Sabtu Sore bersama Lydia Kieven

panji_artikel_kecil

Biasanya, pengunjung memasuki Museum Ullen Sentalu melalui gerbang depan kemudian dipandu oleh educator tour. Namun pada Sabtu, 5 September 2015, para pengunjung yang masuk melalui gerbang belakang  diarahkan ke Pelataran Gandawyuha. Mereka adalah peserta acara ‘Sabtu Sore bersama Lydia Kieven’, seminar yang diadakan atas inisiasi Kepala Museum Ullen Sentalu, Bapak Daniel Haryono.

Continue reading

Prajurit WIRABRAJA

Nama Wirabraja berasal dari kata wira berarti ‘berani’ dan braja berarti ‘tajam’, kedua kata itu berasal dari bahasa Sansekerta.Secara filosofis Wirabraja bermakna suatu prajurit yang sangat berani dalam melawan musuh dan tajam seta peka panca inderanya.Dalam setiap keadaan ia akan selalu peka. Dalam membela kebenaran ia akan pantang menyerah, pantang mundur sebelum musuh dapat dikalahkan. Dengan nama yang arkais dari bahasa Sansekerta secara filosofis diharapkan agar kandingan maknanya mempunyai daya magis yang memberi jiwa kepada seluruh anggota pasukan ini.

Continue reading

Pola Garis dalam Batik Kraton Yogyakarta

Di Kraton Yogyakarta, Sultan Hamengku Buwana I pada tahun 1785 mencanangkan pola parang rusak  (gambar 1) sebagai pola yang diakui sebagai milik kraton yang hanya boleh dipakai oleh raja,bangsawan, dan pejabat kerajaan. Disamping juga motif-motif semen dengan sawat, lar cemengkiran, dan udan liris. Dengan demikian tampak betapa batik dipergunakan oleh golongan atas merupakan simbol status sosial dalam sebuah kehidupan masyarakat.

Continue reading

Lambang Kraton Yogyakarta

Lambang Kraton Yogyakarta semula bentuk mahkota kerajaan Belanda banyak mempengaruhi unsur hias dalam kraton Yogyakarta dan Surakarta, termasuk diantaranya untuk mahkota raja. Sampai pemerintahan Sri Sultan Hamengkubuwana VII lambang mahkita tersebut masih banyak diterapkan sebagai unsur hias(lihat ilustrasi 1 Lambang HB VII di perabot tandu Kraton)Selain unsur mahkota yang tampak sangat presisi, munculnya binatang singa di kiri dan kanan mahkota menunjukkan getaran estetik yang bernuansa Eropa sangatlah kental. Jika dibandingkan dengan lambang Kerajaan Belanda , lambang yang dipakai Sri Sultan Hamengku Buwana VII memiliki kemiripan (lihat ilustrasi 2 Lambang Kerajaan Belanda).Pada Sri Sultan Hamengku Buwono VII bentuk itupun masih tertera di atas bingkai gambar yang berukuran besar,terbukti seoeti yang terdapat di Bangsal Manis.

Continue reading

Vorstenlanden

Apa Itu Vorstenlanden?

VORSTENLANDEN  merupakan satu istilah yang dipakai pada sejarah jawa untuk menyebut daerah-daerah yang berada di bawah otoritas empat monarki asli Jawa pecahan Dinasti Mataram Islam: Kasunanan Surakarta, Kasultanan Yogyakarta, Kadipaten Mangkunegaran, serta Kadipaten Pakualaman. Daerah-daerah yang termasuk Vorstenlanden tersebut ada di pedalaman Jawa. Awalnya, Vorstenlanden membentang di sepanjang sisi selatan mulai dari sekitar Gunung Slamet di  Jawa Tengah sampai dengan sekitar Gunung Kelud di Jawa Timur. Kondisi demikian  berlangsung  75 tahun, yakni antara 1755 sampai dengan 1830.

Sejak 1830, sebagai dampak kebijakan Pemerintah Kolonial Belanda pasca Perang Jawa/Diponegoro (1825-1830), luas wilayah yang termasuk Vorstenlanden menciut secara drastis. Sejak tahun tersebut, Vorstenlanden tinggal meliputi daerah-daerah yang kini dikenal sebagai eks Karesidenan Surakarta dan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Bahkan, sejak 1946, tinggal Kasultanan Yogyakarta dan Kadipaten Pakualaman saja daerah Vorstenlanden yang terbilang masih memiliki otonomi untuk menjalankan pemerintahan. Itu pun keduanya pada dasarnya bertranformasi dalam bentuk Daerah Istimewa Yogyakarta, yang merupakan satu dari 34 provinsi dalam Republik Indonesia.

