Batik

KAIN bergambar yang dihasilkan secara khusus dengan menerakan lilin malam dan kemudian pengolahannya diproses dengan cara tertentu. Demikian pengertian tentang batik jika merujuk kepada isi Kamus Besar Bahasa Indonesia. Lalu, kurator etnologi Museum Nasional Singapura, Lee Chor Lin, dalam bukunya yang berjudul Batik: Creating an Identity, mendefinisikan batik sebagai a resist-dyeing technique used to decorate finished fabrics. Ini senada dengan definisi batik pada ensiklopedia online Wikipedia versi bahasa Inggris: a cloth that is tradionally made using a manual wax-resist dyeing technique.
Lalu, untuk sejarah batik, maka kita bakal diharuskan menoleh ke belakang, ke masa 1.500 atau bahkan 2.500 tahun silam.


Teori Rouffaer

GP Rouffaer  berpendapat embrio dari apa yang sekarang dikenal sebagai batik adalah teknik mewarnai kain yang masuk ke Jawa dari India atau Sri Lanka pada antara abad VI dan  VII Masehi. Peneliti berkebangsaan Belanda yang hidup 1860 -1928 ini mengemukakan teori tersebut dalam dua volume publikasi bertitel De Batikkunnst in Nederlandsch-Indie en haar Geschiedenis yang terbit 1914. Teori dari Rouffaer ini tentunya bersangkut paut dengan masuknya pengaruh India dan China ke Nusantara sejak sekitar abad II Masehi, efek dari terbentuknya jalur perdagangan laut Timur Tengah – India – China yang memang melalui Asia Tenggara.
Teknik pewarnaan kain dengan pencelupan yang didahului dengan perintangan warna memakai lililn pada beberapa bagian kain memang dikenal juga di sejumlah kawasan lain di luar Nusantara. Menurut Nadia Nava dalam bukunya yang bertitel Il Batik, teknik perintangan warna memakai lilin (wax-resist dyeing technique) contohnya sudah dikenal di Mesir pada abad IV Sebelum Masehi, dipraktikkan di China semasa Dinasti Tang (618 – 907 Masehi), juga diterapkan di Jepang pada  periode Nara (645 – 794 Masehi). Menurut John Gillow dalam bukunya berjudul Traditional Indonesia Textiles, teknik serupa pembatikan sejauh ini terus dipraktikkan juga di India, China, Asia Tenggara Daratan, Turkistan, serta Afrika Barat.

