BQy9xJtCcAAvt5w 2

Aturan tentang Lingkungan dalam Masyarakat Jawa Kuna (bagian 2)

“…Karena mereka menjaga hutan alang-alang di Gunung Lejar, maka mereka haruslah dibebaskan dari pajak apa pun… ”

Titah resmi Bhatara Hyang Wisesa, Wikramawarddhana, untuk masyarakat Desa Katiden sebagaimana tercantum dalam Prasasti Katiden II (1395 M)

 

Sebagaimana dapat dibaca dari nukilan Prasasti Katiden II yang diterbitkan pada tujuh abad silam, penduduk Desa Katiden dianugerahi hak istimewa oleh penguasa pusat Majapahit. Penduduk dari desa yang kini termasuk bagian daerah Malang tersebut beroleh anugerah demikian tadi karena dipandang mampu menjaga kelestarian lingkungan di Gunung Lejar, khususnya hutan alang-alang di sana. Mereka menghindarkannya dari kebakaran, baik itu yang berpenyebab perilaku sengaja maupun tidak sengaja oleh manusia, atau juga yang berpenyebab alami berupa cuaca kering musim kemarau. Dengan begitu, penduduk Katiden tentunya mengembangkan perilaku pemanfaaatan hutan menurut kaidah yang menjunjung pelestarian: tidak melakukan perambahan dengan teknik pembakaran, tidak pula melakukan penebangan liar.

Bagian terpenting dari anugerah hak istimewa untuk penduduk Katiden adalah pembebasan dari berbagai macam pajak. Selain itu, mereka diizinkan pula memungut hasil hutan serta hasil pantai seperti telur penyu.

Memang tidak dituliskan dalam prasasti tentang cara penduduk Katiden mencegah kebakaran. Namun, catatan sejarah dari prasasti ini menunjukkan bahwa pemerintahan saat itu terbilang sudah melakukan upaya antisipasi dalam mengatasi kebakaran hutan.

Pencegahan kerusakan alam semasa Jawa Kuna dilakukan lewat beberapa cara. Salah satunya adalah pengendalian pencemaran air akibat limbah logam. Ini antara dapat diketahui dari ulasan oleh arkeolog Djulianto Susantio melalui artikel “Prasasti Kuno tentang Lingkungan” yang terbit dalam koran Sinar Harapan pada tanggal 17 November 2006. Dalam Prasasti Kancana (860 M), Telang I (903 M), dan Sangsang I (907 M) tercantum keberadaan jabatan tuha gusali (pemimpin atau pengawas para pandai besi), serta para pande (pengrajin logam). Dalam prasasti-prasasti tersebut tadi sedikit dipaparkan bahwa apabila pengrajin logam melakukan pencemaran akibat hasil limbah produksinya, maka mereka akan dikenakan denda terhitung tiap ububan-nya (pompa angin).

Ada juga kegiatan penghijauan yang dilakukan bersamaan dengan acara atau kegiatan dengan tujuan tertentu. Satu contohnya bisa ditemukan dalam Kisah Calon Arang, tentang janda berprofesi penyihir atau juru tenung dari Desa Girah, yang latar waktu dan tempatnya disebutkan pada medio abad XI, semasa pemerintahan Maharaja Airlangga. Di sana, digambarkan tentang tokoh Mpu Bharada yang memberi perintah kepada muridnya untuk menanam pohon angsoka, nagasari, melati, gambir, kembang sepatu, dan pacar Cina di sekitar pertapaan. Naskah lontar Serat Calon Arang sendiri yang ada di Perpustakaan KITLV van Ned. Indies di Leiden, Belanda bertarikh 1540. Alih bahasa ke bahasa Belanda dikerjakan oleh Prof. Dr. Poerbatjaraka, sedangkan penerjemahan ke dalam bahasa Indonesia oleh Dr. Soewito Santoso. Contoh lain kegiatan semacam penghijauan dapat dilihat dalam Prasasti Lusem (1012 M). Di sana dituliskan bahwa batas patok jalan diluruskan memanfaatkan penanaman pohon beringin oleh Samgat Lucem Pu Ghek Sang Apanji Tepet.

