Nyai dan Para Lelaki Belanda

Kisah Nyai dan Para Lelaki Belanda yang Butuh Pelipur Sepi

Kata nyai dalam arti sesungguhunya adalah julukan untuk seorang perempuan dengan tujuan memuliakan (Suganda, 2014: 149). Dalam budaya Jawa, perempuan yang menyandang julukan tersebut adalah orang yang cukup terkemuka. Misalnya Nyai Ageng Serang, seorang panglima perempuan Jawa yang sanggup menggetarkan pasukan Belanda (Carey dan Houben, 2016: 30-35). Nyai juga digunakan untuk menyebut istri dari seorang ulama atau Kyai. Contohnya adalah Nyai Ahmad Dahlan (Hera dan Wijaya, 2014:50). Namun, sebutan nyai memiliki konotasi yang berbeda pada dunia perkebunan Masa Kolonial. Nyai bersinonim dengan gundik atau perempuan simpanan laki-laki Eropa. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata gundik merujuk pada istri gelap atau perempuan yang tidak dinikah secara resmi.

Hubungan antara pria Eropa dengan perempuan pribumi sudah berlangsung sejak banyaknya masyarakat Eropa yang menetap di Nusantara pada abad XVII. Praktik itu didorong oleh kebijakan VOC pada tahun 1652 yang sangat membatasi, bahkan tidak mengizinkan perempuan Belanda untuk datang ke Nusantara. Ketiadaan kaum hawa dari negaranya membuat para laki-laki Eropa memilih untuk menjalin hubungan dengan perempuan pribumi, mulai dari memperkerjakan para perempuan pibumi pada rumah tangga dan perkebunan hingga melayani tuannya di ranjang. Pada mulanya perempuan yang dijadikan pelayan seksual adalah budak-budak pribumi yang diperdagangkan di Batavia. Namun, pada masa-masa berikutnya para nyai ini tidak hanya perempuan pribumi, tetapi juga perempuan Cina, Jepang, atau India yang diambil menjadi istri tidak resmi. Pada awal abad XIX, banyak pegawai perkebunan Belanda yang memilih untuk hidup bersama nyai tanpa pernikahan yang resmi. Secara keuangan, nyai dianggap tidak memberi beban karena sudah biasa hidup sederhana, sedangkan perempuan Eropa terbiasa hidup dengan tingkat ekonomi yang tinggi sehingga tuntutannya lebih besar (Darmarastri, 2002:1-24).

Status sebagai nyai dianggap lebih baik dari pembantu rumah tangga, walaupun secara moral tetap dianggap rendah. Seorang nyai bukan hanya membantu tuannya mengendalikan keuangan rumah tangga. Ia pun harus menyerahkan diri sepenuhnya menjadi pasangan seksual tuannya. Rupanya tidak hanya kalangan sipil saja yang tinggal serumah dengan nyai. Kalangan militer Kerajaan Hindia Belanda pun menggunakan nyai untuk memuaskan nafsu seksualnya. Francis Gouda dalam buku “Dutch Culture Overseas” (Suganda, 2014:154) menuliskan kehidupan barak militer sebagai tempat yang penuh skandal. Ratusan prajurit KNIL tidur dengan pembantu rumah tangga mereka di tempat tidur yang tidak memiliki sekat dengan tempat tidur lainnya. Tanpa memperhatikan kesopanan mereka bercinta di hadapan penghuni lainnya layaknya binatang tidak mengenal malu.

Seorang nyai harus siap agar tidak sakit hati. Jalinan hubungan dengan tuannya bukanlah atas dasar cinta. Walaupun hidup layaknya seorang istri dan mempunyai anak dengan laki-laki Eropa, ia harus rela menerima kenyataan bahwa suatu waktu dia bisa disingkirkan oleh tuannya apabila laki-laki Eropa tersebut memutuskan untuk menikah dengan perempuan sebangsanya. Jejak sang nyai akan dihapus sampai tidak tersisa sama sekali. Perannya di rumah akan digantikan oleh perempuan Eropa. Anak yang dilahirkannya tidak lebih dari titipan si tuan dan nyai yang menjadi ibunya tidak memiliki hak apa pun terhadap buah hatinya. Hubungan nyai dengan laki-laki Eropa menghasilkan ras campuran yang dikenal sebagai anak-anak Indo. Mereka berkulit putih, hidungnya mancung, dan rambutnya coklat kehitaman. Pada umumnya mereka tidak bisa meninggalkan kebiasaan yang diwariskan salah seorang yang dianggap sebagai orangtuanya (Suganda, 2014:154). Anak laki-laki memakai lurik, sedangkan anak perempuannya memakai kebaya dan kain. Mereka juga memiliki kebiasaan mengunyah sirih, suatu hal yang dilakukan oleh ibu mereka.

Setelah menginjak usia sekolah, anak-anak tersebut akan dikirim ke negeri Belanda oleh ayah mereka. Sejak saat itu mereka tidak lagi mengenal ibu yang melahirkan mereka. Salah satu pemilik perkebunan Belanda, yaitu Eduard Julius Kerkhoven mempunyai tiga anak dari hubungannya dengan nyai Tionghoa bernama Goei La Ni Tan (Suganda, 2014: 157). Ketiga anak tersebut dikirimkan ke negeri Belanda untuk sekolah, sedangkan ibunya menghilang tanpa cerita. Sebenarnya masih beruntung anak-anak Indo tersebut masih diakui oleh ayahnya. Tidak sedikit anak-anak yang dilahirkan oleh nyai ditinggal begitu saja oleh ayah mereka setelah laki-laki itu akhirnya menikah dengan perempuan Eropa atau kembali ke negeri asalnya. Bahkan, laki-laki tersebut melarang anak-anak mereka untuk menggunakan namanya sebagai nama keluarga sebagaimana fenomena Snouck Hurgronje. Laki-laki jangkung itu dianggap sebagai sosok yang sangat berjasa bagi Belanda karena melakukan penelitian dan advis kebijakan penundukan Aceh. Dia diketahui menikah siri dengan gadis di bawah umur Siti Sadijah, putri Kalifah Apo di Bandung pada tahun 1898 (Suganda, 2014:159). Usia si gadis saat itu masih 13 tahun, sedangkan Snouck Hurgronje berusia 47 tahun sehingga lebih mirip dengan ayah dan anak. Hubungannya dengan Siti Sadijah berbuah seorang anak yang lahir pada tahun 1905. Namun, anak tersebut hanya hidup bersama ayahnya selama setahun karena Snouck Hurgronje meninggalkan Hindia Belanda pada tahun 1906. Sebagai penasihat pemerintah, Snouck Hurgronje berusaha menutupi perkawinannya yang tidak sah. Ia tidak mengizinkan anaknya untuk menggunakan nama keluarganya dan datang ke negeri Belanda.