“Banyaknya orang Eropa yang bermigrasi dan ingin menetap di Hindia-Belanda mendorong penelitian higienitas sebagai jaminan keamanan dan kecocokan lokasi yang akan ditinggali.”
Sejarawan Gani Ahmad Jaelani dalam peluncuran dan diskusi buku The Medical Journal of the Dutch-indies 1852-1942di Perpustakan Nasional, 16 November 2017.
JAUH sebelum maraknya wabah Covid-19 serta demam berdarah, ada cacar, malaria, beri-beri, pes, dan kolera yang silih berganti menjangkiti para penduduk Nusantara dari berbagai warna kulit tanpa kecuali. Penyakit-penyakit tersebut pernah merajalela dalam rentang waktu yang begitu lama, berabad-abad. Baru terbilang menjinak sejak sekitar 100 atau 50 tahun terakhir.
Jinaknya penyakit-penyakit ganas tadi seabad terakhir bukan serta-merta terjadi. Di baliknya ada ikhtiar teramat panjang, makan waktu puluhan tahun hingga seabad lebih. Tentang ikhtiar panjang penjinakan penyakit-penyakit sumber wabah pada zaman Kolonial, tiga seri tulisan “Wabah Penyakit Menular di Tanah Jawa” karya Lisa Andriani dalam blog.ullensentalu.com ini dapatlah sedikit ditengok.
Willem Bosch
Salah satu nama yang terbilang berjasa dalam memelopori terciptanya upaya penjinakan sistematis terhadap aneka penyakit sumber wabah di Jawa maupun Nusantara pada umumnya adalah Willem Bosch (1798-1874). Ia adalah Kepala Militair Geneskundige Dienst (MGD/Dinas Kesehatan Militer Hindia Belanda) pada sekitar dekade IV abad XIX, seorang dokter yang sekaligus menyandang pangkat kolonel tentara. Semasa memegang jabatannya, Bosch pernah menyusun suatu manual panduan singkat bagi para kepala daerah serta pemuka masyarakat setempat dalam hal penanganan wabah.
Masih pada waktu yang kurang lebih berdekatan, Bosch juga berusul kepada atasannya, Gubernur Jenderal Jan Jacob Rochusen yang menjabat 1845-1851, untuk merekrut para pemuda pribumi sebagai tenaga vaccinateur, juru pemberi vaksin. Melalui usul ini, Bosch mencoba mendorong program vaksinasi yang sebenarnya sudah diinisiasi Pemerintah Kolonial sejak awal abad XIX kepada jangkauan yang optimal. Tak lagi sebatas mencakup kota-kota seperti Batavia, Surabaya, Jepara, Surakarta, dan Yogyakarta. Dengan begitu, rekayasa penciptaan daya kebal penyakit bagi keseluruhan populasi dapat jauh lebih besar serta terus pula membesar.
Usulan Bosch tentang program perekrutan para juru pemberi vaksin dari kalangan pribumi memang diterima dan dijalankan Pemerintah Kolonial. Penerapannya melalui proses pendidikan dalam suatu lembaga bernama Onderwijs van Inlandsch Eleves voor de Geneskunde en Vaccine (Lembaga Pendidikan Kedokteran dan Vaksinasi bagi Kaum Bumiputra). Sekolah bagi juru pemberi vaksin atau vaksinator tersebut tepatnya dibuka pada 1 Januari 1851di Batavia, tepatnyadi bilangan Weltvreden, yang kini dikenal sebagai daerah Sawah Besar, Jakarta Pusat.
Terutama di kalangan pribumi, penyebutan vaccinateur/vaksinator kalah populer dengan sebutan juru cacar atau mantri cacar. Ini bisa dimaklumi karena vaksin cacar memang vaksin pertama yang ditemukan serta yang perdana pula divaksinasikan secara massal di Jawa. Menurut Peter Boomgaard dalam “Smallpox, Vaccination, and Pax Neerlandica 1550-1930”, penduduk Jawa sampai dengan awal abad XX menyimpan pengetahuan kolektif bahwa wabah cacar memiliki siklus 7-8 tahun sekali.
Pembukaan sekolah bagi vaksinator pada 1851 menjadi babak baru bagi dunia medis di Hindia Belanda. Lebih lagi mengingat sekolah vaksinator tersebut pada tahun-tahun serta dekade-dekade selanjutnya ditingkatkan menjadi sekolah dokter. Perubahan sistem medis ini tidak hanya dilihat dari aplikasi teknologi pengobatan modern, tetapi juga membuka hadirnya profesi dokter di kalangan pribumi dalam tempo tak sampai setengah abad setelahnya. Peran dokter di kemudian hari perlahan menjadi tulang punggung layanan kesehatan bagi masyarakat, melampaui peran para tabib atau dukun pelaku pengobatan tradional.
Jurnal Ilmiah
Sumbangsih Bosch terhadap penjinakan wabah-wabah di Jawa tidak cuma berupa penciptaan manual penanganan bagi para pemuka lokal ataupun usulan pendirian lembaga pendidikan vaksinator. Merujuk penelitian Leo van Bergen dan timnya dalam The Medical of the Dutch Indies 1852-1942 (2017), pada 1851, tahun yang sama dengan pembukaan sekolah vaksinator, Bosch membentuk pula apa yang dinamakan sebagai “Vereeniging tot Bevordering der Geneeskundige Wetenschappen in Nederlandsch-Indië”. Perhimpunan yang terutama beranggotakan para dokter ini dimaksudkan untuk mendukung kemajuan ilmu kedokteran dan kesehatan di Hindia Belanda, khususnya untuk menunjang penelitian ilmiah dan pendirian perpustakaan medis.