Teori Brandes dan Sucipto

Di sisi yang lain, arkeolog Belanda JL Brandes dan arkeolog Indonesia FA Sucipto berpendapat bahwa batik di Nusantara memiliki akar yang dalam dari tradisi lokal. Ini karena pembatikan dan teknik pencelupan rintang yang kurang lebih menyerupai batik ternyata tak cuma ditemukan di daerah-daerah Nusantara yang pernah menerima penetrasi Hinduisme dan Buddhisme seperti Jawa, Bali, Madura, Lombok,  Sunda, Banten, Lampung, Palembang, Jambi, Sumatera Barat, serta Kalimantan Selatan.
Teknik pencelupan rintang contohnya dikenal juga di kalangan masyarakat Toraja di dataran tinggi pedalaman Sulawesi Selatan. Padahal, daerah tersebut minim sekali terpengaruh oleh pengaruh oleh unsur-unsur budaya India. Teknik pencelupan rintang ala  Toraja mewujud dalam kain sarita dan kain maa. Kain-kain itu memiliki bentuk ragam hias geometris serta bentuk hewan kerbau, kepala kerbau, dan rumah adat tongkonan. Bahan perintang warna untuk pencelupannya sama dengan batik yakni memakai lilin malam lebah. Di samping Toraja, masih ada Flores, Halmahera, dan bahkan Papua selaku daerah-daerah dengan latar belakang penetrasi Hinduisme dan Budhisme minim, tapi ternyata mengenal teknik perintangan warna pada kain, paling tidak bibit-bibit tekniknya.
Di daerah-daerah yang dahulunya dipengaruhi Hinduisme dan Buddhisme pun, teknik menciptakan ornamen pada kain guna menghasilkan batik atau sejenisnya ada beraneka macam.  Itu tentu mencerminkan kearifan lokal serta kreativitas penduduk asli Nusantara dalam memanfaatkan sumber daya yang tersedia di daerah yang dimukiminya.
Di belahan selatan Jawa Barat serta Banten contohnya dikenal adanya kain simbut, yang merupakan sejenis batik dengan bahan perintang warna berupa darih alias bubur ketan. Penggunaan darih ini dipercaya sebagai teknik pencelupan rintang yang lebih ketimbangan teknik yang menggunakan lilin malam. Alat lukis untuk pembuatan kain simbut pun bukanlah canting yang sekarang ini dikenal luas sebagai piranti melukis pola batik, tetapi memakai semacam kuas dari potongan bambu.
Di Sumatera Barat, ada semacam batik yang dihasilkan dengan menggunakan bahan perintang dari tanah liat. Sebutan lokalnya adalah batiak tanah liek. Kekhasan terpenting batik ala ranah Minang ini jika dibanding batik-batik lain di seantero Nusantara ada di bagian awal proses pembuatannya, yakni berupa perendaman kain polos dalam larutan air bercampur tanah liat selama sekitar dua hari.
Teknik perintangan warna tanpa penggunaan canting yang dikenal paling luas di Nusantara adalah teknik jumputan serta teknik tritik. Perintang warna yang dimanfaatkan adalah teknik jumputan adalah ikat-ikatan tali. Perintang warna dalam teknik tritik adalah memakai sisipan benang yang dijelujurkan pada kain, untuk selanjutnya ditarik hingga membuat jelujuran tadi rapat menjadi satu gumpalan kain. Teknik jumputan dan tritik dikenal terutama di kawasan Yogyakarta, Surakarta  dan Jawa Tengah selebihnya, Bali, Lombok, Kalimantan Selatan, Palembang, serta Sulawesi.
Dalam perihal menerakan motif ke kain calon batik, beberapa daerah di Nusantara juga mengenal penggunaan alat selain canting ataupun cap berbahan tembaga. Alat bantunya bervariasi mulai dari kuas, semacam pena dari bambu atau kayu, hingga semacam sisir berjarum-jarum halus. Di daerah Indramayu, Jawa Barat, sisir berjarum halus tadi dikenal sebagai complongan, yang berfungsi menghasilkan motif berbentuk titik-titik/cocohan.
Jika ditinjau dari bahan-bahan alami yang secara tradisional digunakan pada pembuatan batik, terutama sebelum maraknya bahan-bahan kimia pabrikan, batik pada dasarnya semacam rekaman lalu lintas perdagangan antar pulau di Nusantara, sejarah, serta daya cipta tinggi para penduduknya. Warna merah secara alami dihasilkan dari akar pohon mengkudu (Morindra citrofolia) yang merupakan tanaman asli Nusantara dan tidak didapati di India. Warna soga alias cokelat terang kekuningan secara alami dihasilkan dari kulit kayu tanaman soga (Pelthophorum ferrugineaum) yang banyak tumbuh di Sulawesi. Lilin lebah si bahan perintang dihasilkan oleh daerah Sumatera Selatan, Sumbawa, serta Timor. Mata kucing untuk campuran lilin dihasilkan oleh Kalimantan dan Sulawesi. Satu dari kerajaan kuno yang terbilang tertua di Nusantara yakni Tarumanegara, tegak pada sekitar abad V Masehi, diyakini memiliki keterkaitan dengan keberadaan atau bahkan produksi tanaman nila atau indigo, sumber warna biru pada batik. Ini karena “tarum” sebagai inti dari nama Tarumanegara bersinonim “nila” dan “indigo”.
Kain Jawa Kuno
Di antara semua daerah di Nusantara, Jawa harus diakui sebagai lahan terpenting bagi perkembangan batik. Catatan tertua tentang penggunaan batik di Nusantara pun berkenaan dengan cara berpakaian penduduk Pulau Jawa pada abad VI Masehi. Itu ditemukan dalam berita China dari Dinasti Liang (502-556 Masehi) , yang kemudian dinukil oleh WP Groeneveldt dalam bukunya, Historical Notes on Indonesia anda Malaya: Compiled from Chinese Sources. Berita China tersebut menyebutkan bahwa raja serta para bangsawan di Jawa mengenakan selendang bahan tipis dan berbunga untuk menutupi bagian atas tubuh mereka. Kain berbahan tipis dan bermotif bunga tadi patut dijadikan indikasi keberadaan batik pada masa itu, biarpun dapat juga kain jenis lain.
Pada masa Jawa kuno, masyarakat Jawa rupanya telah mengenal aneka jenis kain. Keragaman itu mulai dari variasi warna, motif, variasi cara pembuatan, jenis kelamin pemakainya, kedudukan sosial pemakainya, hingga satuan hitungan untuk kain. Hal semacam ini termuat dalam prasasti-prasasti dari abad IX dan X Masehi antara lain Tpussan, Polengan I, Tunahan, Polengan V, Rukam, Poh,  Lintakan, Mulak, Humanding, Jurunan,  Kwak I, dan Sansang.
Pada zaman Mataram Kuno, penyebutan kain bagi kaum perempuan dan laki-laki dibedakan. Istilah kain dikhususkan untuk menyebut kain perempuan.  Satuan untuk  menghitung kain perempuan adalah hlai atau wlah. Kain bagi kaum pria disebut wdihan atau bebed. Satuan untuk menghitung wdihan ada beberapa macam antara lain kban, yu, gala, pasang dan sawit.
Pada masa sekarang pun, kain untuk perempuan dan kain untuk pria sebenarnya memiliki penyebutan yang berbeda di dalam khazanah pengetahuan budaya Jawa. Kain untuk perempuan disebut sebagai tapih atau sinjang. Kain untuk pria disebut bebed, istilah yang ternyata masih sama dengan penyebutan untuk kain pria pada abad IX dan X Masehi.  Hanya saja, penyebutan yang berbeda bagi kain perempuan dan kain pria ini sudah tak banyak dipraktikkan orang pada saat ini.
Menurut Inda Citranida Noerhadi dalam buku Busana Jawa Kuna, beberapa jenis dan corak wdihan yang disebutkan dalam prasasti-prasasti  adalah:

