Menilik Simbol Legitimasi Praja Jawa di Balik Kursi

Judul Buku : Kursi Kekuasaan Jawa
Penulis : Eddy Supriyatna Marizar
Penerbit : NARASI
Tahun Terbit : 2013
Jumlah Halaman : 408

Buku ini menawarkan kajian mendalam mengenai bentuk, fungsi dan makna simbolik sebuah kursi dalam lingkup kekuasaan Jawa dan lingkup pemerintahan Indonesia hingga akhir masa pemerintahan Presiden RI kedua, Suharto. Kursi tampil sebagai topik utama, karena kursi mewakili mebel yang unik dan misterius dibanding mebel yang lain. Secara khusus di lingkup budaya kekuasaan Jawa dan lingkup pemerintahan Indonesia, kursi tampil sebagai benda memiliki citra yang unik, penuh misteri dan sarat makna simbolik. Ulasan dalam buku ini dikembangkan dari disertasi Dr. Eddy Supriyatna Marizar, M.Hum mengenai arti penting kursi dalam lingkup budaya Jawa secara khusus di Yogyakarta meliputi Keraton Yogyakarta, Gedung Agung, dan Pura Pakualaman.

Di sini dikemukakan bahwa tradisi duduk dalam kehidupan masyarakat Asia cenderung dilakukan di lantai. Kegiatan duduk berkaitan erat dengan hierarki sosial, sebab duduk di atas kursi hanya dilakukan oleh orang berstatus sosial tinggi yakni para bangsawan atau raja. Dalam lingkup kekuasaan Jawa di Keraton Yogyakarta, istilah dhampar lebih populer daripada kursi. Mengapa demikian? Penulis yang juga merupakan dosen tetap Fakultas Seni Rupa dan Desain Universitas Tarumanegara ini memaparkan bahwa kata Al-Kursi dan juga istilah arash kursi ditafsirkan sebagai fondasi kokoh dimana di atasnya kokoh berdiri sesuatu yang dapat menahan dan menopangnya, atau sebagai tempat yang teramat tinggi, mulia, dan di atasnya hanya ada Tuhan. Bila dikaitkan dengan ayat Al-Kursi maka kursi bermakna sangat tinggi dan memberi beban psikologis besar bagi penggunanya, sehingga tempat duduk raja di lingkungan keraton tidak dinamakan kursi melainkan dhampar. Ini selaras dengan konsep Jawa bahwa raja adalah wakil Tuhan di dunia yang terejawantah dalam gelar Sultan Yogyakarta Khalifatullah. Oleh karenanya ketika Sultan duduk di dhampar kencana, Sultan diposisikan sebagai manusia yang telah sempurna dan manunggal dengan Tuhannya. Prof. Dr.R.M. Soedarsono dalam kata sambutannya menekankan hal ini merupakan fungsi kursi sebagai “status display”atau pameran status sekaligus legitimasi kekuasaan seorang raja. Fungsi kursi yang demikian terejawantahkan terutama sepanjang pemerintahan Sultan Hamengku Buwana VIII dimana sultan memperkaya desain kursi keraton yang sengaja dibalut warna kuning emas untuk menampilkan kesan mewah sebagai kompensasi dari peran sosial politik keraton yang semakin diperlemah dan dipersempit.
Tidak hanya dalam lingkup kekuasaan tradisional Jawa kursi menempati posisi sakral dan magis, melainkan juga dalam lingkup pemerintahan Indonesia. Presiden Indonesia pertama dan kedua turut memberi warna perabotan rumah tangga khususnya kursi di Gedung Agung sesuai selera mereka guna melegitimasi kekuasaan mereka. Kesakralan dan nilai magis kursi tercermin lewat ragam bentuk, gaya, ornamen yang senantiasa berubah-ubah seturut jaman dalam mewakili makna simbolis tertentu. Sehubungan dengan kolonisasi bangsa Eropa di Jawa, ragam bentuk dan ornamen kursi di keraton, Gedung Agung, maupun pura Pakualaman tak terlepas dari pengaruh meubel gaya Eropa. Seperti kursi masa Hamengku Buwana VI yang dipengaruhi gaya Victorian atau masa Hamengku Buwana VII yang dipengaruhi gaya mebel James II dari Inggris. Semakin diramaikan dengan gaya mebel Prancis seperti gaya Barok, Rokoko, Neo Klasik danEmpire.

Dr. Eddy menguraikan posisi strategis kursi secara luas dan mendalam, meski demikian pembacaakan sangat terbantu dengan foto-foto berbagai dhampar kencana, amparan, kursi kadipaten, serta kursi-kursi kepresidenan dengan berbagai gaya serta gambar ilustrasi yang berkaitan dengan simbolisasi sebuah kursi. (Ch. Maria Goreti/Edukator Tour dan Divisi Riset Museum Ullen Sentalu)