di Jawa berbeda, bahwa musik dunia memiliki kekayaan sistem nada yang luar biasa.

Gendhing ketawang Puspawarna ini direkam oleh Prof. Robert E. Brown pada akhir tahun 1960-an dalam rangka siaran radio perayaan ulang tahun Paku Alam, dimainkan oleh gamelan istana Paku Alaman, Yogyakarta, yang diarahkan oleh KRT Wasitodipuro (sekarang KPH Notoprojo).
mangkunegoro-iv-notoprojo

Gendhing Ketawang Puspawarna ini biasanya dibunyikan sebagai tanda kedatangan pangeran maupun untuk mengiringi tarian. Gendhing ini memiliki lirik mengenai berbagai jenis bunga yang melambangkan beragam suasana, rasa, atau nuansa. Konon, lirik dan melodi dalam Ketawang Puspawarna dipersembahkan oleh Mangkunegara IV (1853 – 1881) untuk mengenang istri dan selirnya.

Oleh karena itu, kita patut berbangga terhadap hasil kebudayaan sendiri. Apalagi, Gendhing ketawang Puspawarna yang mungkin tidak dikenal lagi oleh masyarakat jawa saat ini ternyata mampu memberikan kontribusi dan memperkenalkan musik tradisional jawa sehingga mulai dikenal masyarakat dunia sejak peluncuran perdana Voyager di Pasadena.

Sumber pustaka:
Putu Fajar Arcana. Brown Pilih “Ketawang Puspawarna”. Kompas Minggu, 21 Agustus 2005
www.wikipedia.org