aq18723a

Wabah Penyakit Menular di Tanah Jawa (bag. I)

“…Jawa dari tahun 1625 sampai 1627 ditimpa oleh penyakit berat dan menular yang merongrong kesejahteraan dan kekuatan rakyat.”

H.J de Graaf dalam bukunya, Puncak Kekuasaan Mataram: Politik Ekspansi Sultan Agung hal. 136.

 

                De Graaf menuliskan bahwa kegiatan kemiliteran sang maharaja Mataram, Sultan Agung, mengalami kemunduran pasca ekspansi ke Surabaya salah satunya diakibatkan oleh wabah penyakit menular. Dari laporan ke negeri Belanda pada 27 Oktober 1625, rakyat mengalami cobaan berupa “kematian, peperangan, kelesuan, bahan makanan yang mahal, dan pajak yang berat di seluruh tanah Jawa.”

Continue reading

sekolah jaman belanda

Guru dalam Memori Kolektif Kuno Orang Jawa

SEKOLAH sebagaimana kini lazim dikenal khalayak Indonesia adalah berakar dari peradaban Barat. Embrio darinya baru mulai dikenal di Kepulauan Nusantara sejak abad XVII, tapi menyebar secara signifikan sejak awal abad XIX. Pada masa sebelum menyebarnya sekolah ala Barat, lembaga pendidikan kuno yang dikenal masyarakat Jawa dan kurang lebih menjalankan fungsi mirip dengannya adalah padepokan dan lalu pesantren.

Continue reading

bagian-relief-parthayajna-di-candi-jago

Mpu Bharada, Sang Penjinak Wabah dan Pelaksana Pembelahan Jenggala dengan Kediri, dalam Legenda maupun Catatan Historis

KHUSUSNYA untuk orang Jawa dan Bali, Mpu Bharada adalah tokoh yang diyakini hidup dan berperan penting di masa pemerintahan Maharaja Airlangga, sekitar paro I abad XI Masehi. Isi lakon Calon Arang menjadi penyumbang penting memori orang Jawa dan Bali terhadap sosok Mpu Bharada yang sering pula disebut memakai nama Mpu Baradah.

Continue reading

BQy9xJtCcAAvt5w 2

Aturan tentang Lingkungan dalam Masyarakat Jawa Kuna (bagian 2)

“…Karena mereka menjaga hutan alang-alang di Gunung Lejar, maka mereka haruslah dibebaskan dari pajak apa pun… ”

Titah resmi Bhatara Hyang Wisesa, Wikramawarddhana, untuk masyarakat Desa Katiden sebagaimana tercantum dalam Prasasti Katiden II (1395 M)

 

Sebagaimana dapat dibaca dari nukilan Prasasti Katiden II yang diterbitkan pada tujuh abad silam, penduduk Desa Katiden dianugerahi hak istimewa oleh penguasa pusat Majapahit. Penduduk dari desa yang kini termasuk bagian daerah Malang tersebut beroleh anugerah demikian tadi karena dipandang mampu menjaga kelestarian lingkungan di Gunung Lejar, khususnya hutan alang-alang di sana. Mereka menghindarkannya dari kebakaran, baik itu yang berpenyebab perilaku sengaja maupun tidak sengaja oleh manusia, atau juga yang berpenyebab alami berupa cuaca kering musim kemarau. Dengan begitu, penduduk Katiden tentunya mengembangkan perilaku pemanfaaatan hutan menurut kaidah yang menjunjung pelestarian: tidak melakukan perambahan dengan teknik pembakaran, tidak pula melakukan penebangan liar.

Continue reading

Medium sized JPEG (5)

Aturan tentang Lingkungan dalam Masyarakat Jawa Kuna (bagian 1)

“Terutama ladang dan sawah segala tanam-tanaman, agar tetap subur, peliharalah,”

Sabda dari Bhre Wengker, Wijayarajasa, dalam suatu perayaan besar bulan Caitra pada era Maharaja Hayam Wuruk

(pupuh LXXXVIII kitab Desawarnana/Nagarakretagama)

 

Kata-kata yang dikutip di awal tadi tepatnya merupakan bagian amanat Wijayarasa, satu di antara enam orang paling berkuasa di Kemaharajaan Majapahit pada medio abad XIV, di hadapan para pejabat segala lapisan pemerintahan dari seantero negeri. Kala itu, Maharaja Hayam Wuruk baru saja membuka ladang Watsari, sementara Bhre Singasari membuka ladang di Sagala, lalu Wijayarasa sendiri selaku Bhre Wengker membuka hutan Surabana, Pasuruan, dan Pajang. Dalam amanatnya, Wijayarajasa menekankan pentingnya ikhtiar berikut tindakan serius untuk memajukan kesejahteraan segenap masyarakat desa, tetapi dengan tidak melupakan pemeliharaan terhadap lingkungan sekitarnya. Continue reading

download 2

Manakala Yogyakarta Dipatuk dan Dicengkeram Burung Gagak Belanda

Minggu, 19 Desember 1948, militer Belanda luncurkan Operatie Kraai. Itu adalah suatu penyerbuan ke wilayah Republik Indonesia (RI) dengan target utama pendudukan atas  ibukota Yogyakarta. Kraai sendiri adalah suatu kata dalam bahasa Belanda jika dibahasa-Indonesia-kan yang berarti “burung gagak”.