1.    rangga
2.    angsit
3.    ganjar-patra
4.    lungar
5.    bira
6.    pilih magong
7.    jaro
8.    kalyaga
9.    çiwakidang
10.    sulasih
11.    ambay-ambay
12.    sinhěl

Pemakaian kain-kain itu ternyata diatur dan dipilah menyesuaikan status sosial pemakainya. Berikut ini adalah cuplikan pemberian wdihan sebagaimana tercantum di prasasti-prasasti zaman era Mataram Kuno:
1.    Ganjar patra diberikan kepada mapatih i hino.
2.    Angsit diberikan kepada samgat wadihati.
3.    Lungar diberikan kepada rakarayan i pagarwsi.
4.    Bira diberikan kepada halaran, pangkur, tawan serta tirip.
5.    Pilih magong diberikan kepada çri maharaja dan rakryan i hino.
6.    Jaro diberikan kepada rakryan mapatih i hino, halu, sirikan, wka, serta san pamgat tiruan.
7.    Çiwakidang diberikan kepada çri kahulunnan.
8.    Ambay-ambay diberikan kepada samgat tiruan, halaran, palarhyan, pankur, tawan, dan tirip.
9.    Sulasih diberikan kepada samgat momahumah.
10.    Sinhěl merupakan kain yang terbuat dari daun lalang atau kulit kayu, dan difungsikan sebagai jubah khusus para rahib atau pendeta.
Wdihan, dengan aneka jenis dan corak yang dimilikinya, juga aturan pemilahan pengguna karena berkaitan dengan fungsinya sebagai penanda status sosial, tak bisa tidak mengingatkan kepada batik yang ada saat ini. Ingat bahwa batik juga terdiri atas banyak jenis serta corak, tergantung latar belakang daerah pembuatnya. Ingat pula bahwa batik pun memiliki fungsi sebagai penanda status sosial penggunanya. Paling tidak hingga medio abad XX, ketika raja demi raja Dinasti Mataram Islam masih memberlakukan secara ketat dan rinci pemilahan motif batik menurut golongan yang berhak memakai maupun momen penggunaanya, plus menetapkan sejumlah motif yang menjadi hak istimewa raja.
Wdihan patut diduga juga sebagai versi arkais dari batik masa kini. Jika benar demikian, itu dapat menjadi satu penanda tentang betapa tuanya masyarakat Jawa mengenal batik. Namun, benar tidaknya wdihan merupakan batik versi purba tak pula dapat dipastikan. Sebab, dapat juga wdihan tersebut adalah kain dengan teknik pembuatan yang berlainan dari batik, misalnya tenun, songket, jumputan, atau tritik.
Tentang kain yang kini dikenal sebagai batik, indikasi yang lebih jelas tentang keberadaannya muncul mulai abad XII Masehi. Literatur-literatur Jawa abad tersebut yang menyebut keberadaan kain yang dilukis atau diwarnai. Istilah yang dipakai adalah tulis warna atau randi tinulis.
Beberapa arca hasil pembuatan masa tersebut dapat menjadi menjadi bukti indikasi keberadaan batik. Pasalnya arca-arca itu digambarkan mengenakan kain bercorak yang sangat mengingatkan kepada batik saat ini. Contoh arca yang memiliki detail ornamen kain batik adalah Prajna Paramitha dari Jawa Timur abad XIII atau XIV, dan dipercaya sebagai penggambaran antara sosok Ken Dedes atau Gayatri Rajapatni. Arca lain yang juga berbatik adalah Bhairawa dari Sumatera Barat abad XIV dan dipercaya sebagai penggambaran Adityawarman.
Penggambaran kain bermotif yang diduga sebagai batik pada arca-arca Jawa dan Sumatera abad XIII dan XIV cocok dengan catatan seorang pelaut Tiongkok dari zaman Dinasti Yuan (1271-1368).  Wang Dayuan, demikian nama  pelaut Tiongkok yang pernah dua kali berlayar ke Asia Tenggara pada awal abad XIV itu, mencatat  tentang produksi kain bermutu tinggi yang diwarnai dan diberi hiasan pola secara indah di Pekalongan serta Jawa Timur. Catatan Wang Dayuan tersebut tertulis dalam manuskrip buatannya yang bertitel Daoyi Zhilue dirampungkannya pada 1349. Kurator etnologi Museum Nasional Singapura, Lee Chor Lin, mengutip deskripsi Wang Dayuan tentang produksi kain berwarna dan berpola indah, yang sangat patut diduga sebagai batik,  dalam bukunya yang berjudul Batik: Creating an Identity.

