Pola Garis dalam Batik Kraton Yogyakarta

Di Kraton Yogyakarta, Sultan Hamengku Buwana I pada tahun 1785 mencanangkan pola parang rusak  (gambar 1) sebagai pola yang diakui sebagai milik kraton yang hanya boleh dipakai oleh raja,bangsawan, dan pejabat kerajaan. Disamping juga motif-motif semen dengan sawat, lar cemengkiran, dan udan liris. Dengan demikian tampak betapa batik dipergunakan oleh golongan atas merupakan simbol status sosial dalam sebuah kehidupan masyarakat.

Lebih dari itu simbol kekuasaan digambarkan pada motif kawung (gambar 2), dimana keempat bulatan pada kawung dapat diartikan menjadi empat bentuk yang mengelilingi pusat. Hal ini dapat dijabarkan menjadi empat arah sumber tenaga alam, yaitu arah timur yang merupakan matahari terbit sebagai sumber tenaga segala kehidupan. Arah barat merupakan arah matahari terbenam atau arah menurunnya keberuntungan. Selatan dapat dihubungkan dengan zenith atau puncak segalanya, dan utara merupakan arah kematian. Konsep kekuasaan dengan empat sumber tenaga itu disebut mancapat, atau keblat papat lima pancer.

Pada masa pemerintahan Sri Sultan Hamengku Buwana VII pola batik larangan yang harus untuk raja dan putra mahkota, yaitu motif huk(gambar 3) tergolong motif non geometris yang terdiri dari motif kerang,binatang, cakra,burung,sawat,dan garuda. Motif kerang merupakan lambang dari air atau dunia bawah yang bermakna lapang hati. Binatang sebagai simbol watak sentosa dan pemberi kemakmuran. Motif burung huk sebagai simbol kepemimpinan dan berbudi luhur, sedangkan motif sawat merupakan ungkapan ketabahan hati. Dengan demikian motif huk mengandung harapan agar menjadi pemimpin yang berbudi luhur, dapat memberi kemakmuran kepada rakyat dan selalu tabah dalam menjalankan pemerintahan.

Disisi lain motif parang atau pedang dalam komposisi miring yang biasa disebut lereng atau lerek melambangkan kekuasaan dan gerak cepat. Garis-garis lengkung pada pola parang sering diartikan sebagai ombak lautan yang menjadi pusat tenaga bagi raja. Adapun variasi ukuran motif parang seperti parang barong 10 – 12 cm, hanya boleh dipakai raja, permaisuri, dan putera mahkota, putra raja dari permaisuri dan Kanjeng Penembahan. Parang rusak barong dengan ukuran 8-10 cm, boleh dipakai oleh para Garwa ampeyan dalem, para pangeran, dan pangeran sentana, sedangkan parang rusak klithik berukuran 4 cm disediakan bagi putra K.G.P.A.A Parang sebagai pedoman sejak masa pemerintahan Sri Sultan Hamengku Buwana VIII, untuk menentukan derajad kebangsawanan seseorang.

Sumber: Ensiklopedia Keraton Yogyakarta

busana