COLLECTIE_TROPENMUSEUM_Vrouwenzaal_in_de_Centrale_Burgerlijke_Ziekeninrichting_(CBZ)_te_Semarang_TMnr_60043826

Wabah Penyakit Menular di Tanah Jawa (Bag. 3)

WABAH penyakit mulai dari tingkatan endemi, epidemi, atau pun pandemi nyatanya acap tak pilih-pilih orang untuk dijangkitinya. Manakala wabah sudah merebak luas, setiap orang dari berbagai latar belakang, entah itu secara ras maupun etnis, kelas ekonomi maupun sosial dan pendidikan, hingga jenis kelamin maupun tingkatan usia, punya kans untuk terpapar dan bahkan dibuat terkapar.

Hal demikian ini berlaku pada masa kini maupun dahulu, termasuk semasa zaman Kolonial, ketika Jawa serta pulau-pulau Nusantara lainnya merupakan kebun dan taman kebanggaan Raja-Ratu Belanda.

 

Vaksinasi Perdana

Berbagai kasus wabah yang silih berganti melanda Jawa pada akhirnya memaksa pemerintah Kolonial Hindia Belanda menempuh pendekatan penanganan wabah yang menyasar keseluruhan populasi. Ini berarti tak hanya memprioritaskan para pemukim Kulit Putih, tetapi juga mengurusi kaum Bumiputera dan Timur Asing.

Vaksinasi merupakan salah satu contoh pendekatan ilmiah terhadap wabah serta menyasar banyak bagian dari populasi yang ditempuh oleh Pemerintah Kolonial Hindia Belanda. Vaksin cacar tercatat telah hadir di Batavia pada Juni 1804 dan mulai didistribusikan ke wilayah lain seperti Surabaya, Jepara, Surakarta, dan Yogyakarta. Penyediaan perdana vaksin cacar di Jawa tersebut berarti kurang dari 10 tahun sejak penemuan metodenya di Inggris oleh Edward Jenner pada 1796.

Meskipun demikian, program vaksinasi cacar di Jawa pada awal abad XIX masih terganjal minimnya jumlah vaksin dan tenaga medis. Itu menyebabkan vaksinasi belum dapat menyebar secara merata sampai ke pedesaan. Cacar secara berkala masih mewabah di beberapa daerah. Kasus wabah cacar di Banyumas pada 1847 merupakan contohnya.

Dalam kasus wabah cacar di Banyumas 1847 maupun di daerah-daerah lain, salah satu golongan yang banyak tertular dan bahkan meninggal dunia adalah buruh-buruh perkebunan. Itu jelas sangat mengganggu kegiatan perkebunan penghasil berbagai komoditi ekspor. Padahal  sektor tersebut adalah penggerak utama ekonomi Hindia Belanda pada abad XIX. Para pengusaha Kulit Putih selaku pemilik serta investor perkebunan-perkebunan di Hindia Belanda tentulah dibuat resah akan hal tadi. Maka, atas dasar kepentingan ekonomi, ada desakan dari kalangan pengusaha tersebut kepada Pemerintah Kolonial untuk mencegah dan segera mengatasi wabah penyakit ini. Salah satu solusi yang diharapkan adalah vaksinasi massal sampai ke pelosok.

 

Mantri Cacar

Keresahan dan solusi yang diharapkan kalangan pengusaha perkebunan rupanya perlahan beroleh respon serius dari Pemerintah Kolonial.

Awalnya, pada dekade IV abad XIX, Dr. W. Bosch, Kepala Dinas Kesehatan Militer (Militair Geneeskundige Dienst), diinstruksikan Pemerintah Kolonial untuk membuat petunjuk singkat tentang wabah. Manual tersebut dimaksudkan sebagai pegangan para pemuka masyarakat setempat dalam penanganan wabah.

Beriringan dengan itu, Bosch memberi penilaian juga soal minimnya tenaga medis dari Pemerintah Kolonial dalam hal penanganan wabah. Ia lantas mengusulkan agar ada pendidikan khusus bagi pemuda pribumi yang nantinya bisa menjadi pembantu dokter Belanda. Usul ini akhirnya mendorong Pemerintah Kolonial menerbitkan besluit (surat keputusan) pada 2 Januari 1849 tentang Sekolah Dokter Djawa. Sekolah tersebut resmi dibuka pada Januari 1851 di Weltevreden, tepat di samping Rumah Sakit Militer, kini RSPAD Gatot Subroto. Lalu, sekolah tadi pada 1902 ditingkatkan menjadi School Tot Opleiding Voor Indische Artsen (STOVIA). Tujuan praktis pendirian sekolah tersebut ialah supaya Pemerintah Kolonial mudah mendapatkan tambahan tenaga medis pemberi vaksin cacar (vaccinateur) alias vaksinator, atau lebih akrab disebut dengan mantri cacar.