Sultan Agung dan Canting

Batik  akhirnya beroleh status yang mantap dan beroleh pula sejumlah formalisasi plus standarisasi pada masa Mataram Islam. Tepatnya lagi pada masa pemerintahan Sultan Agung (1613-1646), ketika wilayah kekuasaan Mataram membentang meliputi separo Jawa Barat, seluruh Jawa Tengah, Madura, serta hampir seluruh Jawa Timur, kecuali daerah Blambangan.  Pada kurun ini pula lah, istilah batik kali pertama muncul yakni dalam kitab Babad Sengkala terbitan 1633 Masehi.
Satu yang sering dianggap sebagai penanda bahwa batik pada masa pemerintahan Sultan Agung akhirnya beroleh status mantap, bisa juga disebut sebagai status paripurna, adalah penciptaan canting sebagai alat membatik. Penciptaan canting terbilang sangat inovatif pada masa itu. Canting sebagai alat kecil dari tembaga yang diisi lilin memungkinkan penggambaran motif-motif batik yang lebih detail dan lebih indah dari sebelumnya.
Namun, Rouffaer memiliki pendapat bahwa canting ditemukan jauh lebih tua dari zaman Sultan Agung. Rouffaer berpendapat bahwa canting telah ada pada medio abad XIII. Pendapat ini didasarkan kepada analisisnya atas pola batik kuno bernama grinsing yang menurutnya buatan sekitar 1275  dan berasal dari daerah Jawa Timur.  Menurut Rouffaer, pola dalam kain grinsing itu cuma mungkin dihasilkan dengan bantuan alat bantu berupa canting.
Canting secara umum terdiri atas tiga bagian. Pertama adalah cucuk atau cerat yang merupakan ujung dari canting, berupa pipa kurus mungil dan bengkok sebagai pengalir cairan malam ke kain. Kedua adalah nyamplung yang merupakan badan utama dari piranti canting, dan pada dasarnya merupakan suatu wadah tembaga yang memuat cairan malam . Ketiga adalah tangkai dari bahan tahan panas contohnya bambu atau kayu.
Canting memiliki aneka desain spesifik sehingga masing-masing canting memiliki fungsi kerja yang spesifik pula. Macam-macam canting itu antara lain:
1.    Canting isen-isen yang memiliki cerat sangat tipis untuk fungsi membuat garis-garis seindah mungkin dan titik-titik yang kecil.
2.    Cantik kyandangen yang memiliki tempat untuk menuangkan lilin yang telah memutih pada pemrosesan pertama.
3.    Canting penanggang yang berfungsi melumurkan lilin pada permukaan kain yang lebar.
4.    Canting penembok yang mempunyai cerat sangat lebar untuk menutupi bagian-bagian kain yang terlindung oleh lilin.
5.    Canting pengada yang memiliki dua cerat untuk menggambar garis-garis paralel.
6.    Ada juga canting-canting lain yang memiliki tiga, lima, bahkan enam cerat untuk membuat gambar bunga mawar dan sekumpulan titik.
Lepas dari apakah canting memang diciptakan pada era Sultan Agung ataukah hasil penemuan pada abad XIII Masehi yang sekadar disempurnakan lima abad kemudian, status batik sebagai adibusana Jawa sebagaimana dikenal sekarang beroleh fondasi kuat pada era Sultan Agung. Aneka macam motif batik, aneka macam ukurannya, dan aneka macam variasi pemakaiannya lantas menjadi penanda tinggi rendah kepangkatan dan jabatan di pemerintahan, penanda asal usul daerah, penanda tingkatan usia maupun status pernikahan. Ini diteruskan pula oleh kerajaan-kerajaan pecahan Mataram Islam seperti Surakarta.