Kala itu pihak Pemerintah Belanda membahasakan secara eufemistis operasi militer tersebut sebagai Politionele acties II alias Aksi Polisionil II. RI lebih suka menyebutnya memakai istilah Agresi Militer II Belanda. Suatu istilah yang bisa dirasakan menyiratkan ketidaksukaan dan kedongkolannya selaku pihak korban serangan. Continue reading

“Sekolah” Asli Jawa  Sebelum Sekolah ala Barat (#2): Pesantren

“Sekolah” Asli Jawa Sebelum Sekolah ala Barat (#2): Pesantren

Ketika Islam berkembang di Jawa,  menurut  Adabi Darban dalam Fragmenta Sejarah Islam di Indonesia (2008), gerakan dakwah tidak begitu saja menghapus model pendidikan padepokan. Alih-alih yang terjadi adalah modifikasinya sesuai dengan kaidah Islam. Padepokan lantas berganti nama menjadi pesantren, tempat Kyai atau Nyai sebagai gurunya dan santri sebagai siswanya. Konsep pesantren juga mirip dengan wihara, dimana para siswanya tinggal bersama dan belajar di bawah bimbingan guru, serta memiliki asrama (pondok) untuk tempat menginap. Bahkan sejak abad XV di Jawa, pendidikan pesantren dipercaya sebagai alat penyebaran Islam oleh walisanga.

Salah satu cerita yang agaknya menjadi contoh pola peralihan dari model padepokan ala Hindu-Buddha kepada model pesantren kurang lebih bisa diraba dari sekuen Babad Tanah Jawa tentang masa muda Mas Karebet alias Jaka Tingkir, sosok Maharaja Pajang nantinya pada medio abad XVII. Sebagai bentuk menuruti permintaan ibu tirinya supaya meninggalkan kebiasaam menepi di hutan dan gunung, Karebet lantas berguru kepada sejumlah tokoh Muslim di berbagai daerah di Jawa Tengah. Daftarnya di dalam Babad Tanah Jawa meliputi Ki Ageng Sela, Ki Ageng Butuh, Ki Ageng Ngerang, serta Ki Buyut Banyu Biru.

Continue reading

Sekolah” Asli Jawa  Sebelum Mengenal Sekolah ala Barat (#1): Padepokan

“Sekolah” Asli Jawa Sebelum Mengenal Sekolah ala Barat (#1): Padepokan

Jauh sebelum adanya sekolah-sekolah model Barat, masyarakat Jawa telah memiliki model pendidikan aslinya sediri, yang juga dijalankan dalam lingkup lembaga semacam sekolah. Meski agaknya cuma menjangkau sebagian kecil populasi. Padepokan dan pesantren adalah model pendidikan “sekolah” ala Jawa tersebut.

Perbedaan dari keduanya, padepokan eksis ketika masa budaya klasik (Hindu/Budha), sementara pesantren muncul sebagai proses Islamisasi Jawa yang mempertahankan budaya padepokan, tetapi telah diisi kaidah Islam. Demikianlah penjelasan tentang keduanya sebagaimana dipaparkan Nurinda KS Hendrowinoto dalam Ibu Indonesia dalam Kenangan (2004:137). Uniknya, selain banyak mencurahkan perhatian dalam perihal pembentukan karakter melalui pengajaran falsafah keagamaan, padepokan maupun pesantren pada dasarnya memiliki cakupan murid yang luas tanpa membatasi usia.

Continue reading

Permainan Anak di Kraton Surakarta Abad XIX-XX

Permainan Anak di Kraton Surakarta Abad XIX-XX

“Permainan adalah asal usul dari kebudayaan” – Johan Huizinga,
penulis buku Homo Ludens.

Di dalam keputren, yaitu tempat tinggal para putri di kraton, anak-anak berkumpul dan bermain bersama. Tidak hanya para putri raja, putra raja yang belum akil baliq juga tinggal di sini. Di sudut area kraton ini sering dipenuhi dengan gelak tawa mereka yang asyik bermain. Hampir sebagian besar permainan anak di kraton identik dengan permainan yang berasal dari luar kraton, yaitu permainan anak di kalangan masyarakat pedesaan.

Continue reading