Medium sized JPEG (5)

Aturan tentang Lingkungan dalam Masyarakat Jawa Kuna (bagian 1)

“Terutama ladang dan sawah segala tanam-tanaman, agar tetap subur, peliharalah,”

Sabda dari Bhre Wengker, Wijayarajasa, dalam suatu perayaan besar bulan Caitra pada era Maharaja Hayam Wuruk

(pupuh LXXXVIII kitab Desawarnana/Nagarakretagama)

 

Kata-kata yang dikutip di awal tadi tepatnya merupakan bagian amanat Wijayarasa, satu di antara enam orang paling berkuasa di Kemaharajaan Majapahit pada medio abad XIV, di hadapan para pejabat segala lapisan pemerintahan dari seantero negeri. Kala itu, Maharaja Hayam Wuruk baru saja membuka ladang Watsari, sementara Bhre Singasari membuka ladang di Sagala, lalu Wijayarasa sendiri selaku Bhre Wengker membuka hutan Surabana, Pasuruan, dan Pajang. Dalam amanatnya, Wijayarajasa menekankan pentingnya ikhtiar berikut tindakan serius untuk memajukan kesejahteraan segenap masyarakat desa, tetapi dengan tidak melupakan pemeliharaan terhadap lingkungan sekitarnya.

Sepenggal kisah kuno tadi berhasil sampai ke kita sekarang berkat pencatatan seorang mantan kepala urusan agama Buddha bernama Dang Acarya Nadendra, tapi menyebut dirinya sebagai Prapanca kala menulis susastra. Dari sepenggal kisah kuno tadi terasa adanya suatu visi penghormatan terhadap lingkungan di kalangan penguasa zaman Jawa Kuna kan? Untuk tulisan ini sendiri, Desawarnana alias Nagarakretagama yang dirujuk adalah versi saduran oleh Slamet Muljana dalam buku Tafsir Sejarah Nagarakretagama,juga versi saduran oleh Mien Ahmad Rifai dalam buku Desawarnana: Saduran Kakawin Nagarakertagama untuk Bacaan Remaja.

Balik menyoal tentang perhatian penguasa zaman Jawa pada abad-abad silam terhadap lingkungan, mereka nyatanya memang juga berurusan dengan problem-problem seperti kebakaran hutan, penebangan liar, pembukaan lahan, dan perburuan satwa secara liar. Kurang lebih mirip juga dengan masyarakat saat ini. Kerajaan-kemaharajaan kala itu telah membentuk organisasi, aturan, hingga menjatuhkan pidana bagi pelaku perusakan lingkungan. Lebih kurang sebagaimana upaya pemerintah modern saat ini. Bukti-bukti mengenai upaya perlindungan alam yang dilakukan oleh masyarakat Jawa Kuno ini bisa kita peroleh dari beberapa bukti arkeologis seperti prasasti dan naskah kuno.

Prasasti Polegan III/Jurungan (876 M) contohnya menyebutkan adanya satu jabatan bernama tuha alas. Tuha berarti tuan, atau pejabat, atau pengurus; alas artinya hutan. Jadi, tuha alas adalah pejabat yang bertugas menjaga hutan, termasuk mengurus hasil perburuan di hutan dan mungkin juga mengurusi hasil hutan yang lain. Tentu saja, jabatan ini hanya ada di desa-desa yang memiliki wilayah hutan. Boechari dalam bukunya Melacak Sejarah Kuno Indonesia Lewat Prasasti (2012) menuliskan bahwa tuha alas adalah siatu jabatan yang sering disebutkan dalam berbagai prasasti. Varian penyebutannya meliputi tuhalas, juru alas, serta pasak alas. Selain prasasti Polegan III, setidaknya ada prasasti Waharu I (873 M), Mulak I (878 M), Kwak I (879 M), Salimar III/Papringan (880 M), dan Kubu Kubu (905 M) yang juga menyebutkan jabatan tadi.