Variasi Pola dan Bentuk

Variasi motif alias pola dalam batik memang luar biasa. Rouffaer ketika melakukan penelitian terhadap batik pada awal abad XX berhasil mengumpulkan kira-kira 3.000 pola. Pola-pola itu dapat dibagi menjadi dua golongan besar yakni pola geometris dan pola yang tidak bersifat geometris.
Pola geometris terbagi menjadi lima pola:

1.    Pola banji:
Ini konon termasuk satu di antara pola dasar batik yang tertua. Bentuk dasarnya berupa silang atau palang yang diberi tambahan garis-garis pada ujungnya dengan gaya melingkar ke kanan atau ke kiri. Oleh berbagai kebudayaan kuno, motif semacam ini dikenal juga sebagai swastika. Pola banji dalam seni batik mengalami bermacam perubahan, termasuk dengan pemberikan hiasan-hiasan tambahan, hingga kerap sukar mengenal kembali silang banji-nya.
2.    Pola ceplok:
Ini terdiri atas garis-garis yang membentuk persegi-persegi, lingkaran-lingkaran, jajaran-jajaran genjang, binatang-binatang, serta bentuk-bentuk lain bersegi banyak. Memiliki basis lima posisi kardinal yakni utara, selatan, timur, barat, dan tengah, juga terinspirasi bentuk buah yang dibelah melintang. Bila diteliti, ceplok merupakan abstraksi berbagi benda misalnya saja bunga-bunga, kuncup-kuncup, belahan-belahan buah, bahkan binatang-binatang. Karena itulah banyak di antara motif ceplok ini memakai nama kembang atau nama binatang. Motif ini juga dipercayai sebagai motif yang tua karena dalam beberapa candi terdapat hiasan-hiasan yang menyerupai pola batik ceplok.
3.    Pola kawung:
Sebenarnya dapat digolongkan sebagai bagian dari ceplok. Pola ini lantas dianggap pola tersendiri karena dipercaya sebagai pola kuno yang telah ada pada 800-an Masehi karena ditemukan terpahatkan di candi Prambanan. Ada yang berpendapat bahwa pola ini terinspirasi dari belahan buah aren. Itu karena nama lain dari pohon aren adalah kawung. Namun, Rouffaer berpendapat bahwa kawung merupakan turunan pola kuno dari abad XIII yakni grinsing, terdiri dari lingkaran-lingkaran kecil dengan sebuah titik di dalamnya dan tersusun seolah-seolah sisik ikan atau ular. Kawung terbagi-bagi lagi menurut besar kecilnya ukuran yang dipakai. Kraton Yogyakarta pernah menjadikan kawung sebagi pola larangan yang hanya boleh dipakai oleh sultan serta kelurga terdekatnya.
4.    Pola yang meniru tenunan atau anyaman:
Contoh pola batik yang meniru tenunan dan anyaman adalah nitik. Sebagaimana tercermin dari namanya, nitik memiliki ciri khas berupa titik-titik maupun garis-garis pendek yang tersusun secara geometris. Pola nitik dianggap golongan pola kuno karena istilah batik konon muncul dari penyingkatan terhadap istilah rambating titik. Pola nitik memiliki beberapa varian. Dua di antaranya yang terkenal adalah cakar ayam dan tirtateja.
5.    Pola garis miring:
Umumnya pola batik digambarkan secara mendatar, namun pola garis miring digambarkan dalam gaya miring alias memiliki kecenderungan diagonal, yang merupakan pola yang digemari dalam seni dekorasi di Nusantara. Contoh-contoh pola menganut aliran garis miring antara lain parang rusak klitik, parang rusak gendreh, parang rusak barong, serta udan liris.

