Mengenal Satu Per Satu Adipati Mangkunegaran

250mangkunegaranJudul buku : 250 Tahun Pura Mangkunegaran
Penulis : Krisnina Maharani A. Tandjung
Penerbit : Yayasan Warna Warni Indonesia, Cetakan I, November 2007
Tebal : x + 128

SATU di antara kiblat budaya yang sampai sekarang masih ada di Kota Solo adalah Pura Mangkunegaran. Keberadaan Pura Mangkunegaran sedikit banyak memberikan kontribusi dan warna dalam geliat budaya masyarakat Solo, baik berupa karya sastra, seni infrastruktur atau arsitektur bangunan, seni tari, seni karawitan, dan seni pewayangan. Bahkan, jika ditimbang-timbang, sumbangsih Pura Mangkunegaran dalam kebudayaan tersebut tak lagi sebatas di tingkat Kota Solo, tetapi sudah turut memerkaya budaya Jawa pada umumnya, bahkan juga Nusantara. Semua kontribusi tadi berlangsung turun-temurun sejak KGPAA Mangkunegara I yang menjabat pada media abad XVIII hingga KGPAA Mangkunegara IX yang menjabat sekarang ini.

250 Tahun Pura Mangkunegaran merupakan buku ringkas berbahasa sederhana karya Krisnina Maharani A. Tandjung yang sangat membantu para pemula yang ingin mendapatkan pengetahuan mengenai Pura Mangkunegaran. Buku ini dilengkapi dengan keterangan dan foto – foto yang antara lain didapat penulisnya dari arsip di negara Belanda.

Bagian Pertama
Bagian pertama dari buku ini membahas tentang sejarah berdirinya Mangkunegaran yang bermula dari pergolakan dalam kerajaan Mataram Islam pada medio abad XVIII semasa pemerintahan Susuhunan Pakubuwana II. Pada periode tersebut, Mataram tercatat mengalami mengalami dua perang saudara besar yakni Perang Geger Pacina pada 1740-1743 ketika ibukota Kartasura sempat diduduki para pemberontak dari trah mantan Raja Amangkurat III yang bersekutu dengan kaum Tionghoa yang eksodus dari Batavia, tak berapa lama kemudian pada 1746 pecah lagi perang saudara bernama Perang Suksesi Jawa III yang berlangsung sampai 1755. Dua perang saudara tersebut memang saling berkaitan. Perang Suksesi Jawa III pecah sebagai dampak ketikdakpuasan kalangan internal Kraton Mataram terhadap Perjanjian 1743 antara Pakubuwana II dan VOC, yang mana wilayah Pantai Utara Jawa beserta kota–kota pentingnya disewakan dengan nilai rendah kepada VOC sebagai imbalan bantuan mereka dalam memenangkan Perang Geger Pacina. Dalam Perang Suksesi Jawa III, Pangeran Mangkubumi dan Raden Mas Saaid adalah sepasang pemimpin dari para bangsawan Mataram yang memerangi Pakubuwana II dan VOC.

Perang Suksesi Jawa III berakhir setelah Pakubuwana II wafat. Mataram lalu dibagi menjadi dua kerajaan oleh VOC pada 1755 melalui Perjanjian Giyanti. Separo disebut Surakarta yang dipimpin putra Pakubuwana II yakni Pakubuwana III; separo lainnya disebut Yogyakarta yang dipimpin Pangeran Mangkubumi, yang kemudian mengambil gelar sebagai Sultan Hamengkubuwana. Namun, Raden Mas Said masih meneruskan perlawanan baik kepada VOC, Surakarta, maupun juga Yogyakarta. Perlawanan pria yang juga dijuluki sebagai Pangeran Sambernyawa tersebut baru berakhir setelah Pakubuwana III atas dorongan VOC mengajaknya berunding pada 17 Maret 1757 di Salatiga. Perundingan itu menghasilkan Perjanjian Salatiga yang menyatakan Raden Mas Said diangkat sebagai adipati dengan gelar Mangkunegara, yang berkedudukan di bawah Sunan Paku Buwana III di Surakarta dan berhak atas wilayah 4.000 karyo (kepala keluarga).