Urusan menjaga hutan mencakup pencegahan pembabatan hutan secara liar untuk tujuan pembukaan lahan. Untuk bisa membuka lahan hutan harus seizin penguasa, pun disertai tujuan dan alasan tepat sekaligus bermanfaat bagi orang banyak, contohnya adalah menjadi lahan persawahan maupun permukiman penduduk. Kisah semacam ini dapat ditemukan dalam prasasti Kaladi (909 M). Tercantum di sana, Dapunta Suddhara dan Dapunta Dampi memohon izin kepada Maharaja Balitung untuk membuka hutan araņan yang memisahkan desa-desa di Bawang untuk menjadi sawah. Hal ini dikarenakan warga, khususnya para pedagang dan penangkap ikan, ketika melintasi hutan-hutan tersebut sering mendapatkan serangan dan mengalami aksi perbanditan yang meresahkan dari penduduk Mariwuṅ.

Habitat yang tinggal di dalam hutan juga turut dilindungi. Lewat prasasti Polegan IV/Haliwangbang (877 M) disebutkan bahwa ada jabatan tuha buru atau tuwa buru, yaitu petugas pengawas perburuan di hutan termasuk izin dan ‘pajak’-nya. Diduga ada semacam undang-undang perburuan binatang di hutan, sehingga dibentuk jabatan khusus tuha buru.

Tidak hanya binatang buruan, tetapi beberapa pohon dan tanaman juga tidak bisa sembarangan ditebang. Seperti dalam prasasti Kusambyan yang telah dialihbahasakan oleh Titi S. Nastiti dalam jurnal berjudul Prasasti Kusambyan: Identifikasi Lokasi Maḍaṇḍĕr dan Kusambyan, menyebutkan bahwa Sri Maharaja (Airlangga) memberikan larangan penebangan beberapa jenis pohon, seperti kayu, bambu, bambu petung, bambu ampel, dan lain-lain. Pelarangan ini diduga karena beberapa jenis kayu dan bambu yang ada di wilayah itu termasuk jenis tanaman ‘larangan’.

Bukti ini diperkuat lewat prasasti Katiden I (1392 M) yang menceritakan tentang izin khusus oleh raja bagi penduduk Katiden untuk memburu binatang, terutama yang memakan tanaman larangan yang tumbuh di seluruh bumi Katiden. Adanya jabatan khusus seperti tuha buru dan larangan penebangan liar menunjukkan bahwa pemanfaatan hasil hutan memang telah diatur di masa lampau, harus dengan seizin raja, atau dengan kata lain tidak bisa dilakukan sembarangan. (BERSAMBUNG)

 

Sumber:

Boechari. 2012. Melacak Sejarah Kuno Indonesia Lewat Prasasti. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.

Boechari, M. 1985/1986. Prasasti Koleksi Museum Nasional, volume 1. Jakarta: Proyek Pengembangan Museum Nasional.

Muljana, Slamet. 1967. Perundang-undangan Majapahit. Jakarta : Bhratara.

Muljana, Slamet. 2006. Tafsir Sejarah Nagarakretagama. Yogyakarta: LKiS Yogyakarta.

Nastiti, Titi S. 2014. Prasasti Kusambyan: Identifikasi Lokasi Maḍaṇḍĕr dan Kusambyan. Amerta, Jurnal Penelitian Dan Pengembangan Arkeologi, 69–79.

Peters, Jan Hendrik & Wisnu Wardana. 2013. Tri Hita Karana: The Spirit of Bali. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.

Susantio, Djulianto. “Prasasti Kuno tentang Lingkungan”. Majalah Arkeologi Indonesia. https://hurahura.wordpress.com/2010/03/20/prasasti-kuno-tentang-lingkungan/. Diakses pada tanggal 5 Desember 2019 pukul 11.16 WIB.

Restu. 2018. Prasasti-Prasasti di Jawa. Yogyakarta: Divisi Riset Ullen Sentalu.