Untuk Kasunanan Surakarta dan Kadipaten Mangkunegaran, keduanya  sejak 1946  bisa dibilang benar-benar kehilangan otonomi bidang pemerintahan atas daerah-daerah yang antara 1830-1946 di bawah kekuasaan mereka. Sejak sekitar setahun setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, dua pecahan Dinasti Mataram Islam tersebut memang mesti merelakan seluruh wilayahnya diambil alih Pemerintah Republik Indonesia. Bekas wilayah Kasunanan dan Mangkunegaran lantas dijadikan bagian dari Provinsi Jawa Tengah. Kini, gabungan wilayah dari dua pecahan Dinasti Mataram Islam itulah yang lazim dikenal sebagai wilayah Eks Karesidenan Surakarta.

Berawal dari Bovenlanden
Tentang kapan tepatnya otoritas Kolonial Belanda di Jawa mengadopsi istilah Vorstenlanden, penjelasan dari Dosen sekaligus Ketua Jurusan Ilmu Sejarah Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada, Dr Sri Margana, dapat memberikan gambaran.
“Awalnya ketika Mataram belum terpecah, hanya ada satu raja, istilahnya yang dipakai dulu (oleh Belanda) adalah Bovenlanden,” kata Dr Sri Margana ketika diwawancara oleh Tim Riset dan Dokumentasi Museum Ullen Sentalu pada 20 Juni 2014, “Ketika kemudian terpecah menjadi empat, mereka (Belanda) lalu menyebutnya Vorstenlanden .“

Imbuh Dr Sri Margana, vorsten pada Vorstelanden dalam bahas Belanda berarti raja-raja atau penguasa-penguasa. Dengan demikian Vorstenlanden berarti tanah raja-raja. Katanya lagi, penggunaan istilah Vorstenlanden cocok dengan aturan hukum kolonial yang diberlakukan Belanda pada masa itu, yakni raja-raja penguasa lokal keturunan Dinas Mataram Islam di daerah Vorstenlanden memang menyandang status semiotonom, boleh mengontrol wilayah mereka.

Mengamati semua uraian tadi, bisa disimpulkan bahwa istilah vorstenlanden dipilih otoritas kolonial untuk menyebut daerah-daerah bekas kekuasaan Mataram Islam karena istilah itu terbilang paling diakrabi oleh orang Belanda. Istilah vorstenlanden mampu menyederhanakan penyebutan bagi bekas Mataram Islam yang pasca 1755 terpecah menjadi empat bagian besar.

Semasa Inggris menguasai Jawa pada 1811-1816, mereka memakai satu istilah lain untuk menyebut bekas daerah Mataram Islam, di luar istilah Vorstenlanden maupun Principalities. Satu istilah lain itu adalah Native Provinces. Ini paling tidak terdokumentasikan dalam buku karya Thomas Stamford Raffles yakni The History of Java yang terbit pada 1817.

Istilah Vorstenlanden pada dasarnya adalah juga tandingan bagi istilah “Mataram”, yang menurut bahasa Sansekerta berarti “tanah air” dan sejak medio milenia I Masehi merupakan sebuah kata yang dihormati dalam masyarakat Jawa. Jadi, pemakaian istilah Vorstenlanden adalah upaya Belanda memadamkan kepercayaan diri maupun ingatan masyarakat Jawa terhadap kejayaan mereka di masa silam.