Bagian Kedua
Pada bagian kedua, penulis membahas masa muda, pemerintahan, karir, dan peninggalan budaya para adipati di Mangkunegaran mulai dari Mangkunegara I hingga adipati Mangkunegaran yang sekarang, Mangkunegara IX. Masing-masing memeroleh pembahasan dalam bab-bab yang tersendiri.

Mangkunegara I sebagai sosok pendiri Mangkunegaran jelas memeroleh pembahasan yang cukup rinci tentang masa pemerintahannya. Sosok yang cakap berperang dan sanggup memerangi Belanda sampai 15 tahun, ternyata memiliki pula keahlian dalam karawitan, seni tari, wayang kulit, dan wayang orang. Mangkunegara I tercatat menciptakan 3 tarian yang sampai sekarang dianggap sebagai pusaka oleh pihak Mangkunegaran, yakni Bedhoyo Anglir Mendung yang menceritakan pertempuran di Ponorogo, Bedhoyo Diridometo yang menceritakan perjuangan berperang di hutan Sitokepyak, serta Bedhoyo Sukopratomo yang menceritakan kisah penyerangan benteng Kompeni di Yogyakarta.

Mangkunegara IV adalah sosok yang mengadopsi sistem kewirausahaan modern ala Barat ke dalam Praja Mangkunegaran. Itu diwujudkannya dengan membangun perkebunan-perkebunan dan pabrik-pabrik bagi komoditas yang laku diekspor. Yang paling terkenal adalah perkebunan tebu dan 2 pabrik gula besar yakni Colomadu serta Tasikmadu. Ia aktif pula di bidang budaya dengan menulis tak kurang dari 42 buku mengenai sastra Jawa, antara lain Nojokaworo, Salokatomo, Wirowiyoto, Tripomo, Jogatomo, dan Serat Wedhotomo. Ia tercatat pula mendirikan Perpustakaan Mangkunegaran pada tahun 1867, juga menjadi Ketua Komisi Sekolah Guru Jawa pada media abad XIX.

Mangkunegara VI yang memerintah pada awal abad XX adalah peletak dasar reformasi budaya Jawa. Ia mengelola praja Mangkunegaran dengan sangat hemat karena perekonomian sempat terpuruk oleh resesi dan salah urus dari pemerintahan sebelumnya. Sang adipati ini juga menyederhanakan tata-krama, yaitu nara praja yang akan melapor atau menghadap tidak diperbolehkan duduk di bawah, melainkan duduk sama-sama di kursi atau berdiri, juga tidak perlu menyembah berkali-kali. Dalam bidang kesehatan, Mangkunegara VI mengusahakan pelayanan dokter umum hingga pedesaan.

Mangkunegara VII adalah tokoh yang melanjutkan kegiatan dan pembangunan, sangat peduli terhadap bidang pendidikan dan kebudayaan. Pada masa pemerintahannya, banyak dibuka sekolah untuk rakyat sampai ke desa-desa. Ada pula pendirian perpustakaan-perpustakaan seperti Sono Pustoko dan Panti Pustoko. Para nara praja pun diwajibkan belajar menari dan karawitan serta diadakan penelitian tentang cara belajar nembang. Mangkunegara VII juga berjasa dalam merintis penyiaran di Indonesia, yaitu dengan mendirikan stasiun radio swasta pertama Solosche Radio Vereeniging (SRV) tahun 1933. Dalam dunia politik, Mangkunegara VII juga aktif dalam organisasi sosial sepeti Boedi Oetomo dan Jong Java.

Sekali lagi, buku ini sangat bagus dibaca oleh orang awam yang ingin mengetahui sejarah berdirinya Pura Mangkunegaran. Sayangnya, untuk beberapa kata ada yang salah dalam pengejaan dan buku ini hanya terpusat pada sejarah dan para adipati yang memerintah di Mangkunegaran. Alangkah lebih baik apabila penulis juga mencantumkan beberapa ornamen/bangunan di dalam kraton sehingga pembaca lebih mengenal dan bisa berimajinasi tentang setting kraton tersebut. (Ambar WS/Edukator Tur dan Konservator di Museum Ullen Sentalu)