b3d2871374ee8c51800fc12cf081867d

Mengenal Ramayana Versi Jawa dan Kakawin Bharatayuddha berikut Petuah di Dalamnya

BAGI masyarakat Jawa,kehidupan sehari-hari adalah senatiasa terbentuk dan memiliki kaitan terhadaptiga hal yang saling berkelindan. Hubungan sesama manusia, hubungan manusia dengan alam, serta hubungan manusia dengan Tuhan adalah tiga serangkai elemen kehidupan sehari-hari yang dimaksud.

Pemahaman semacam tadi selaras dengan konsep Tri Hita Karana (tiga sumber kebahagiaan) yang berakar dari zaman Jawa Kuna dan hingga kini masih berkembang dalam masyarakat Bali yang melestarikan ajaran Hindu. Memiliki pula keselarasan dengan konsep khalifah dalam ajaran Islam yang dikenal lebih belakangan oleh masyarakat Jawa.

Pemahaman tersebut menegaskan bahwa dalam kondisi apapun, manusia di alam semesta tidak bisa dilepaskan dan memang menjalani hidup yang bergerak menuju kepada Sang Ilahi. Dalam masyarakat Jawa, ini dikenal sebagai konsep sangkan paraning dumadi. Apa yang dituliskan oleh KGPAA Mangkunegara IV dalam bait I Serat Wedhatama sedikit banyak dapat menggambarkan spirit ideal tersebut: .

Kang tumrap neng tanah Jawa agama ageming aji.

(Bagi mereka yang mendiami tanah Jawa, agama adalah berguna sebagai penentu martabat)

Dalam menyampaikan pesan atau petuah moral, orang Jawa seringkali memakai narasi karya sastra ataupun cerita tutur, yang sering kali merupakan narasi-narasi yang berakar dari zaman Jawa Kuna dengan banyak warna pengaruh Hindu-Buddha bersenyawa di dalamnya. Thomas Stamford Raffles dalam The History of Java menegaskan bahwa Islam yang datang ke Jawa pun tidak sanggup menghapus konsep ini. Bahkan Raffles sendiri mengakui dirinya tidak mampu memahami ruang batin dan logika binner orang Jawa.

P. Swantoro dalam Dari Buku ke Buku (2016) mengatakan bahwa melalui kajian karya sastra dapat diketahui cara berpikir para pujangga yang mewakili orang Jawa kala itu. Sementara bila berbicara tentang karya sastra, P.J. Zoetmulder dalam Kalangwan (1983) menggambarkan bahwa karya sastra di Jawa telah berkembang sejak masa Jawa Kuna atau masa dominasi Hindu/Buddha.

Secara historis, karya sastra warisan Jawa Kuna tidak pula terlepas dari pengaruh India. Namun,oleh masyarakat Jawa dengan kearifan lokalnya, karya-karya sastra India digubah dan ditulis pujangga Jawa sesuai dengan alam berpikir masyarakat Jawa. Bahkan hal ini memengaruhi tradisi tulis di Jawa dengan munculnya aksara dan bahasa Jawa Kuna yang merupakan salah satu dialek bahasa pribumi di Jawa.

Ramayana

Salah satu karya sastra India yang digubah ke dalam bahasa-bahasa Jawa dan bahkan disesuaikan kepada latar budaya Jawa adalah epos Ramayana. Di Jawa, cerita ini digubah pujangga Jawa menjadi bentuk kakawin dan ditulis dalam bahasa Kawi maupun Jawa Baru. Cerita ini biasanya ditampilkan dalam seni wayang, sendratari, bahkan dipahatkan dalam relief candi seperti Candi Prambanan dan Candi Panataran.

Secara keseluruhan, wiracarta Ramayana di Jawa sama dengan India, yaitu berkisah tentang Rama, awatara Wisnu dalam wujud ksatria, yang menjalani pengembaraan selama 14 tahun, kehilangan Sinta sang istri yang diculik oleh raja raksasa Rahwana dari Alengka, sampai akhirnya dengan bantuan bala tentara kera pimpinan Sugriwa dan Hanoman harus memerangi seisi Alengka untuk merebut kembali Sinta.

Hanya saja, cerita Ramayana versi Jawa berhenti di bagian Sinta diboyong kembali ke Ayodya dan Rama dinobatkan menjadi Raja. Itulah alasannya cinta luar biasa Rama-Sinta sering menjadi inspirasi setiap pasangan.

Itu tadi beda dengan Ramayana asli versi India. Sekembalinya Rama dan Sinta ke Ayodya, mereka setelah beberapa lama hidup bersama akan lantas berpisah kembali selama bertahun-tahun. Itu terjadi karena beredarnya desas-desus di antara rakyat Ayodya yang meragukan kesucian Sinta selama tinggal di Istana Alengka. Alhasil, Sinta sampai harus bermukim di hutan dan melahirkan maupun membesarkan sepasang anak kembarnya, Lawa dan Kusya, di sana.

