“Sekolah” Asli Jawa  Sebelum Sekolah ala Barat (#2): Pesantren

“Sekolah” Asli Jawa Sebelum Sekolah ala Barat (#2): Pesantren

Ketika Islam berkembang di Jawa,  menurut  Adabi Darban dalam Fragmenta Sejarah Islam di Indonesia (2008), gerakan dakwah tidak begitu saja menghapus model pendidikan padepokan. Alih-alih yang terjadi adalah modifikasinya sesuai dengan kaidah Islam. Padepokan lantas berganti nama menjadi pesantren, tempat Kyai atau Nyai sebagai gurunya dan santri sebagai siswanya. Konsep pesantren juga mirip dengan wihara, dimana para siswanya tinggal bersama dan belajar di bawah bimbingan guru, serta memiliki asrama (pondok) untuk tempat menginap. Bahkan sejak abad XV di Jawa, pendidikan pesantren dipercaya sebagai alat penyebaran Islam oleh walisanga.

Salah satu cerita yang agaknya menjadi contoh pola peralihan dari model padepokan ala Hindu-Buddha kepada model pesantren kurang lebih bisa diraba dari sekuen Babad Tanah Jawa tentang masa muda Mas Karebet alias Jaka Tingkir, sosok Maharaja Pajang nantinya pada medio abad XVII. Sebagai bentuk menuruti permintaan ibu tirinya supaya meninggalkan kebiasaam menepi di hutan dan gunung, Karebet lantas berguru kepada sejumlah tokoh Muslim di berbagai daerah di Jawa Tengah. Daftarnya di dalam Babad Tanah Jawa meliputi Ki Ageng Sela, Ki Ageng Butuh, Ki Ageng Ngerang, serta Ki Buyut Banyu Biru.

Cerita lain yang dikenal dalam masyarakat Jawa dan dapat dipakai meraba pesantren pada fase awal ialah kisah tentang Sunan Tembayat. Ia sebelumnya bernama Ki Ageng Pandanaran, bupati di Semarang yang kemudian sebagai hasil pertemuannya dengan Sunan Kalijaga lantas meninggalkan jabatannya dan berguru kepada sang wali legendaris tersebut. D.A. Rinkers dalam De Heiligen van Java  (1910) mengatakan bahwa sang bekas Ki Ageng Pandanaran kemudian diamanahi Sunan Kalijaga pergi ke ‘Tembayat’ untuk melakukan dakwah atau syiar Islam. Demi mematuhi perintah gurunya, Ki Ageng Pandanaran menetap di Tembayat, Klaten; sebuah daerah perbukitan yang tandus dan miskin selama ± 10 tahun. Menurut H.J.De Graaf dan Th. G. Pigeud dalam De Earte Moslime Vorstendommen of Java (1974), kepatuhan dan kemampuan dakwah Ki Ageng Pandanaran Tembayat, kemudian membuat Sunan Kalijaga  memberinya nama kehormatan ‘Sunan Tembayat’. Sebagaimana wali lokal atau ulama, Sunan Tembayat menempa ilmu agama dan mengajarkannya di masjid, pesantren, dan madrasah pada masa itu. Hal ini dikonfirmasi Babad Bayat dalam  Laporan Penelitian Fakultas Sastra dan Kebudayaan UGM (1974) yang mengatakan bahwa dari naskah Babad Bayat memuat contoh pusat-pusat kehidupan kesastraan mandala masih ditemukan dalam pusat kehidupan kesastraan pondok pesantren.

Ketika Mataram Islam telah mantap dan penduduk Muslim kian membiak di Jawa, dinamika kehidupan pengajaran di pesantren dapat dilihat dari keberadaan Pondok Pesantre Jamsaren yang  berlokasi di Serengan Solo. Pesantren ini boleh dibilang adalah salah satu yang tertua di Jawa. Pertama berdiri sekitar adalah pada  1750. Semula, pesantren ini didirikan hanya berupa surau kecil. Susuhunan Pakubuwono IV yang memerintah Surakarta pada peralihan abad XVIII ke XIX lantas berbaik hati mendatangkan beberapa ulama, diantaranya Kyai Jamsari dari Banyumas. Kiprah Kyai Jamsari ini kemudian diabadikan menjadi nama pesantren, yaitu ‘Jamsaren.’ Konon pesantren ini vakum karena terjadinya operasi tentara Belanda pasca Perang Diponegoro (1825-1830). Pada saat itu para kyai dan santri yang membantu Pangeran Diponegoro, termasuk Kyai Jamsari II.

Pasca 50  tahun vakum, seorang kyai alim dari Klaten, yaitu KH Idris membangun kembali surau di atas. Beliau juga memperluas surau dari kondisi semula sehingga di masa KH Idris Pesantren Jamsaren mencapai puncak kejayaannya. K.H. Saiffudin Zuhri dalam Berangkat dari Pesantren (2013) mengatakan bahwa pesantren Jamsaren pada masa itu termasuk lambang “Islam Modern” dan sebagian besar santrinya dimasyhurkan mewakili golongan “Reformis Islam”. Bahkan kesalehan KH Idris membuatnya diamanahi mengelola Madrasah Mamba’ul Ulum yang didirikan Kraton Surakarta. Djohan Effendi dalam Pembaruan tanpa Membongkar Tradisi (2010) mengatakan bahwa madrasah ini melahirkan sejumlah tokoh pergerakan nasional, seperti K.H. Madjid,  K.H. Ahmad Dasoeki dan KH Moh. Misbach. Bahkan ada beberapa santri dari Asia Tenggara yang datang dan belajar ke Pesantren Jamsaren, hingga akhirnya KH Idris tidak hanya dikenal sebagai kyai alim tetapi Mursyid Thariqah Naqsyabandiyah.

