tumblr_pbaz7vxUoQ1sxq35qo1_1280

Memetik Pelajaran Berharga dari Puisi Jawa Kuna

Yatha mere stita dewa (selama gunung berdiri tegak)

Yawad Gangga mahitala (selama sungai mengalir)

Candrarku gagani tawat (selama bulan dan matahari bersinar)

Tawat tat wijayi bhawet (selama itu kesejahteraan bisa didapat)

 

matram naskah geguritan Sucita Muah Subudhi

 

Puisi berbahasa Bali tadi adalah karya Ida Ketut Jelantik. Tepatnya ditulis pada 1947 denganbersumber dari sejumlah lontar tattwa yang konon merupakan lontar tertua di Bali dalam bahasa Sansekerta dan Jawa Kuna. Bahasa di lontar kuno itu mengindikasi bahwa Bali adalah peradaban Hindu-Buddha penerus yang sebelumnya pernah jaya di Pulau Jawa. Keberadaan seni sastra ini juga merupakan bukti bahwa puisi telah berkembang jauh sebelum dibukanya pengajaran sekolah moderen.

Puisi tradisional di Jawa awalnya berbentuk manuskrip atau prasasti yang berisi doa atau puji-pujian bagi Dewa maupun Raja yang dianggap titisan dewa. Demikianlah sebagaimana diungkapkan S Budhisantoso dkk dalam Geguritan Sucita Muah Subudhi (Kajian dan Analisis). Puisi tradisional Jawa tersebut menurut Budi Subanar dalam Sraddha- Jalan Mulia Dunia Seni Jawa Kuna, disebut kakawin. Sebagai suatu format karya sastra, kakawinmenjadi arustama yang merajai dunia sastra Jawa Kunaselama sekitar enam hingga tujuh abad, yakni abad IX – XV Masehi.

Kakawin berakar dari kāvya India. Ini karena khazanah sastra Jawa Kuna awalnya tidak memiliki kitab ppuitis yang lengkap. Akan tetapi, kakawin pada dasarnya adalah sastra tulis yang menjadi dasar dan terus berkembang turut memerkaya puisi modern yang dikenal di Indonesia sekarang. Jadi bisa dikatakan kakawin adalah karya awal pujangga Jawa Kuna yang kemudian diajarkan turun temurun atau berkesinambungan. Di Jawa, penulisannya diawali dari Kemaharajaan Hindu-Budha, wihara, dan padepokan (kedewaguruan), kemudian berkembang dalam bentuk tembang/kidung dan suluk yang diajarkan para wali di pesantren ataupun Kerajaan Islam. Kini turunan darikakawin masih masuk menjadi bagian bahan ajar dalam pendidikan modern sekolah di Indonesia, baik berupa pelajaran puisi sebagai materi pelajaran bahasa Indonesia, jugaberupageguritan dan tembang dalam pelajaran bahasa Jawa yang menjadi muatan lokal di Jawa Tengah, Jawa Timur, serta Daerah Istimewa Yogyakarta.

Unsur-unsur kakawin sebenarnya tidak jauh berbeda dengan puisi pada umumnya, yaituterdiri dari metrum, bait, dan pupuh. Metrum berpedoman pada panjang-pendek vokal (guru lagu) dan jumlah suku kata dalam satu larik (wŗttamātra). Dalam satu bait (pāda) puisi terdiri dari tiga atau empat larik, yang sama susunan guru lagu dan jumlah suku katanya. Sejumlah bait yang sama metrumnya, membentuk satu pupuh menurut istilah Jawa.

Pada 1990, I Kuntara Wiryamartana dalam Arjunawiwaha, Transformasi teks Jawa Kuna lewat Tanggapan dan Penciptaan di Lingkungan Sastra Jawa halaman 345, dengan merujuk pendapat Lotz dari 15 tahun sebelumnya, mengatakan bahwa dari sekian banyak karya sastra tradisional, kakawin merupakan karya sastra yang paling memenuhi syarat konsep falsafah Jawa yang berorientasi dengan cara mencapai kesempurnaaan hidup. Contohnya setidaknya bisa ditemukanKakawin Ramayana versi Jawa, jugaKakawin Bharatayuddhakarya Mpu Sedah dan Mpu Panuluh pada tengah abad XII, semasa pemerintahan Maharaja Jayabahaya di Panjalu-Kadiri.

Arjunawiwaha

Selain itu, ada pula Kakawin Arjunawiwahadari abad XI, semasa pemerintahan Maharaja Airlangga di Medang Kahuripan. Kakawin karya Mpu Kanwa (abad XI) tersebut merupakan kakawin yang lestari di Jawa hingga saat ini. Zoetmulder dalam Kalangwan (1983) bahkan mengatakan Kakawin Arjunawiwaha sebagai karya agung asli Indonesia, yang tidak ditemukan dalam kitab induknya, Mahabharata. Kakawin ini juga merupakan tonggak pertama yang mengawali sastra puitis bermuatan lokal di Jawa.

Arjunawiwaha secara harafiah berarti pernikahan Arjuna, tetapi inti dari kakawin ini justru mengajarkan nilai kepahlawanan Arjuna. Dalam kisahnya, Arjuna memohon anugerah Sang Hyang Bhatara Agung dengan cara bertapa di Gunung Indrakila. Untuk menguji kesempurnaan tapa bratanya, Dewa Indra mengirim 7 bidadari untuk menggodanya. Namun dengan keteguhan hati, Arjuna dapat melewati tapa brata dengan sempurna dan dianugerahi seperangkat alat perang bertuah:busur, ketopong, dan baju zirah. Tak hanya itu, Arjuna lantas membantu Dewa Indra mengalahkan raksasa jahat Niwatakawaca yang mengganggu Kahyangan Indraloka. Ia menerima pahala kemuliaan sebagai raja di Kahyangan Indraloka. Arjuna diizinkan pula menikahi 7 bidadari yang sebelumnya dikirim untuk menguji dirinya.