Bharatayuddha

Lakon akbar lain dari India yang digubah ke latar budaya adalahMahabharata. Penggubahannya pun memunculkan banyak versi yang fokus kepada salah satu bagian fragmen.Beberapa di antara contohnya adalah Arjunawiwaha, Bharatayuddha, Hariwangsa, Krsnayana, Ghatotkacasraya, hingga Sudamala.

Namun, dari sekian banyak sastra gubahan atas Mahabharata, Bharatayuddha adalah satu yang terpenting. Ini antara lain karena kakawin tersebut fokus kepada fragmen terpenting dari Mahabharata, yakni perang besar kubu Pandawa dan Kurawa di Padang Kurusetra, yang merupakan pula klimaks dari keseluruhan alur cerita Mahabharata.

Bharatayuddhaberarti “Perang [Wangsa] Bharata. Cerita tersebuti ditulis tahun 1157 oleh Mpu Sedah dan Mpu Panuluh, atas perintah Maharaja Jayabhaya dari Kediri. Konon sebagai simbol keadaan perang saudara antara Kediri dengan sesama cabang Wangsa Isyana, yakni Janggala.

Sebagaimana dipaparkan Zoetmulder dalam Kalangwan, Bharatayuddadibuka dengan kisah Krisna menjadi duta pihak Pandawa yang mendatangi Istana Hastinapura untuk berunding dengan kubu Kurawa. Sayangnya, proposal perdamaian yang diajukan Krisna ditolak dan bahkan dihina pihak Kurawa, menjadikan perang di Kurusetra tak lagi bisa terhindarkan. Cerita kemudian berlanjut dengan penggambaran hari demi hari peperangan di Padang Kurusertra. Itu mulai dari ketika Sweta alias Seta menjadi panglima pihak Pandawa, sedangkan Bhisma menjadi panglima pihak Kurawa. Dipungkasi dengan rangkaian perang tanding Bima melawan Duryudana, aksi gerombolan Aswatama melakukan serangan tengah malam ke perkemahan pihak Pandawa, lalu perjalanan menuju surga yang dilakukan oleh Krisna dan lima bersaudara Pandawa.

Bharatayuddayang berbahasa Kawi kemudian diadaptasi ke bahasa Jawa Baru dengan judul Serat Bratayuddha. Penggubahan selanjutnya ini dikerjakan oleh pujangga Yasadipura I pada zaman Kasunanan Surakarta. Dalam waktu kurang lebih beriringan, Bharatayuddha ditulis ulang dengan judul Serat Purwakandha oleh pujangga Kasultanan Yogyakarta pada masa pemerintahan Sri Sultan Hamengkubuwana V. Penulisan ulangnya dimulai tanggal 29 Oktober 1847 hingga 30 Juli 1848.

*

BaikRamayana versi Jawa maupun Bharatayuddha selaku kakawin terpenting di antara sekian gubahan Mahabharatapada dasarnya mengandung suatu pesan moralpengingat bahwa harapan itu selalu ada, meski kesulitan datang silih berganti.

Alang-alang dudu aling-aling margining keutamaan. Demikian sepenggal petuah bijak yang dikenal orang Jawa dalam hal memandang masalah dan kesukaran.Persoalan-persoalan dalam kehidupan semestinya tidak dilihat sebagai penghambat, tetapi justru menjadi jalan bagi kesempurnaan. Jadi jangan sampai ada pemikiran untuk lari dari permasalahan. Hadapilah dan selesaikan secara tuntas. Apapun hasilnya pasrahkan pada Yang Maha Kuasa.

Bagi orang Jawa yang kini mayoritas menganut Islam, pesan moral seperti di atas tentu dapat pula dikenal selaras dengan apa yang ada dalam QS. Al-Insyirah: 5-6:

“Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan. Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan. ”

 

DAFTAR PUSTAKA

 

Iyegar, Kodaganallur R. Srinivasa. Asian Variations in Ramayana. Papers Presented at the International Seminar on ‘Variations in Ramayana in Asia: Their Cultural, Social, and Anthropological Significance, New Delhi, Januari 1981.

Jatmiko, Adityo. 2015. Tafsir Ajaran Serat Wedhatama. Yogyakarta: Pura Pustaka.

Poerbatjaraka, Prof. Dr. R.M.Ng. 1952. Kapustakaan Djawi. Jakarta: Djambatan.

Raffles, Thomas Stamford. 2015. The History of Java. Yogyakarta: Narasi.

Riyanto, Mas. 2018. Bharatayuda Jayabinangun. Uwais Inspirasi Indonesia.

Swantoro, Pollycarpus. 2016. Dari Buku ke Buku. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.

Zoetmulder, P.J. 1983. Kalangwan: Sastra Jawa Kuno Selayang Pandang. Jakarta: Djambatan.