Kyai Rata Biru

Gelar Kyai dan Nyai pada Benda Pusaka Keraton

Telinga masyarakat Indonesia tentu tidak asing dengan kata “kyai” dan “nyai”. Pikiran yang pertama kali muncul setelah mendengar sebutan tersebut adalah sosok yang taat dalam menjalankan agama Islam serta memiliki pengaruh besar di bidang itu. Menurut Nurhayati Djamas dalam buku Dinamika Pendidikan Islam di Indonesia Pasca Kemerdekaan, Kyai merupakan gelar untuk tokoh agama atau orang yang memimpin pondok pesantren. Kyai dianggap sebagai elemen sentral dalam pesantren karena individu tersebut tidak hanya berperan sebagai soko guru dalam sistem pendidikan, melainkan sebagai teladan dalam nilai hidup komunitas santri. Wajar apabila dalam masyarakat Jawa, khususnya pada Masa Islam, kyai dianggap memiliki kedudukan yang sangat tinggi dan tidak terjangkau bagi masyarakat awam.

Istri seorang kyai atau pemuka pondok pesantren disebut nyai. Contoh dari penggunaan kata ini tampak pada Nyai Ahmad Dahlan, istri Kyai Ahmad Dahlan sang pendiri Muhammadiyah. Selain sebagai istri kyai, istilah nyai juga identik dengan pembesar perempuan lainnya. Misalnya, Nyai Ageng Serang, seorang panglima perempuan yang konon mampu membuat nyali pasukan Belanda ciut seketika. Dari pengertian-pengertian yang telah disebutkan, jelas bahwa kata “nyai” maupun “kyai” digunakan dengan tujuan memuliakan tokoh-tokoh tertentu.

Secara etimologis, kata “kyai” dan “nyai” yang dikenal dalam bahasa Jawa saat ini sebenarnya adalah hasil evolusi dari dua buah istilah dalam bahasa Kawi alias Jawa Kuna, yakni bahasa orang Jawa semasa zaman Hindu-Buddha. “Kyai” berihwal dari “ki yayi”; “nyai”atau “nyi” berihwal dari “ni yayi”. Jika merujuk isi Kamus Jawa Kuna-Indonesia karya PJ Zoetmulder dan SO Robson, “ki” kurang lebih berarti gelar bagi laki-laki yang dihormati, lalu “yayi” berarti adik. Sebaliknya “ni”, khususnya jika merujuk penggunaan dalam bahasa Bali yang menyerap banyak pengaruh bahasa Kawi, merupakan sebutan bagi perempuan. Dengan demikian “ki yayi” dan “ni yayi” masing-masing secara bahasa Kawi berarti  “adik laki-laki dan “adik perempuan”. Ini terutama merujuk kepada status terhormat sebagai kerabat raja.

Rupanya, yang menyandang kedua gelar tersebut tidak hanya para tokoh terkemuka. Sudah menjadi kebiasaan bagi para bangsawan Jawa untuk memberikan gelar kyai dan nyai kepada benda-benda yang dianggap keramat. Istana-istana Jawa pada umumnya memiliki benda pusaka yang sangat dihormati layaknya orang yang sakti mandraguna. Jenis bendanya bermacam-macam, termasuk senjata, alat musik, dan kereta kuda. Keberadaan benda pusaka sangat penting bagi suatu kerajaan karena merupakan simbol kebesaran raja sekaligus pelindung dari hal-hal jahat.

Di Keraton Yogyakarta, salah satu benda pusaka yang terkenal adalah Kyai Ageng Kopek, keris yang kedudukannya paling tinggi di antara keris-keris pusaka lainnya. Senjata tersebut hanya bisa dikenakan oleh raja dan pada masa pergantian pemerintahan, diberikan kepada pangeran yang kelak menduduki tahta untuk dipakai menjelang upacara penobatan raja. Menurut cerita bangsawan keraton, dua hari setelah Perjanjian Giyanti pada tanggal 15 Februari 1755, Sunan Pakubuwono III bertemu dengan Pangeran Mangkubumi (kelak Sultan Hamengkubuwono I) di Desa Lebak Jati. Pada pertemuan itu, Sang Susuhunan menyerahkan keris pusaka kepada Pangeran Mangkubumi dan keris tersebut adalah Kyai Ageng Kopek. Pemberian keris menjadi simbol pengakuan bahwa Pangeran Mangkubumi mendapatkan separuh wilayah Mataram dan dialah yang bertahta sebagai raja atas tanah yang diterimanya. Selain keris, benda pusaka yang tidak kalah legendaris adalah tombak bernama Kyai Ageng Plered. Konon, tombak ini pernah digunakan untuk membunuh Arya Penangsan oleh Danang Sutawijaya yang nantinya bergelar Panembahan Senopati, pendiri kerajaan Mataram. Versi lainnya menyebutkan bahwa tombak Kyai Ageng Plered diberikan oleh Sunan Pakubowono II kepada Pangeran Mangkubumi untuk berperang mengusir Belanda.