Pola non geometris memiliki ciri adanya pembuatan pola di dalam pola, yang jumlahnya bisa tak terbatas. Pembuatan pola terkesan tidak terlalu terikat dengan ukuran maupun gaya-gaya tertentu. :
1.    Satu di antara golongan terbesar pola batik non geometris adalah keluarga besar pola batik semen. Ciri khas semen adalah penerapan bentuk kuncup-kuncup, daun-daun, dan bunga-bunga. Kebanyakan dari semen melambangkan kesuburan dan kekuasaan.
Menurut persamaannya yang terlihat, semen terbagi menjadi tiga golongan besar:
- Semen yang hanya terdiri dari bentuk kuncup-kuncup, daun-daun, dan bunga-bunga. Contohnya pola pisang bali dan kepetan.
- Semen yang hanya terdiri dari bentuk kuncup-kuncup, daun-daun, dan bunga-bunga, dikombinasikan dengan bentuk binatang. Contohnya adalah pakis, peksi endol endol, dan merak kasimpir.
-Semen yang terdiri dari gambaran tumbuh-tumbuhan, binatang-binatang, ditambah dengan bentuk sayap yang secara umum dinamakan lar. Lar ini pun masih dapat dibagi lagi menjadi tiga macam yaitu sayap tunggal (lar), sayap kembar (mirong), dan sayap kembar berpadu ekor yang terbuka (sawat). Sawat sejak lama dianggap sebagai ornamen hias pada batik raja-raja.
2.    Pola-pola batik non geometris lainnya banyak ditemukan dalam kekayaan batik dari luar Surakarta dan Yogyakarta. Batik-batik pasisiran, hasil produksi dari daerah-daerah pantai utara Jawa, mulai dari Cirebon, Indramayu, Pekalongan, Rembang, Juwana, Pati, dan Lasem kaya akan penggambaran wujud-wujud tak geomtris seperti gunung-gunung, bebatuan, kolam-kolam, serta binatang-binatang diselingi rangkaian tumbuhan dan bunga-bunga. Ini bisa terjadi karena penduduk daerah-daerah Pesisir Utara Jawa memang tidak begitu terikat dengan tradisi ¬kraton-kraton di pedalaman Jawa.
Hanya saja, pola geometris maupun pola yang tidak bersifat geometris dapat tampil sebagai kombinasi dalam satu kain. Contoh pemaduan paling ambinius pola geometris dengan pola non geometris ada dalam pola-pola batik yang termasuk keluarga besar tambal. Di dalam pola-pola tambal, beberapa pola batik yang berbeda digambarkan pada kain yang sama. Masing-masing pola diisikan di petak-petak tertentu. Petak-petak tersebut dapat berbentuk segitiga, bujur sangkar, lingkaran seperti medali, hingga bentuk-bentuk dengan segi tak beraturan.
Tambal secara tradisi diyakini orang Jawa sebagai batik dengan tuah sebagai penolak bala hingga penyembuh orang sakit. Konon, tambal diilhami oleh kain yang dikenakan para pendeta masa lalu yang banyak bertambal di sana-sini.
Selain pola, bentuk kain  batik pun banyak pula jenisnya. Kain batik paling tidak  terbagi menjadi 6 bentuk utama. Pertama adalah kain panjang dengan ukuran 2,5 meter x 1 meter. Kedua adalah sarung dengan ukuran 2,25 meter x 1 meter dan ujungnya disambung menyatu membentuk tabung. Ketiga adalah kain ikat kepala atau destar yang bentuk dasarnya berupa bujur sangkar 1 meter x 1 meter. Keempat adalah kemben yakni kain yang biasanya berukuran 2,5 meter x 0,5 meter dan dipakai sebagai penutup dada. Kelima adalah selendang yang berukuran sekitar 1,5 meter x 0,45 meter dan dipakai sebagai hiasan pelengkap semacam syal. Keenam adalah dodot atau kampuh yang merupakan busana bawah berukuran sangat besar, panjang 4 meter atau  5 meter dan lebarnya 2 meter. Dodot ini pada masa lalu merupakan busana khusus bagi raja, keluarganya, serta kaum ningrat untuk upacara tertentu. Dodot dipakai juga oleh sepasang pengantin ningrat serta penari bedaya dan serimpi.

Ornamen Kontemporer dan Batik Cap
Dalam hal keanekaragaman pola, batik tidaklah mandek. Seiring zaman, pola-pola baru batik terus berlahiran. Metode tersederhananya adalah pengombinasian sejumlah pola klasik dengan penambahan bentuk atau variasi warna.
Berbarengan dengan itu, muncul pula batik-batik dengan ornamen hias berupa ikon-ikon khas daerah-daerah yang sebelumnya tak termasuk daerah produsen batik. Contohnya saja adalah batik dengan ragam hias khas suku Dayak ala Kalimantan Timur, batik dengan ragam hias suku Asmat dan suku-suku lain di Papua, batik dengan ragam hias kaligrafi ala Bengkulu, juga batik dengan ragam hias panorama pantai maupun sosok penari tradisional Bali demi memenuhi kebutuhan turis di Pulau Dewata. Ini semua berlangsung sejak booming ekonomi era Orde Baru dan berpadu dengan adanya transmigrasi penduduk Jawa ke pulau-pulau Luar Jawa.
Tak ketinggalan pula muncul batik-batik dengan pola-pola kontemporer, atau bahkan bisa disebut  berisi pola-pola ultramodern. Batik-batik kontemporer tersebut sudah tak terlalu mengikatkan diri kepada kelaziman penggunaan ikon-ikon maupun kombinasi warna ala batik-batik klasik. Kreasi pun sudah melampaui penggunaan bentuk-bentuk bunga yang disusun non simetris ala batik-batik pasisiran. Batik berpola kontemporer yang hadir antar lain sejak pertengahan dekade 1970-an kerap hadir layaknya lukisan abstrak, lukisan potret, lukisan realisme, juga lukisan wayang. Batik-batik semacam tadi contohnya pernah dihasilkan oleh pelukis-pelukis Amri Yahya, Kuswaji, Aini, serta Bangbangetro pada medio 1970-an sampai dengan medio 1980-an.
Kreasi batik kontemporer sejatinya tak cuma monopoli mereka yang hidup dekade 1970-an dan setelahnya. Pasalnya, pada pertengahan dan akhir abad XIX, juga awal abad XX, banyak lahir kain-kain batik yang memiliki ragam hias ikon-ikon modernitas masa itu, atau paling tidak bergambar elemen-elemen budaya Barat. Batik-batik semacam itu umumnya produksi daerah Pesisir Utara Jawa. Ikon-ikon modernitas ataupun bernuansa Barat pada batik-batik itu antara lain, barisan prajurit Kompeni Belanda, kapal layar ala Barat, kapal uap, kereta api, pesawat terbang, juga suasana pesta dansa.
Dalam jagat perbatikan, kehadiran pertama kali  ikon-ikon modernitas serta budaya Barat sebagai bagian ornamen pada kain-kain batik Jawa bukan satu-satunya kejadian penting pada pertengahan abad XIX sampai dengan paro pertama abad XX. Pada kurun ini usaha batik tradisional di Jawa beroleh tantangan hebat dari Eropa, berupa masuknya kain-kain batik serta kain bermotif ala batik yang diproduksi oleh pabrik-pabrik Belanda dan Inggris. Usaha batik lokal merespon ancaman tadi dengan inovasi cara produksi baru yakni batik cap, yakni batik yang polanya diterakan ke kain memakai semacam cap besar dari blok tembaga.
Pembatikan memakai cap memang jauh lebih cepat dari pembatikan memakai canting. Jika batik tulis yang digarap memakai canting perlu hitungan beberapa pekan atau bahkan beberapa bulan untuk rampung, maka pembatikan memakai cap mampu membuat satu usaha batik menghasilkan sampai 20 kain batik dalam sehari. Semakin banyak kain batik yang dapat diproduksi, harga kain batik pun lantas menjadi lebih terjangkau. Kualitas batik cap pun tetap tergolong bagus, meski memang tak pernah dianggap sebagus batik tulis. Inovasi batik cap tadi berjasa membuat penduduk Jawa tak sampai terlalu menggemari batik-batik impor dari Eropa.
Inovasi pembatikan cap juga sangat menggairahkan perekonomian di kota-kota penghasil batik di Jawa. Gairah usaha batik dan teknik batik capnya memunculkan saudagar-saudagar batik kaya raya dan tersohor seperti Haji Samanhudi di Surakarta serta Oey Soe Tjoen di Pekalongan.