Kyai Modjo, penasehat spiritual sekaligus sekutu Pangeran Diponegoro, adalah salah satu tokoh memiliki kaitan dengan perkembangan pesantren di Jawa Tengah Selayam. Ahmad Rajafi dalam Khasanah Islam, Perjumpaan Kajian dengan Ilmu Sosial (2018) menjelaskan karir Kyai Modjo mempelajari agama Islam dengan berguru kepada Kyai Syarifudin di Gading Santren Klaten. Setelah dewasa, ia berguru pada Kyai di Ponorogo. Disinilah Kyai Modjo mendapatkan pengajaran tentang ilmu kanuragan. Sejak saat itulah beliau terkenal atas kesaktiannya, di samping terkenal akan pendidikan agama dan pesantrennya  (bahasa Arab, hafalan Al-Qur’an, kitab Fiqh, ilmu aqidah, tasawuf). Oleh karena itu, beliau termasuk salah seorang kepercayaan Susuhunan Pakubuwana VI. Sepeninggal ayahnya, Kyai Modjo melanjutkan tugas ayahnya sebagai guru agama di Pesantren Modjo. Di pesantren inilah, banyak putra dan putri Kasunanan Surakarta belajar.

Sebagaimana penjabaran di atas, pesantren memang menjadi model pendidikan karakter, terutama melalui pendidikan ‘dakwah’. Pendidikan ini  menerima semua siswa dari semua kalangan dan segala umur, bahkan lokasi pendiriannya biasanya disesuaikan agar misi dakwah tepat sasaran sehingga tidak terjadi benturan antara nilai-nilai yang telah mengakar di masyarakat setempat. Namun, ketika model pendidikan Barat muncul melalui pendirian sekolah-sekolah model Barat era  ‘Politik Etis’ (abad XX), pesantren terus mengawal pendidikan karakter anak bangsa melalui pendirian sekolah-sekolah madrasah yang juga mempelajari mata pelajaran umum, disamping pengajaran kitab-kitab Islam klasik. Sekolah-sekolah madrasah memiliki jenjang pendidikan dini (Raudlatul Athfal/RA), dasar (Madrasah Ibtidaiyah/MI), menengah (Madrasah Tsanawiyah/MTs), dan atas (Madrasah Aliyah/MA) sebagaimana model sekolah umum pada abad XX. Mujamil Qomar (2007) mengatakan meski berbentuk sekolah, tiga fokus pesantren tetap dijalankan dari dulu hingga sekarang. Pertama, pesantren fokus berjuang melawan agama/kepercayaan banyak tuhan dan tahayul dengan  membawa misi agama tauhid. Kedua, pesantren hadir melawan perbuatan maksiat seperti perkelahian, perampokan, pelacuran, perjudian, dan sebagainya  dengan membawa ajaran yang ramah. Ketiga, pesantren muncul melawan penyerangan penguasa yang merasa tersaingi kewibawaannya dengan membawa misi penyamaan status di hadapan tuhan. Bahkan ketika masa kolonialisme Belanda, pesantren selalu hadir menjadi antitesis terhadap gerakan kristenisasi. Kini pesantren hadir sebagai suatu  model pendidikan lokal Indonesia yang diwariskan turun temurun guna mendukung perkembangan dan kemajuan dunia Islam.

DAFTAR PUSTAKA

  • Darban, Adabi. 2008. Fragmenta Sejarah Islam di Indonesia. The University of Michigan: JP Books.
  • De Graaf, H.J. dan Th. G. Pigeud. 1974. De Earte Moslime Vorstendommen of Java.
  • Effendi, Djohan. 2010. Pembaruan tanpa Membongkar Tradisi: Wacana Keagamaan Di Kalangan Generasi Muda NU masa kepemimpinan Gus Dur. Penerbit Buku Kompas.
  • Hendrowinoto, Nurinwa Ki S. 2004. Ibu Indonesia dalam Kenangan. The University of Michigan: Bank Naskah Gramedia bekerja sama dengan Yayasan Biografi Indonesia.
  • Mardiyanto. 2006. Umbul Tlatar: Sumber Air Tidak Pernah Kering. Pusat Bahasa, Departemen Pendidikan Nasional.
  • Olthof, W.L. 2014. Babad Tanah Jawi. Yogyakarta: Penerbit Narasi
  • Rajafi, Ahmad. 2018. Khasanah Islam, Perjumpaan Kajian dengan Ilmu Sosial. Yogyakarta: Deepublish
  • Rinkers, D.A. 1910. De Heiligen van Java . TBG.\
  • Qomar, Mujamil. 2007. Pesantren : dari transformasi metodologi menuju demikratisasi institusi. Jakarta: Penerbit Erlangga
  • Zein, Abdul Baqir. 1999. Masjid-masjjid bersejarah di Indonesia. Gema Insani.
  • Zuhri, K.H. Saiffudin. 2013. Berangkat dari Pesantren. Lkis Pelangi Aksara.