Narasimha

narasimhaARCA dalam gambar di samping memiliki sebutan Narasimha. Arca tersebut merupakan penggambaran Dewa Wisnu yang tengah menjelma dalam wujud setengah manusia dan setengah binatang: berbadan manusia, tetapi berkepala singa. Sang manusia berkepala singa ini digambarkan dalam pose yang terbilang dinamis serta tak formal, yaitu sedang menghimpit dan membelah dada musuh memakai kuku tangan.

Arca Narasimha mewakili pula sebuah kisah mitologi di dalam Hinduisme yakni Narasimhaavatara. Cerita tersebut berawal ketika dunia dalam keadaan terancam oleh raja raksasa bernama Hiranyakasipu. Ia sangat sakti karena sebelumnya pernah mendapat anugerah dari Dewa Brahma berupa kesaktian kebal dari segala senjata, tidak dapat dibunuh di tanah, air, maupun udara, tidak dapat dibunuh pada waktu siang maupun malam, tidak dapat dibunuh di dalam ruang maupun di luar ruangan, tidak pula dapat dibunuh oleh manusia, binatang, ataupun dewa. Dengan demikian, Hiranyakasipu seolah tak memiliki kelemahan yang bisa membuatnya terkalahkan.

Namun, Dewa Wisnu ternyata tak hilang akal ketika dihadapkan dengan kesaktian luar biasa Hiranyakasipu. Wisnu lantas mengubah wujudnya menjadi Narasimha, si makhluk setengah manusia dan setengah binatang, yang berbadan manusia serta berkepala singa. Akhirnya, Wisnu berhasil membunuh raja Hiranyakasipu dengan menghimpit dan membelah dadanya memakai kuku tangan, pada saat sore hari, di ambang sebuah pintu. Pemilihan wujud, tindakan menghimpit, penggunaan kuku tangan, pemilihan tempat, juga pemilihan waktu oleh Wisnu dalam upayanya menaklukkan Hiranyakasipu adalah kecerdikan memanfaatkan kelemahan dari kesaktian si raja raksasa.

Konon, cerita Narasimhaavatara menjadi embrio dari kepercayaan tradisional di kalangan masyarakat Jawa untuk menghindari duduk maupun berdiri di ambang pintu, lebih lagi di sore hari. Hal tersebut dipandang dapat menimbulkan kesialan, sebagaimana Hiranyakasipu yang terkalahkan oleh Wisnu di ambang pintu pada sore hari.

Arca Narasimha terhitung arca langka. Di seputaran daerah Yogyakarta, arca Narasimha tercatat cuma ditemukan di kompleks Candi Ijo, yang terletak di sebelah selatan Percandian Prambanan. Arca tersebut memiliki ukuran tinggi 86 centimeter, lebar 39 centimeter, serta tebal 25,5 centimeter. Karena langka, arca asli Narasimha hasil penemuan di Candi Ijo tersimpan di Kantor Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Yogyakarta. Lalu, untuk kepentingan edukasi bagi masyarakat umum, BPCB membuat replika resmi yang kini dipajang di Selasar Retja Landa Museum Ullen Sentalu.
Vaisnawa
Candi Ijo yang menjadi lokasi penemuan arca Narasimha diperkirakan merupakan hasil pembangunan dari sekitar abad VIII-X Masehi, yaitu masa eksistensi Kerajaan Mataram Kuno di Jawa Tengah. Usia Candi Ijo kurang lebih sepantaran dengan Percandian Prambanan. Candi Ijo memiliki latarbelakang keagamaan Hindu dengan aliran Siwaisme. Hal tersebut dapat diketahui dari ciri-ciri fisik bangunannya, contohnya dari jenis arca yang ada dalam candi dan tata letak candi. Dewa yang sangat dipuja di Candi Ijo adalah dewa Siwa, yang diarcakan dalam candi dengan wujud lingga-yoni sebagai lambang bersatunya Dewa Siwa dengan Parwati, istrinya. Di Candi Ijo juga ditemukan arca-arca penting Hindu lainnya yakni Agastya, Ganesha, serta Durga. Arca-arca tersebut saat ini disimpan di Kantor Balai Pelestarian Cagar Budaya Yogyakarta.

Alhasil, penemuan arca Narasimha, yang kental bernuansa pemujaan terhadap Wisnu, di kompleks Candi Ijo, yang notabene kental dengan nuansa pemujaan terhadap Siwa, adalah sesuatu yang terbilang menarik. Tafsir yang muncul adalah agama Hindu aliran Vaisnawa alias pemujaan terhadap Wisnu dapat berkembang pada masa kejayaan Mataram Kuno, berdampingan dengan perkembangan aliran Siwaisme alias pemujaan terhadap Siwa.

Vaisnawa adalah aliran yang mempercayai Dewa Wisnu selaku dewa tertinggi. Dewa tersebut sangat dipuja dan diarcakan baik dalam wujud asli maupun penjelmaannya. Selain dalam versi Narasimha yang berkepala singa dan berbadan manusia, arca Dewa Wisnu umumnya dapat dikenali dalam wujud dewa bermahkota dan bertangan empat. Beberapa laksana atau atribut menghiasi masing-masing dari empat tangan itu:

  1. Tangan kanan bawah memegang padma yakni bunga teratai merah, yang biasanya dipahatkan dengan bentuk mekar.
  2. Tangan kanan atas memegang senjata gada.
  3. Tangan kiri bawah memegang senjata cakra yang secara umum berbentuk seperti roda kereta, ada yang bentuknya sederhana, tetapi ada yang diberi hiasan penuh, diantaranya diberi hiasan teratai mekar.
  4. Tangan kiri atas memegang sankha yakni semacam alat musik yang terbuat dari cangkang binatang Gastropoda atau siput.

(Yoseph Kelik/Periset di Museum  Ullen Sentalu)