Gamelan istana pun juga mengenakan gelar “kyai”. Keraton Yogyakarta memiliki gamelan berwarna biru yang dikenal dengan Kyai Guntur Laut. Gamelan ini hanya dimainkan dalam upacara kenegaraan yang besar seperti penobatan raja, penyambutan tamu besar, dan pernikahan. Pada upacara Sekaten, digunakan dua perangkat gamelan, yaitu Kanjeng Kyai Gunturmadu dan Kanjeng Kyai Nagawilaja. Oleh karena itu kedua gamelan itu dikenal sebagai Gamelan Sekati. Untuk mengiringi tarian prajurit, digunakan gamelan Kyai Marikangen. Pada masa pemerintahan Sultan Hamengkubuwono III, gamelan dimainkan ketika para prajurit putri menarikan tari Langenkusuma sebelum berlatih perang di alun-alun.

Seperti halnya gelar “kyai”, gelar “nyai” juga digunakan sebagai nama benda pusaka. Akan tetapi, pemakaiannya tidak sebanyak gelar “kyai”. Hal ini terlihat dari nama salah satu kereta pusaka milik Keraton Yogyakarta yang menyandang nama Kanjeng Nyai Jimat. Kereta ini merupakan satu-satunya kereta istana yang menggunakan gelar perempuan. Disebut “nyai” karena pada sandaran kakinya ditemukan ukiran perempuan yang cukup besar. Terkadang, benda pusaka “perempuan” dipasangkan dengan benda pusaka “laki-laki” sebagaimana meriam Kyai Setomo dan Nyai Setomi yang dimiliki oleh Keraton Surakarta. Sepasang meriam kuno itu dipercaya sebagai senjata andalan Sultan Agung ketika menyerang VOC di Batavia tahun 1628. Kini, Kyai Setomo disimpan di Museum Nasional Jakarta, sedangkan Nyai Setomi masih disimpan di Bangsal Witono, Keraton Surakarta. Hingga kini, Nyai Setomi masih dikeramatkan oleh bangsawan Keraton Surakarta. Bahkan, pusaka ini menjadi pusaka istimewa karena setiap tahun dijamasi dua kali, tidak seperti pusaka lainnya yang hanya dijamasi sekali setahun.

Adanya benda pusaka prempuan menunjukkan bahwa dalam budaya Jawa sosok kyai maupun nyai sama-sama dipandang istimewa. Lantas, mengapa jumlah benda pusaka perempuan lebih sedikit dibanding dengan benda pusaka laki-laki? Zaman dulu, sektor publik seperti pemerintahan, militer, dan keagamaan merupakan area yang didominasi oleh kaum Adam. Sekalipun sejak masa Sultan Agung, keraton sudah memiliki prajurit perempuan atau prajurit estri seperti yang diungkapkan oleh de Graff dalam buku Puncak Kekuasaan Mataram, jumlahnya sangat sedikit dibanding prajurit laki-laki. Selain itu, tokoh-tokoh agama pun sebagian besar adalah laki-laki sehingga di sini peran kaum Hawa seakan tidak terlalu menonjol. Oleh karena itu, benda-benda pusaka bergelar kyai jumlahnya lebih banyak dibanding benda-benda bergelar nyai.

Referensi:

  • Carey, Peter dan dan Houben, Vincent. 2016. Perempuan-Perempuan Perkasa di Jawa Abad XVIII- XIX. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia
  • Djamas, Nurhayati. 2008. Dinamika Pendidikan Islam di Indonesia Pasca Kemerdekaan. Jakarta: PT Raja Grafinda Persada)
  • Dwiyanto, Djoko. 2009. Ensiklopedi Kraton Yogyakarta. Dinas Kebudayaan Daerah Istimewa Yogyakarta
  • Graaf, H.J de. 1986. Puncak Kekuasaan Mataram: Politik Ekspansi Sultan Agung. Jakarta: PT Pustaka Graftipers
  • Soeratman, Darsiti. 1989. Kehidupan Dunia Kraton Surakarta 1830-1939. Yogyakarta: Penerbit Tamansiswa
  • Perempuan Perkasa di Jawa Abad XVIII- XIX. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia
  • Wirabhumi, K.P. Eddy. 2004. Karaton Surakarta by the Will of His Serene Highness Paku Buwono XII. Solo: Yayasan Pawiyatan Kabudayan Karaton Surakarta