DS0sChmUQAASSkq

Racik Jamu Jampi Sebagai Sistem Pengobatan Tradisional

“…wontên malih jampi watuk lisah klapa | kunci asêm-kawak nanging mawi donga|Illa iya Allahu amung punika …”

Serat Centhini jilid III tembang Lonthang kaca 323

 

Kutipan tembang Lonthang kaca 323 dari jilid III Serat Centhini di atas meresepkan obat batuk (jampi watuk). Dibuat dari ramuan temu kunci (kunci) dan asam kawak (asem-kawak) yang dihaluskan lalu dicampur minyak kelapa (lisah klapa). Minumnya sembari merapal sekelumit doa.

Tak hanya obat batuk, jilid III Serat Centhini juga meresepkan berbagai ramuan obat lainnya. Itu mulai dari untuk panas dingin, cacingan, cacar, pusing, dan masih banyak lagi.

Serat Centhini yang bertitel asli Suluk Tambangraras merupakan kitab sastra Jawa yang ditulis 1814 M. Isinya adalah perpaduan antara wiracarita, travelog, serta ensiklopedia. Penulisan Serat Centhini digagas putra mahkota Kasunanan Surakarta, KGPAA Amangkunagara III, yang kemudian bertakhta sebagai Sunan Pakubuwana V pada 1788-1820. Setidaknya tiga pujangga kraton dilibatkan dalam penulisannya.

Menurut penelitian Kurniasih Sukenti (2002) pada Kajian Etnobotani terhadap Serat Centhini, kitab tersebut memuat sekitar total 104 jenis tumbuhan yang diramu menjadi 85 obat untuk mengobati sekitar 30 macam penyakit. Dengan demikian, Serat Centhini menjadi salah satu sumber utama naskah sastra Jawa yang memuat tulisan tentang jamu.

Jamu, Jampi, Usada

Racikan berbagai bahan alam, atau yang lebih akrab kita sebut sebagai jamu, adalah pengobatan utama bagi masyarakat Jawa sejak berabad silam. Namun, sebelum dikenal sebagai jamu, berbagai manuskrip Jawa Kuna menyebutnya dengan istilah jampi atau usada. Dua istilah tadi memiliki arti penyembuhan yang menggunakan ramuan obat-obatan atau doa-doa dan ajian-ajian.

Dibandingkan usada, istilah jampi lebih kerap digunakan terutama di kalangan kraton Jawa sekitar abad XV-XVI M yang berbahasa krama inggil (krama halus). Sedangkan kata jamu mulai populer di kalangan masyarakat kebanyakan yang berbahasa Jawa madya lantaran diperkenalkan oleh para dukun atau tabib pengobatan tradisional.

Tradisi meracik dan mengonsumsi jamu sebagai obat ternyata sudah jauh berkembang sejak masa Hindu-Budha. Data artefaktual pada panel 19 relief Karmawibhangga di Candi Borobudur (8 M) menggambarkan adegan seorang laki-laki yang sedang sakit dan diberi pertolongan pengobatan oleh beberapa orang. Tepatnya dengan memijat kepala, menggosok perut dan dada, serta ada seseorang yang diduga membawa semangkok obat. Begitu pula pada panel 15, di bagian tengah panel digambarkan seorang wanita yang tidur diduga karena sakit, lalu di bagian kanannya sedang dimasakkan obat untuknya. Adegan tentang pengobatan bagi orang sakit tergambarkan pula pada relief-relief yang ada di candi-candi lain: Prambanan, Penataran, Tegawangi, dan Sukuh.

Selain resep dari Serat Centhini, ada beberapa naskah kesusastraan kuno lain yang juga memuat resep peracikan bahan alam untuk membuat obat-obatan. Formulasi racik jamu secara lengkap bisa ditemukan pada Serat Kawruh bab Jampi-Jampi Jawi tulisan 1831 M, walaupun belum bisa diakses secara umum. Naskah ini dipublikasikan oleh Kraton Surakarta pada era Sunan Paku Buwana V, sosok yang juga menggagas penulisan Serat Centhini.

Di Serat Kawruh bab Jampi-Jampi Jawi ada 1.166 resep yang terdiri dari 922 resep ramuan bahan alam. Kitab tersebut bahkan memuat 244 resep catatan rajah, jimat, rapal dan mantra. Kegunaan sekian banyak resep itu mulai dari untuk mencegah, menyembuhkan penyakit, hingga perawatan kecantikan para wanita.

Ada juga Serat Primbon Jampi Jawi, yang diperkirakan ditulis pada era Sultan Hamengkubuwana II, sekitar akhir abad ke-XVIII. Kitab itu kemudian disadur oleh Tan Khoen Swie pada 1933. Catatan ini memuat 42 bab yang terdiri dari 290 nama penyakit dan resep jamu dari bahan-bahan alam.