Proses Pembatikan
Memasuki abad XXI, dunia perbatikan Indonesia dan tentu saja tak terkecuali Jawa mesti merasakan kemunculan batik printing, sebutan bagi kain atau produk bermotif ala batik hasil produksi massal industri tekstil dan garmen. Banyak di antara merupakan hasil produk impor asal China.
Itu seolah menjadi ulangan serbuan batik Eropa di pertengahan abad XX. Hanya saja, kali ini, serbuah batik printing belum menemukan penangkal yang mujarab, berbeda halnya dengan batik-batik pabrikan Eropa dahulu yang akhirnya berhasil ditangkal dengan batik cap.
Batik printing tak bisa digolongkan sebagai anggota keluarga besar batik, biarpun tampil sebagai kain atau pakaian dengan motif batik. Pasalnya batik printing dalam pembuatan motifnya tidak menerapkan teknik perintangan warna memakai lilin malam sebagaimana ada dalam pembuatan batik cap serta batik tulis.  Jadi, anggota keluarga besar batik tetaplah batik tulis dan batik cap.
Dibandingkan batik cap, maka batik tulis selalu dipandang memiliki kualitas lebih unggul. Batik tulis beroleh status sebagai karya seni karena proses pembuatannya yang lama karena memakai canting.  Masing-masing kainnya pun memiliki ciri unik sebagai efek pengerjaan tangan non massal.
Proses pembuatan batik secara tradisional adalah terbagi sebagai berikut:
1.    Ketel:
Tahap menyiapkan kain bahan polos sebelum diberi malam dan dicelup. Secara tradisional, caranya adalah merebus si kain bersama air yang dicampur sekam padi. Terkadang, minyak kacang ditambahkan ke air rebusan guna menghaluskan tekstur kain hingga ke benang-benangnya.
2.    Nyoret:
Tahap berisi penggambaran pola awal memakai pensil.
3.    Nglowong:
Peneraan lilin malam untuk pertama kalinya memakai canting atau cap.
4.    Nembok:
Peneraan lilin malam untuk kedua kalinya.
5.    Medel:
Proses pencelupan pertama.
6.    Ngerok/Nglorod:
Pada dasarnya merupakan penghilangan lilin malam dari kain. Ketika penghilangan lilin malam memakai cawuk alias pisau tumpul atau segala alat lain yang dapat dipakai mengeruk/menggosok kain, maka namanya adalah ngerok. Ketika penghilangan lilin malam dilakukan dengan perebusan, maka namanya adalah nglorod.
7.    Mbironi:
Peneraan lilin malam untuk kali ketiga guna memerjelas pola.
8.    Nyolet:
Tahap tambahan memakai kuas guna menciptakan efek lebih warna-warni/
9.    Nyoga :
Pencelupan untuk kali kedua untuk mendapatkan warna cokelat cemerlang.

