Permainan Anak di Kraton Surakarta Abad XIX-XX

Permainan Anak di Kraton Surakarta Abad XIX-XX

“Permainan adalah asal usul dari kebudayaan” – Johan Huizinga,
penulis buku Homo Ludens.

Di dalam keputren, yaitu tempat tinggal para putri di kraton, anak-anak berkumpul dan bermain bersama. Tidak hanya para putri raja, putra raja yang belum akil baliq juga tinggal di sini. Di sudut area kraton ini sering dipenuhi dengan gelak tawa mereka yang asyik bermain. Hampir sebagian besar permainan anak di kraton identik dengan permainan yang berasal dari luar kraton, yaitu permainan anak di kalangan masyarakat pedesaan.

Permainan rakyat ini bisa masuk ke dalam tembok kraton berkat kehadiran mereka yang tinggal di dalam kraton karena bekerja atau menjadi bagian keluarga raja seperti priyantun dalem (selir raja) dan abdi dalem (pegawai kerajaan). Interaksi antara putri-putri bangsawan dengan para abdi dalem wanita di keputren membuat lingkup kraton menjadi lebih akrab dengan dongeng dan permainan rakyat. Hal ini menggambarkan bahwa kehidupan di dalam kraton raja tidak selalu terkesan kaku dan terikat dengan segala pakem adatnya.

Darsiti Soeratman dalam bukunya Kehidupan Kraton Surakarta 1830-1939 menyebutkan ada 2 macam tradisi di kraton, yaitu tradisi besar dan tradisi kecil. Tradisi besar adalah kebudayaan yang berasal dari dalam kraton dan disebarkan keluar lingkup tembok kraton, contohnya bahasa, seni tari, seni berbusana, dan lain sebagainya. Sementara, tradisi kecil adalah kebudayaan yang tercipta di masyarakat dan bisa masuk ke dalam tembok kraton. Salah satu contohnya adalah permainan rakyat yang menjadi kegemaran putra-putri raja.

Permainan anak seperti apa sajakah yang dimainkan di kraton? Berdasarkan hasil wawancara dengan R.Ay Mangkuprojo oleh Darsiti Soeratman pada 5 Januari 1988 di Surakarta, beberapa permainan rakyat yang populer di dalam kraton Surakarta adalah sumbar, gatheng, dhakon, dhambul, cirak, pak-pakan, dan sakiyah. Selain itu, terdapat permainan seperti bancen, kendhi garit, gobak sodor, dan gobak bunder. Ada juga permainan yang disertai nyanyian dan tarian seperti cempa rowa, gula ganthi, cublak-cublak suweng, ancak-ancak alis, dan jaranan.

Dari penamaan dan istilah di dalam permainan-permainan di atas, bisa diketahui bahwa permainan anak ini berasal dari pedesaan, terutama yang kulturnya sangat lekat dengan masyarakat pertanian. Misalkan istilah dalam permainan dakon, ada kata “lumbung” untuk menyebut dua lubang besar di ujung papan permainan dakon. Meskipun demikian, AJ Resink-Wilkens dalam Het Dakonspel (Permainan Dakon) yang ditulis dalam artikel Historia berjudul Jejak Permainan Congklak, menyebutkan bahwa permainan dakon juga biasa dimainkan oleh anak-anak perempuan dari kalangan bangsawan. Hal ini menunjukkan bahwa budaya rakyat bisa masuk ke dalam lingkungan kraton.

Darsiti Soeratman menyebutkan permainan anak lainnya di kraton yaitu Ni Thowok atau Ni Thowong yang bernuansa magis. Dimainkan saat bulan purnama dengan boneka dari bahan tempurung kelapa, berbadan anyaman bambu, dan diberi pakaian menyerupai pengantin perempuan. Pada awalnya, permainan Ni Thowok merupakan ritual bernilai magis untuk tujuan tertentu seperti memanggil hujan dan pengobatan. Kultur masyarakat Jawa saat itu yang masih memuja roh leluhur membuat mereka percaya boneka Ni Thowok akan dirasuki oleh roh. Di tengah permainan, boneka akan bergerak seiring dengan iringan mantra dan tembang yang dilantunkan para pemain.

Menurut tulisan G.A.J Hazeu yang dikutip oleh Darsiti Soeratman, Ratu Timur, yaitu putri Paku Buwana VI bertahta pada 1823-1830, sangat gemar menyelenggarakan permainan Ni Thowok. Setelah Ratu Timur wafat, permainan ini sempat jarang dimainkan di dalam kraton. Namun, kembali populer di era pemerintahan Paku Buwana X (1893-1939). Putri permaisuri Ratu Mas yaitu Ratu Pembayun, sangat menyukai permainan ini sehingga kembali masuk di keputren di kraton Surakarta. Tentunya, permainan rakyat yang masuk kraton dibuat menjadi lebih mewah. Contohnya, boneka Ni Thowok didandani dengan pakaian lengkap berupa kain batik tulis dengan riasannya. Lalu, iringan lagu pada permainan yang biasanya menggunakan alat musik seadanya diganti dengan instrumen gamelan.

Sesuai nama permainannya, Ni Thowok lebih identik sebagai permainan anak perempuan. Maka dari itu, peserta permainan biasanya adalah para putri raja, gadis kerabat raja, abdi bedhaya, abdi dalem estri dan para nyai. Mereka saling berbaur menikmati permainan rakyat ini, sehingga mengurangi jarak antara para bangsawan tinggi dan rendah. Kebersamaan mereka semakin erat ketika boneka Ni Thowok mulai melonjak-lonjak dan mengejar pemain sehingga halaman keputren di kraton penuh dengan gelak tawa.

Esensi dari permainan anak di Jawa era kerajaan adalah nilai sosial dan kebersamaan karena mereka saling berinteraksi saat bermain. Hal inilah yang semakin sulit didapatkan oleh anak-anak di masa sekarang. Kehadiran gawai yang semakin canggih menciptakan permainan baru bagi mereka yaitu games. Games tentu mengasyikkan, tapi membatasi anak-anak untuk berinteraksi secara langsung dengan lawan bermainnya. Mereka tidak lagi dekat dengan alam dan lingkungan tempat mereka tinggal. Hal terburuk adalah games mungkin bisa membentuk kultur baru di masyarakat yang individualis dan anti-sosial. Bahkan, terciptanya penyakit baru yaitu kecanduan gawai, kurangnya rasa hormat terhadap orang lain, dan dunia seolah ada di tangan mereka.

Keterangan Foto: Ilustrasi Permainan Ni Thowok
(Gambar diambil dari buku Ilir-Ilir – Ilustrasi Tembang Dolanan)

Sumber:

  • Hermanu, 2012, Ilir-Ilir – Ilustrasi Tembang Dolanan, Yogyakarta: Bentara Budaya Yogyakarta.
  • Suratman, Darsiti, 1989, Kehidupan Dunia Kraton Surakarta 1830-1939, Yogyakarta: Penerbit Tamansiswa Yogyakarta.
  • Yudi Anugrah Nugroho, “Jejak Permainan Congklak”, Historia, https://historia.id/kultur/articles/jejak-permainan-congklak-PMje6. Diakses pada 21 November 2019 pukul 08.49 WIB.