Pada era Sultan Hamengku Buwana VII, Kraton Yogyakarta menerbitkan Kitab Primbon Betaljemur Adammakna yang diterbitkan oleh Raden Somodidjojo. Kitab ensiklopedia Jawa ini sebenarnya telah ditulis sejak era Hamengku Buwana VI oleh pepatih dalemnya yaitu Patih Danurejo V. Memuat secara keseluruhan tentang daur hidup manusia, termasuk berbagai resep jamu seperti jamu untuk wanita hamil, wanita melahirkan, hingga jamu kuat lelaki.

Peracik Jamu

Jamu itu punya beraneka varian dalam hal penggunaannya. Ada jamu yang dikunyah, diminum, ditempelkan ke dahi (pilis), dioleskan ke badan (parem), dioleskan ke perut (tapel), ditempelkan ke bagian yang sakit, direndam, hingga disemburkan.

Namun, pengobatan penyakit dan peracikan obat tersebut tidak bisa dilakukan oleh sembarang orang. Ada beberapa profesi khusus sejenis ahli medis yang tercatat lewat beberapa prasasti. Prasasti Balawi (1305 M) yang dikeluarkan pihak Majapahit menyebutkan profesi tuha nambi (tukang obat), kdi (dukun wanita), dan walyan (tabib). Tuha nambi dan wli tamba (orang yang mengobati penyakit) disebutkan di prasasti Sidoteka (1323 M). Lalu, prasasti Bendosari (1360 M) juga menyebutkan profesi janggan (tabib desa).

Sementara itu, kutipan dari bagian muka Prasasti Madhawapura menyebutkan secara jelas profesi peracik jamu. “… pembuat pakaian (abhasana) tiga dasar (ukuran), angawari (pembuat kuali), acaraki (penjual jamu), …” Walaupun tidak berangka tahun, tetapi gaya bahasa prasasti ini digunakan pada era Kemaharajaan Majapahit pada medio abad XIV. Tercatat bahwa profesi peracik atau penjual jamu kala itu disebut dengan acaraki.

Di era Prabhu Hayam Wuruk tersebut, praktik pengobatan telah sangat ketat diatur di dalam undang-undang. Misalnya tertuang pada pasal 274 kitab agama Kutaramanawa sebagaimana dituliskan ulang oleh Slamet Muljana dalam buku Perundang-undangan Majapahit. Jika seseorang mengobati tanpa memiliki pengetahuan tentang penyakit dan obat-obatannya, lalu berusaha menyembuhkan orang hanya demi upah, maka akan diperlakukan selayaknya pencuri.

Jika mengobati binatang, lalu binatangnya mati, maka didenda empat kali tiga atak. Satu atak sendiri setara 200 picis atau mata uang tembaga Cina. Jika mengobati orang, ia tidak sembuh dan malah mati, maka didenda selaksa, yang mana satu laksa setara 10.000 picis. Lalu, raja yang berkuasa berhak memberikan hukuman mati bagi yang berusaha menyembuhkan Brahmana, tetapi malah mati.

Inventarisasi resep jamu untuk obat serta undang-undang yang mengatur tentang praktek pengobatan di atas menunjukkan perhatian masyarakat Jawa sejak masa silam terhadap kesehatan sudah tampak sejak dahulu. Perhatian demikian sejatinya masih bertahan hingga sekarang. Sayangnya, kemajuan pengobatan modern saat ini memberikan akses yang lebih mudah dan efek yang lebih cepat. Walhasil, praktek pengobatan tradisional termasuk mengkonsumsi jamu mulai banyak ditinggalkan.

Meskipun begitu, racikan jamu warisan nenek moyang ini tetap bisa bertahan sebagai obat alternatif bagi mereka yang sudah “mentok” dengan pengobatan modern. Contohnya ketika wabah COVID-19 melanda, banyak masyarakat mulai menggalakkan kembali konsumsi jamu untuk menjaga kesehatan tubuh melawan virus yang belum ditemukan obat dan vaksinnya sampai sekarang.

 

Referensi

Balai Konservasi Borobudur, Jenis Dan Bentuk Pengobatan Pada Relief Candi Borobudur, 1 Februari 2017, https://kebudayaan.kemdikbud.go.id/bkborobudur/jenis-dan-bentuk-pengobatan-pada-relief-candi-borobudur-2/. Diakses pada 22 April 2020 pukul 11.23 WIB.

Ki Demang Sokowaten. Ngundhuh Serat Centhini. https://ki-demang.com/centhini/index.php/112-serat-centhini-pdf/1650-serat-centhini-pdf/. Diakses pada 20 April 2020 pukul 08.00 WIB.

Kurniasih Sukenti. 2002. Kajian Etnobotani Terhadap Serat Centhini (tesis). Bogor: Institut Pertanian Bogor.

Mella Utami. 2019. Sistem Informasi Jamu Pada Serat Centhini, Buku Jampi Dan Kitab Tibb (tesis). Bogor: Institut Pertanian Bogor.

Murdijati Gardjito dkk. 2018. Jamu Pusaka Penjaga Kesehatan Bangsa Asli Indonesia. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Sumahatmaka. 1981. Ringkasan Centhini (Suluk Tambanglaras). Jakarta: Balai Pustaka.