TAKUT dan khawatir pasti menghantui setiap masyarakat yang diserang wabah penyakit. Terutama di masa ketika pengobatan dan tenaga medis belum memadai. Mereka tidak tahu kapan nyawanya akan diambil, malam ataukah siang, subuh ataukah senja. Di tengah masa pageblug seperti itulah, kraton sebagai pusat peradaban masyarakat Jawa hadir menjadi penenang. Maklumlah kepercayaan akan hal-hal supranatural masih sangat kuat di tengah masyarakat Jawa.
Salah satunya datang dari Kraton Yogyakarta. Ketika menghadapi wabah penyakit, kraton memiliki tradisi menenangkan masyarakat melalui perarakan pusaka Kanjeng Kyai Tunggul Wulung.
Berdasarkan deskripsi Ensiklopedia Kraton Yogyakarta, Kanjeng Kyai Ageng Tunggul Wulung merupakan bendera pusaka kraton yang menduduki posisi paling tinggi. Pusaka ini amat disucikan lantaran kisah di baliknya, yaitu kain bendera itu konon berasal dari kiswah Ka’bah di Mekkah.
Dinas Kebudayaan Daerah Istimewa Yogyakarta dalam artikel berjudul Upacara Wiyosan Kanjeng Kiai Tunggul Wulung menjelaskan bahwa “wulung” memiliki arti warna biru tua kehitam-hitaman. Sang bendara pusaka kraton Yogyakarta tersebut memang berwarna dasar hitam dengan plisir tepi bendera berwarna kuning. Di bagian tengahnya ada ikon dua pedang berwarna putih dan motif bulat telur berwarna merah. Keindahan motif bendera bisa dilihat dari hiasan tulisan ayat-ayat suci Al-Qur’an yang terdiri dari surat Al-Kautsar, Asma’ul Husna, dan Syahadat.
Bendera Kyai Tunggul Wulung diarak berpasangan dengan standar tombak Kanjeng Kyai Slamet. Pusaka-pusaka tersebut dipercaya memiliki kekuatan tolak bala, sehingga selalu diarak untuk mengusir wabah penyakit. Kedua pasang pusaka ini juga akan diarak khusus pada upacara Grebeg tahun Dal, yang hanya dilaksanakan setiap 8 tahun sekali. Prajurit Ketanggung berpangkat puliyer yang bertugas mengusung pusaka ini seraya mengiringi keluarnya gunungan-gunungan.
Perarakan pusaka contohnya dilakukan pada tahun 1876 kala wabah penyakit melanda Yogyakarta. Bramartani, koran berbahasa Jawa pertama di Hindia Belanda, memberitakan tentang proses perarakan Kyai Tunggul Wulung ke sekeliling kota Yogyakarta untuk mengusir wabah tersebut.
Proses ini masih dilakukan oleh Kraton Yogyakarta hingga abad XX. Di tahun 1918, pandemi influenza menjangkiti wilayah Hindia Belanda, termasuk Yogyakarta. Awalnya, korban influenza banyak berjatuhan di wilayah Krasak, Magelang. Berdasarkan perhitungan Priyanto Wibowo dkk. dalam buku berjudul Yang Terlupakan: Pandemi Influenza 1918 di Hindia Belanda, sekitar 60% kematian yang terjadi setiap minggu pada 1918 adalah karena influenza. Ketakutan akan wabah yang semakin meluas mendorong Sultan Hamengkubuwana VII untuk titahkan perarakan pusaka Kyai Tunggul Wulung dan Kyai Slamet keliling kota.
Begitu pula ketika wabah pada 1931 melanda Kota Gede, kota lama yang terletak di selatan Yogyakarta. Warga berjaga malam secara bergantian karena takut wabah datang di malam hari dan bisa membuat nyawa melayang saat terlelap. Sedangkan mereka yang beruntung secara ekonomi memilih untuk meninggalkan kota dan mencari tempat tinggal lain yang lebih aman. Atas kebijakan Sultan Hamengku Buwana VIII, pusaka kraton yang paling disucikan yaitu Kanjeng Kyai Tunggul Wulung, diarak keliling kota. Meskipun demikian, pusaka Kyai Tunggul Wulung dan Kyai Slamet tidak diarak di Kota Gede, melainkan hanya di sekeliling pusat kota saja.