Di samping itu, kitab perundang-undangan Kutara Manawa alias Agama yang diberlakukan Kemaharajaan Majapahit memuat aturan-aturan kewajiban menjaga lingkungan berikut pidananya. Contoh pasal yang mengatur tentang lingkungan antara lain hukuman bagi pembabat alas secara liar. Slamet Muljana dalam karyanya yang berjudul Perundang-undangan Majapahit menyusun ulang dan memaparkan kitab hukum era Majapahit tadi menjadi 20 bab. Pada bab V pasal 92 dituliskan larangan menebang pohon sembarangan, terkecuali telah mendapat izin pemiliknya. Bagi pelanggar akan didenda untuk membayar uang sebesar 4 tali. Bahkan jika pelanggaran dilakukan di malam hari, maka pelanggar bisa dijatuhi pidana mati. Setelah itu, pohon yang ditebang pun harus dikembalikan dua kali lipat. Hal ini juga diatur dalam bab XVI pasal 247.

Pembukaan lahan yang dijadikan sawah dan ladang pun diatur dalam bab XVIII tentang bhumi dan tanah. Pasal 259 mengatur hukuman bagi mereka yang meminta izin menggarap sawah, tetapi justru ditinggal terbengkalai, yaitu membayar utang makan sebesar hasil padi dari sawah yang dikerjakan. Pasal 260 mengatur denda lima kali lipat ditambah denda 20.000 kepada pemilik sawah yang membakar padi di ladangnya, tidak pandang besar-kecilnya. Lalu, pasal 261 mengatur tentang hukuman bagi mereka yang mengurangi penghasilan makanan, misalkan mempersempit sawah dan membiarkannya terbengkalai, atau melalaikan binatang peliharaannya. Apabila hal ini diketahui orang banyak, maka terpidana akan diperlakukan sebagai pencuri dan dikenakan pidana mati.

Lewat prasasti maupun naskah kuno di atas bisa dilihat bahwa para pemimpin saat itu sangat memperhatikan alamnya. Kesadaran masyarakat Jawa Kuno untuk menjaga lingkungan tidak bisa lepas dari filsafat agama. Kearifan lingkungan didorong oleh kepercayaan lokal yang berbaur dengan nilai-nilai Hinduisme mengajarkan tentang hubungan manusia dan alam. Prinsip Tri Hita Karana mengajarkan tentang hubungan manusia dengan Tuhan, sesamanya, dan manusia dengan alam. Manusia, binatang, tumbuhan, dan alam hidup di satu sistem dunia yang diciptakan oleh Tuhan sehingga mereka memiliki kedudukan yang sama. Jadi, manusia harus menghormati alam dan tidak boleh merusaknya.

Terlebih lagi, masyarakat tradisional yang dekat dengan hal-hal supernatural percaya bahwa alam akan memenuhi segala kebutuhan jika mereka memeliharanya serta selalu mengaturkan persembahan kepada para roh nenek moyang. Maka dari itu, alam seperti hutan, gunung, danau, dan sungai dianggap sebagai tempat yang disucikan dan patut untuk dijaga. Bukan sekedar sumber penghidupan bagi manusia yang dapat dieksploitasi secara berlebihan. Karena ketika alam rusak, maka akan mengakibatkan kerugian yang amat besar bagi manusia itu sendiri.

 

Sumber:

Boechari. 2012. Melacak Sejarah Kuno Indonesia Lewat Prasasti. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.

Boehari, M. 1985/1986. Prasasti Koleksi Museum Nasional, volume 1. Jakarta: Proyek Pengembangan Museum Nasional.

Muljana Slamet. 1967. Perundang-undangan Majapahit. Jakarta : Bhratara.

Muljana, Slamet. 2006. Tafsir Sejarah Nagarakretagama. Yogyakarta: LKiS Yogyakarta.

Nastiti, Titi S. 2014. Prasasti Kusambyan: Identifikasi Lokasi Maḍaṇḍĕr dan Kusambyan. Amerta, Jurnal Penelitian Dan Pengembangan Arkeologi, 69–79.

Peters, Jan Hendrik & Wisnu Wardana. 2013. Tri Hita Karana: The Spirit of Bali. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.

Santoso, Dr. Soewito. 2010. Calon Arang si Janda dari Girah (dari karya asli Prof. Dr. Poerbatjaraka). Jakarta: PT. Balai Pustaka.

Susantio, Djulianto. “Prasasti Kuno tentang Lingkungan”. Majalah Arkeologi Indonesia. https://hurahura.wordpress.com/2010/03/20/prasasti-kuno-tentang-lingkungan/. Diakses pada tanggal 5 Desember 2019 pukul 11.16 WIB.

Restu. 2018. Prasasti-Prasasti di Jawa. Yogyakarta: Divisi Riset Ullen Sentalu.