Pada medio abad XIX, manakala wabah cacar acap merebak secara berkala, tenaga mantri cacar memang bernilai strategis. Mereka menjadi garda terdepan dalam memerluas cakupan vaksinasi sebagai senjata modern pembendung keganasan penyakit cacar. Lebih lagi jika berkaca kepada pengalaman ketika wabah cacar meluas di berbagai daerah di Banyumas. Belum lagi ada beberapa wabah penyakit lainnya yang datang teratur, seperti kolera, malaria, dan pes. Sayangnya, faktor rasialisme membuat banyak dokter Kulit Putih enggan terjun ke pedesaan dan hanya mau praktek di kota saja. Inilah mengapa Pemerintah Kolonial lantas tertarik merekrut tenaga mantri cacar dari kalangan pribumi.

 

Dokter Djawa

Lulusan Sekolah Dokter Djawa mendapat gelar “Dokter Djawa”, walaupun pada prakteknya jabatan mereka hanya sebagai mantri cacar alias vaksinator. Kedudukan mereka juga cukup rendah. Sekalipun terdidik, mereka awalnya tidak termasuk dalam golongan priyayi,. Gaji mereka tak seberapa tinggi pula. Meskipun demikian, peran Dokter Djawa ini sangat membantu dalam menangani wabah dan meningkatkan kesehatan masyarakat secara umum. Mereka terjun hingga ke pelosok-pelosok terpencil di seantero Jawa untuk memberikan vaksin, penyuluhan kesehatan, mengatasi wabah, hingga mengobati yang sakit. Pada titik ini, reputasi baik mereka pun makin diketahui khalayak.

Para Dokter Djawa adalah juga kalangan terawal dari antara para penduduk Kepulauan Nusantara yang pertama-pertama mengenyam pendidikan Barat. Lambat laun mereka berkembang menjadi suatu kaum intelek profesional yang dihormati. Apa lagi ketika standar pendidikan untuk Dokter Djawa kian ditingkatkan mengikuti standar pendidikan dokter Eropa, khususnya sejak awal abad XX.

Menariknya, para Dokter Djawa dan mereka yang pernah mengenyam pendidikan di Sekolah Dokter Djawa terbilang sebagai penyumbang banyak nama dalam barisan aktivis pergerakan nasional Indonesia pada sepanjang paro I abad XX. Daftar panjang nama-nama kaum pelopor bangsa Indonesia tersebut antara lain meliputi Wahidin Soedirohoesodo, Radjiman Wedyodiningrat, Tirto Adhi Soerjo, Soetomo, dua bersaudara Tjipto Mangoenkoesoemo dan Goenawan Mangoenkoesoemo, serta Soewardi Soerjaningrat yang di kemudian hari lebih dikenal dengan sebutan Ki Hadjar Dewantara. Nama-nama cemerlang tersebut jika dipikir-pikir adalah berkah baik tak terduga dari wabah-wabah yang kadung merepotkan Pemerintah Kolonial Belanda. (Lebih lanjut tentang Dr. Wahidin Soedirohoesodo:  https://blog.ullensentalu.com/sekolah-dokter-jawa-dan-alumnusnya-yang-bernama-wahidin/)

 

 

Referensi

Aynul Muslimah, Wabah Kolera di Jawa Timur tahun 1918-1927, AVATARA vol. 4 No.3, Oktober 2016, hal 892-901.

Baha’ Uddin, Dari Mantri hingga Dokter Jawa: Studi Kebijakan Pemerintah Kolonial dalam Penanganan Penyakit Cacar di Jawa Abad XIX-XX, Jurnal Humaniora vol.8, 3 Oktober 2006, hal. 286-296.

Dr. H. J. De Graaf, Puncak Kekuasaan Mataram: Politik Ekspansi Sultan Agung, PT. Pustaka Grafitipers, 1986.

Firman Lubis, Jakarta 1960-an: Kenangan Semasa Mahasiswa, Masup Jakarta, Jakarta: 2008.

James R. Rush, Jawa Tempo Doeloe, Komunitas Bambu, Jakarta: 2013.

Martin Sitompul, “Kala Kolera Menyerang Batavia”, Historia, https://historia.id/sains/articles/kala-kolera-menyerang-batavia-DAl9e. Diakses pada 26 Maret 2020 pukul 13.16 WIB.

Peter Boomgaard, Smallpox, Vaccination, and Pax Neerlandica, Indonesia 1550-1930, Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde 159 (2003), no: 4, Leiden, hal. 590-617.

Priyanto Wibowo dkk., Yang Terlupakan: Pandemi Influenza 1918 di Hindia Belanda, Kerjasama Departemen Sejarah FIB UI – UNICEF Jakarta – KOMNAS FBPI, 2009.