Satu tahun kemudian, Vereeniging tot Bevordering der Geneeskundige Wetenschappen in Nederlandsch-Indiëyang dipelopori Boch mengeluarkan jurnal bertitel Geneeskundig Tijdschrift voor Nederlandsch-Indie (GNTI). Melalui jurnal ini, informasi terkait kesehatan dapat disebarluaskan, terutama informasi yang dibutuhkan oleh mereka yang hendak mempelajari perkembangan ilmu medis di Hindia Belanda. Pada awalnya jurnal ini menargetkan adanya 150 pelanggan yang masing-masing akan membayar ƒ12 (12 Gulden). Namun, berhubung GNTI adalah salah satu dari sedikit jurnal di koloni, maka yang nyatanya berlangganan tidak hanya dokter atau apoteker tetapi juga dokter hewan, pegawai negeri sipil, bahkan administrator pemerintahan lokal yang mampu berbahasa Belanda. Semakin majunya, pada tahun 1889 jurnal tahunan ini berubah dari edisi bulanan, tahun 1928 menjadi edisi dua mingguan, dan tahun 1936 menjadi edisi mingguan.
Berkembang pesatnya penerbitan jurnal GNTI tentu tidak lepas perkembangan sekolah vaksinator. Pada tahun 1853 atau dua tahun saja setelah pendiriannya, sekolah vaksinator disahkan menjadi Sekolah Dokter Djawa dengan masa pendidikan 3 tahun dan lulusannya diberi gelar ‘Dokter Djawa’. Sekolah ini dikelola di bawah dipimpin seorang perwira kesehatan dengan Dr.P. Bleeker menjadi pejabat pertama yang mengepalainya. Pada tahun 1875, lama pendidikan Dokter Djawa ditingkatkan menjadi 7 tahun. Bahkan sejalan dengan penyempurnaan kurikulum, pada 1898 sistem sekolah ini selanjutnya disebut School tot Opleiding voor Indische Artsen (STOVIA). Itulah alasannya, banyak mahasiswa bumiputra maupun peranakan Tionghoa yang bisa ikut serta menulis di jurnal GNTI.
Bagi mahasiswa STOVIA kala itu, GNTI merupakan jurnal bergengsi dalam ilmu kedokteran di dunia. Selama hampir seabad (1852-1942), jurnal ini dijadikan rujukan atau sumber ilmu medis di Hindia-Belanda. Jurnal ini membahas pola penyebaran penyakit, wabah penyakit, pencegahan dan penanganannya, serta perilaku para dokter masa itu. Mahasiswa tidak hanya dikenalkan dengan ilmu vaksinasi dan farmasi sebagaimana yang diajarkan dosen-dosen STOVIA. Dengan mengikuti perkembangan jurnal-jurnal GNTI, mereka mampu mengikuti perkembangan ilmu kedokteran internasional. Contohnya, perkembangan anestesi (obat bius) tahun 1849, ilmu bakteriologi tahun 1850, dan metode transfusi darah serta radiologi pada tahun 1900-an. Bahkan dalam penerbitan jurnal tahun 1942, ilmu kedokteran di Indonesia telah sampai pada penemuan antibiotik.
Satu hal yang menarik, sejak awal abad XX M, bukan hanya penyakit perorangan yang menjadi wacana di GNTI tetapi wabah penyakit pun mulai disoroti oleh pemerintah Hindia-Belanda. Dalam beberapa artikel jurnal sebelum 1920, pernah dibahas kasus beri-beri dan penyakit menular lain seperti Pes dan TBC. Sementara pada tahun 1930, dibahas pula kesehatan sosial, terutama terkait kesehatan para pekerja pekebun. Empat tahun kemudian, muncul institusi tentang nutrisi yang mendorong penelitian kualitas makanan yang dikonsumsi masyarakat.
Dengan demikian, selain menyebarluaskan pengetahuan yang turut berandil dalam penjinakan penyakit-penyakit sumber wabah berikut peningkatan derajat kesehatan masyarakat pada umumnya, jurnal GNTI sekaligus menjadi semacam pionir historiografi kesehatan di Indonesia. Bahkan kini, GNTI dikenal sebagai jurnal medis tertua berbahasa Belanda, dan mungkin merupakan salah satu jurnal medis tertua di Asia.
DAFTAR PUSTAKA
Ahsan, Ivan Aulia. “Buku Sejarah Kedokteran Dirilis: Dari Jurnal Tertua hingga Nobel”, diakses dari http://www.google.com/amp/s/amp.tirto.id/buku-sejarah-kedokteran-dirilis-dari-jurnal-tertua-hingga-nobel-cz9kpada 22 Maret 2020.
Bergen, Leo van, Liesbeth Hesselink, dan Jan Peter Verhave. 2017. The Medical Journal of the Dutch Indies: 1852-1942. A Platform for Medical Research. Jakarta: Indonesian Academy of Science (AIPI).
Boomgaard, Peter. Smallpox, Vaccination, and Pax Neerlandica, Indonesia 1550-1930. Bijdragen tot de Taal, Land-en Volkenkunde 159 (2003), no. 4, Leiden, hal 590-617.
Herdahitaputri, Risa. “Kisah Jurnal Tertua”, diakses dari http//www.google.com/amp/s/historia.id/ amp/sains/articles/kisah-jurnal-tertua-Vqxp8pada 22 Maret 2020.