Hari perarakan pusaka tidak bisa dilakukan sembarang hari. Selalu tepat pada malam Jum’at Kliwon, yaitu pertemuan antara sistem pekan lima hari (pancawara/pasaran) dan sistem pekan tujuh hari (saptawara). Bagi kraton, Jumat Kliwon merupakan hari terbaik dari sudut pandang supranatural bagi pusaka Kyai Tunggul Wulung. Karena itu, perarakan sang pusaka penolak bala saat wabah di Kota Gede 1932 berlangsung pada malam Jum’at Kliwon tanggal 21-22 Januari.
Perarakan pasangan pusaka Kyai Tunggul Wulung dan Kyai Slamet mensyaratkan adanya beberapa ritual dan persembahan lain. Seratus tokoh agama (pamethakan), prajurit, dan kaum bangsawan akan ikut serta mengiringi perarakan pusaka keluar istana. Pemimpin rombongan adalah pangulu (kepala urusan keagamaan kraton) yang menaiki kuda. Sebelum dimulai, adzan akan dikumandangkan dan para tokoh agama melantunkan doa. Barulah mereka mulai arak-arakan dengan berjajar rapi. Upacara ini dilengkapi dengan beberapa sesaji kepada waringin kurung, dua pohon beringin besar yang dipagari di Alun-Alun Utara kraton. Sesaji berupa kebo bule (albino) betina, tempurung berbagai jenis kura-kura, dan sebagainya. Hal tersebut dituliskan oleh M.C Ricklefs di buku Mengislamkan Jawa.
Ketika arak-arakan dimulai, ribuan masyarakat akan ikut berjalan. Ada sembilan titik sudut kota yang sudah ditentukan untuk dilewati. Rombongan perarakan akan berhenti di setiap titik dan kemudian berdoa bersama. Upacara ini berlangsung hingga pukul 5 pagi, barulah pusaka kembali ke istana. Kedatangan rombongan di kraton akan disambut Sultan dan beberapa pejabat tinggi yang sudah berjaga semalam suntuk sembari berdzikir. Terakhir, pangulu akan memimpin prosesi penyembelihan hewan kurban di Alun-Alun Utara.
Walaupun dalam beberapa aspek prosedurnya bersifat sangat Islami, tetapi upacara diikuti dengan berbagai ritual sesaji dan persembahan yang menggambarkan masih kuatnya kepercayaan sinkretis mistis di kraton. Masyarakat kala itu masih percaya hal-hal metafisik, sehingga masih ada kepercayaan umum bahwa wabah akan hilang setelah ada perarakan pusaka-pusaka suci milik kraton. Bahkan, ada pula kepercayaan bahwa wabah ini hadir akibat gangguan dari roh atau hantu penunggu tempat sakral di suatu tempat yang merasa terganggu. Dengan begitu, perlu dilakukan semacam ritual adat dan mengunjungi tempat-tempat suci, lengkap dengan sesajinya.
Upacara perarakan pusaka ini terakhir dilakukan pada tahun 1943 saat wabah pes melanda Yogyakarta. Pasca kemerdekaan Indonesia, belum pernah ada lagi pengarakan pusaka Kyai Tunggul Wulung. Seiring berkembangnya teknologi kedokteran dan pola pikir masyarakat, ketika penyakit menyerang, dokter adalah pilihan pertama, sehingga wabah cepat teratasi. Dengan demikian, pengarakan pusaka untuk mengusir pageblug menjadi bagian dari tradisi kraton saja. Pusaka Kanjeng Kyai Tunggul Wulung sampai sekarang masih tersimpan di Gedhong Inggil Kraton Yogyakarta, tepat di sebelah timur Masjid Panepen.
Referensi
M.C Ricklefs, 2007, Polarising Javanese Society: Islamic and Other Visions, C. 1830-1930, Singapore: National University of Singapore Press.
M.C Ricklefs, 2013, Mengislamkan Jawa, Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta.
Djoko Dwiyanto (ed.), 2009, Ensiklopedi Kraton Yogyakarta, Dinas Kebudayaan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.
Priyanto Wibowo dkk., Yang Terlupakan: Pandemi Influenza 1918 di Hindia Belanda, Kerjasama Departemen Sejarah FIB UI – UNICEF Jakarta – KOMNAS FBPI, 2009.
Dinas Kebudayaan Daerah Istimewa Yogyakarta, “Upacara Wiyosan Kanjeng Kiai Tunggul Wulung”, 04 Maret 2014, https://budaya.jogjaprov.go.id/artikel/detail/297-upacara-wiyosan-kanjeng-kiai-tunggul-wulung. Diakses pada 30 Maret 2020 pukul 15.09 WIB.