Jaringan Kekerabatan Batik
Batik Indonesia sejak 2 Oktober 2009 beroleh pengakuan dari Unesco sebagai karya budaya yang menjadi warisan dunia. Penghargaan tersebut tentunya menunjukkan tingginya daya cipta penduduk Nusantara dari generasi ke generasi yang bekerja menghasilkan batik. Pengetahuan dari mancanegara dipadukan dan bahkan disempurnakan dengan pengetahuan asli negeri sendiri.
Keragaman motif diperkaya dengan keanekaragaman pemandangan berbagai daerah, flora dan fauna, juga peristiwa yang terjadi di Nusantara abad demi abad. Penggambaran motif juga dipakai untuk menyisipkan berbagai ajaran filosofis  adiluhung Nusantara.
Hal ini dibuktikan oleh lembaga Bandung Fe Institute (BFI) pimpinan Hokky Situngkir ketika melakuan penelitian tentang komplekstitas dalam pola-pola batik Nusantara. Menurut Hokky dan kawan-kawannya, pola-pola batik merupakan lukisan alam, sekaligus cerita, dan dinamikanya. Hanya saja, sang pelukis batik menggambarkannya secara realis, melainkan berefleksi dalam atasnya dan membentuknya menjadi garis, lingkaran, segitiga, serta titik. Inilah yang kemudian diterakan ke kain. Ada yang dijajarkan, diperbesar, diperkecil, atau ditumpuk satu dengan lainnya.
BFI dengan memakai analisis fisika modern lantas menemukan bahwa bentuk dan ukuran antar pola itu berbeda satu dengan lainnya. Mereka juga menemukan bahwa pola batik adalah geomteri fraktal.
Berbekal analisis semacam itu, BFI akhirnya mampu menghasilkan pohon silsilah kekerabatan pola-pola batik Nusantara. Dari situ, mereka bisa menggambarkan kedekatan pola satu dengan pola lainnya. Dapat pula menggambarkan evolusi yang dialami sampai akhirnya dapat lahir satu pola batik tertentu.

REFERENSI
•    Djoemena, Nian S, Batik dan Mitra/Batik and its Kind, Djambatan, Jakarta, 1990
•    Dofa, Anesia Aryunda, Batik Indonesia, Golden Terayon Press, Jakarta, 1996
•    Gillow, John & Barry Dawson, Traditional Indonesia Textiles, Thames and Hudson, London, 1992
•    Graaf, HJ de, Puncak Kekuasaan Mataram: Politik Ekspansi Sultan Agung, Pustaka Grafitipers, Jakarta, 1986
•    Ismunandar, RM, Teknik & Mutu Batik Tradisional-Mancanegara, Dahara Prize, Semarang, 1985
•    Lin, Lee Chor, Batik: Creating an Identity, National Museum Singapore, Singapore, 1991
•    Lombard, Denys, Nusa Jawa: Silang Budaya, Bagian 1: Batas-Batas Pembaratan, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2008
•    Nusa Jawa: Silang Budaya, Bagian 3: Warisan Kerajaan-Kerajaan Konsentris, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2008
•    Munoz, Paul Michel, Early Kingdoms of the Indonesian Archipelago and the Malay Peninsula, Edition Didier Millet, Singapore, 2006
•    Noerhadi, Inda Citranida, Busana Jawa Kuna, Komunitas Bambu dan Biro Oktroi Roosseno, Depok, 2012
•    Novita, Evi (dkk), Batik: Media Kontemplasi Masyarakat Jawa, Museum Ullen Sentalu, Yogyakarta, 2009
•    Ogasawara, Sae (dkk), All about Batik: Art of Tradition and Harmony, Asahi Shimbun, Machida, 2007
•    Raffles, Thomas Stamford, The History of Java, Volume Two, Oxford University Press, Kuala Lumpur, 1965
•    Satria, Jeffrey dan Bhisma Adinaya, Batik Asli Indonesia!, Majalah Intisari no 588 (Januari 2012), Jakarta
•    Simbolon, Parakitri T, Menjadi Indonesia, KOMPAS, Jakarta, 1995
•    Soeratman, Darsiti, Kehidupan Dunia Kraton Surakarta 1830-1939, Tamansiswa, Yogyakarta, 1989
•    Tirtaamidjaja, N, BROG Anderson, Jazir Marzuki, Batik: Pola dan Tjorak – Pattern and Motif, Djambatan, Jakarta, 1966
•    Yudhoyono, Ani Bambang, My Batik Story: A Silent Labor of Love, Gramedia Pustaka Utama, 2010

Penulis:Yoseph Kelik