Tembakau dan Batik Vorstenlanden
Sekitar tiga perempat abad terakhir, istilah Vorstenlanden tak banyak lagi terdengar dalam keseharian. Boleh jadi, menghilangnya istilah Vorstenlanden telah terjadi ketika Jepang menggusur Belanda dari Nusantara pada 1942. Jadi, istilah Vorstenlanden bernasib  sama dengan sejumlah penyebutan daerah dalam bahasa Belanda yang begitu Jepang berkuasa di Indonesia pada 1942-1945, berlanjut dengan merdekanya Indonesia sejak 1945, lantas diganti dengan istilah-istilah dalam bahasa Indonesia. Ingat apa yang terjadi dengan Batavia yang diganti Jakarta, Buitenzorg yang diganti Bogor, dan Fort de Cock yang diganti Bukittinggi.
Biarpun demikian, istilah Vorstenlanden tak pula benar-benar lenyap. Istilah tersebut sampai kini melekati jenis tembakau berkualitas tinggi yang dibudidayakan di sekitar Kabupaten Klaten. Istilah Vorstenlanden galib juga dipakai untuk menyebut kain-kain batik gaya Surakarta dan Yogyakarta yang cenderung memiliki warna dasar soga hingga putih, serta terkesan memiliki motif-motif klasik. Penggunaan istilah demikian untuk batik-batik asal Surakarta dan Yogyakarta adalah sebagai pembeda dengan batik-batik asal Pesisir Utara yang umumnya lebih berwarna-warni. Dalam hal penggunaan istilah Vorstenlanden pada budi daya tembakau dan produksi batik, secara umum rasa bahasanya terbilang positif, tak selalu diingat dan dikaitkan dengan eksistensinya di zaman kolonial. Ini agaknya adalah cerminan citra klasik dan pesona peradaban Barat/Eropa  yang memang melekati istilah Vorstenlanden.
Referensi

  • Houben, Vincent JH, Kraton and Kumpeni: Surakarta and Yogyakarta, 1830-1870, KITLV Press, Leiden, 1994
  • Onghokham, Wahyu yang Hilang, Negeri yang Guncang, Pusat Data dan Analisis TEMPO, Jakarta, 2003
  • Raffles, Thomas Stamford, The History of Java, Volume One, Oxford University Press, Kuala Lumpur, 1965
  • The History of Java, Volume Two, Oxford University Press, Kuala Lumpur, 1965
  • Scherer, Savitri, Keselerasan & Kejangggalan, Komunitas Bambu, Jakarta, 2012
  • Simbolon, Parakitri T, Menjadi Indonesia, KOMPAS, Jakarta, 1995
  • Soeratman, Darsiti, Kehidupan Dunia Kraton Surakarta 1830-1939, Tamansiswa, Yogyakarta, 1989

Oleh Yoseph Kelik

Batik

KAIN bergambar yang dihasilkan secara khusus dengan menerakan lilin malam dan kemudian pengolahannya diproses dengan cara tertentu. Demikian pengertian tentang batik jika merujuk kepada isi Kamus Besar Bahasa Indonesia. Lalu, kurator etnologi Museum Nasional Singapura, Lee Chor Lin, dalam bukunya yang berjudul Batik: Creating an Identity, mendefinisikan batik sebagai a resist-dyeing technique used to decorate finished fabrics. Ini senada dengan definisi batik pada ensiklopedia online Wikipedia versi bahasa Inggris: a cloth that is tradionally made using a manual wax-resist dyeing technique.
Lalu, untuk sejarah batik, maka kita bakal diharuskan menoleh ke belakang, ke masa 1.500 atau bahkan 2.500 tahun silam.

Continue reading

8b. Sukuh (1)

Candi Sukuh

Lokasi: Desa Sukuh, Barjo, Ngargoyoso, Karanganyar, Jawa Tengah
Koordinat: 7° 37’ 38,000″ LS 111° 7’ 52,500″ BT
Ketinggian: 1198 dpl

Candi Sukuh adalah kompleks candi yang terdiri dari halaman berteras. Yang menjadikan Candi Sukuh menarik adalah relief lingga dan yoni yang terdapat di bagian dalam gapura di halaman pertama. Relif dipahat di lantai masuk gapura dan bergaya naturalis.

Candi induk terletak di halaman ketiga dan dianggap paling sakral dengan tipe bangunan berundak teras di lereng gunung yang banyak ditemukan pada jaman Majapahit. Dari candasengkala yang ada di gapura pertama yang berbunyi “gapura buta mangan wong” diperkirakan Candi Sukuh dibangun pada tahun 1359 Saka atau 1437 Masehi.

candi-sukuh

Sumber:
Candi Indonesia, Seri Jawa
Direktorat Pelestarian Cagar Budaya dan Permuseuman
Direktorat Jenderal Kebudayaan
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan – 2013

Foto: Ullen Sentalu