Kakawin Arjunawiwaha ini mengajarkan pentingnya ‘keyakinan’ kepada Tuhan, diri, dunia, dan akhirat untuk memahami nilai kebenaran. Syarifah dkk dalam “Konsep Cipta dalam Arjunawiwaha”(2015) menghubungkan Arjunawiwaha dengan falsafah hidup orang Jawa hingga kini yang meyakini tentangGusti Allah ora sare (Allah tidak tidur), sangkan paran (segala sesuatu ada awal dan akhir), ojo dumeh (jangan sombong), ojo gampang kabujuk kemrincinge ringgit (jangan mudah terbujuk godaan dunia), urip iku mung mampir ngombe (hidup itu ibarat singgah minum alias singkat), dan sapa nandur bakal ngunduh (setiap perbuatan akan menuai hasilnya masing-masing).

Sutasoma

Selain Arjunawiwaha yang bernuansa Hindu, adapula Kakawin Sutasoma karya Mpu Tantular dari tengah abad XIV. Ini merupakan kakawin bersifat epos dan bernuansa Buddha. Berkisah tentang Pangeran Sutasoma, putra Prabu Mahaketu dari Hastinapura, keturunan para ksatria Pandawa, yang lahir sebagai penjelmaan Sang Buddha. Setelah dewasa, Sutasoma sangat rajin beribadah dan cinta pada agama Buddha. Ia tidak senang dinikahkan dan dinobatkan menjadi raja. Suatu malam, ia melarikan diri dari Hastina. Setibanya di hutan, Sutasoma bersembahyang di kuil dan kemudian Dewi Widyukarali datang bersabda bahwa sembahyang Sutasoma telah terkabul. Sutasoma, kemudian mendaki pegunungan Himalaya bersama beberapa pendeta untuk bertapa, tetapi konon di sana ada raksasa Kalmasapada yang suka memangsa manusia. Para pendeta meminta Sutasoma untuk membunuh Kalmasapada, tapi ia menolak. Di perjalanan, Sutasoma menakhlukkan manusia berkepala gajah, naga, dan harimau yang hendak memangsanya. Ia juga bertemu Raja Dasabahu yang bertanding dengan Kalmasapada yang ingin menyajikan 100 raja untuk Bhatara Kala. Mendengar hal itu, Sutasoma bersedia menjadi sajian Bhatara Kala asal 100 raja itu dilepaskan. Kalmasapada pun akhirnya bertobat atas kesalahannya. Sutasoma pun jadi selamat dari keharusan menjadi tumbal. Setelah kondisi membaik, Sutasoma dan Dasabahu menuju Hastina. Sutasoma mau dinikahkan dengan puteri Dasabahu dan kelak dinobatkan menjadi raja.

Kakawin Sutasoma di atas mengajarkan sikap toleransi di tengah berbagai perbedaan. Oleh karena itu, setengah dari salah satu frase dalamkakawin ini menjadi motto nasional Indonesia: Bhinneka Tunggal Ika (Pupuh 139, bait 5). Motto yang bermakna “berbeda-berbeda tapi tetap satu” dipilih Pemerintah Indonesia pada 1950 karena memberikan spirit nasionalisme dan integrasi di bumi Nusantara yang dihuni oleh berbagai suku, agama, dan ras. Tak hanya itu, laku spiritual Sutasoma juga banyak memberi ajaran-ajaran kearifan. Tidak hanya sebatas semangat mendapatkan ilmu, pengetahuan, dan pengalaman, tetapi juga berprihatin sebagai kunci hidup mulia dan kemenangan sejati dapat ditempuh tanpa mengalahkan.

Nilai-nilai moral dari kakawin di atas nampaknya cocok sebagai penangkal pola hidup masyarakat dewasa ini yang acap kali menitikberatkan hidup pada materi. Dalam kondisi seperti tidak ada salahnya terus mengulang pernyataan Prof. Zoetmulder dalam Kompas, 27 Mei 1990: “Kalau kita kembali mempelajari akar budaya lama kita, paling tidak ada keuntungan sebagai usaha menopang budaya baru”. Ini adalah sebuah pesan, bahwa “kita” masyarakat Indonesia bertanggung jawab atas ‘nasib’ budaya kita di era modernisasi ini. (RAR)

 

DAFTAR PUSTAKA:

Arps, Bernard. Tembang in Two Traditions: Performance and Interpretation of Javanese Literature. 1992. London: School of Oriental and African Studies, University of London.

Budhisantoso, S., Made Purna, dan Ahmad Yunus. 1991. Geguritan Sucita Muah Subudhi (Kajian dan Analisis). Direktorat Jenderal Kebudayaan.

Subanar, Budi. Sraddha- Jalan Mulia Dunia Seni Jawa Kuna. Jakarta: Kepustakaan Gramedia Pustaka Utama.

Firdausy, Syarifah W. E, Yusmilayati Yunos, dan Zubir Idris.“Konsep Cipta dalam Arjunawiwaha”. Jurnal Melayu. Bil 14 (1) 2015.

Widodo, Wahyu. 2018. Mantra Kidung Jawa. Malang : Universitas Brawijaya Press.

Wiyamartana, I Kuntara. 1990. Arjunawiwaha, Transformasi teks Jawa Kuna lewat Tanggapan dan Penciptaan di Lingkungan Sastra Jawa. Yogyakarta: Duta Wacana University Press.

Zoetmulder, P.J. 1983. Kalangwan: Sastra Jawa Kuno Selayang Pandang. Jakarta: Djambatan.